Setelah memasukkan ponsel ke tas selempang biru muda yang talinya sudah melintang dari bahu kiri ke pinggang kanan, Gya turun dari mobil Satria. Ia berjalan pelan ke arah belakang kendaraan tersebut, bermaksud menyeberang jalan. Jalanan tidak seramai di dekat kampus, membuat gadis itu merasa santai dan tidak terlalu memperhatikan keadaan sekitar. Tiba-tiba ia tersentak karena seseorang menarik tangan kanannya seraya membentak, “Lo ikut gue!"
Gya menoleh ke arah suara itu dan matanya membulat. Ia tidak mengenal orang itu. Namun, pengalaman usaha penculikan kemarin segera menguasai pikirannya. Sontak Gya bertahan menolak tarikan laki-laki bertato dan berkaus hijau tua sembari berteriak, "Lepaskan! Tolong! Kang Saatt!"
Gadis itu melarikan pandangan ke arah mobil Satria saat badannya mulai terbawa oleh tarikan laki-laki bertato menyeberang jalan. Ia melihat mobil putih itu bergerak maju sedikit agar posisinya makin ke pinggir. Gya terus memberontak, menolak dibawa mendekat ke sebuah sedan merah. Tangan kirinya yang bebas berusaha melepaskan pegangan erat laki-laki itu.
Ketika hampir sampai di mobil merah, Gya mendengar teriakan Satria yang berlari mendekat, "Gya! Hei! Lepaskan dia!"
Gadis itu menoleh dan lekas balas berteriak, "Kang Sat! Tolong! Ih! Lepaskan!"
"Diam! Gue pukul kalau lo teriak-teriak terus!" Laki-laki berkaus hijau tua itu mendorong tubuh Gya kasar agar masuk ke dalam mobil.
Gya mengaduh karena kepalanya tidak sengaja membentur pinggiran pintu. Ia dipaksa duduk melalui dorongan keras laki-laki itu seraya mengusap kepala dan meringis. Gadis itu berusaha mendekat ke pintu dan meraih panel untuk membukanya. Namun, si pengemudi, laki-laki bertato dan berkaus hitam, langsung mengunci semua pintu. Gya terpaku. Ia melirik dan segera mengenali si pengemudi. Laki-laki yang dipanggil Edo pada peristiwa usaha penculikan tempo hari.
Begitu laki-laki berkaus hijau tua duduk di samping pengemudi dan berucap, “Ayo, Bang!”, Edo menginjak gas mobil dalam-dalam. Panik, Gya menoleh ke jendela belakang, mencari-cari mobil putih Satria di antara kendaraan di belakang sedan merah. Kang Sat! Cepat susul aku!
Mobil merah terus melaju. Gya melihat mobil Satria berusaha menyalip tiga mobil lain di belakang mereka. Dengan bibir gemetar, gadis itu membisikkan doa, “Ya Allah, tolong! Beri jalan buat mobil Kang Satria menyusulku!”
Sayangnya, saat kendaraan yang ditumpangi berbelok ke kiri setelah melewati lampu merah, Gya tidak melihat lagi mobil Satria di belakang mereka. Sekarang, bukan hanya bibir gadis itu yang gemetar, melainkan sekujur tubuhnya. Kang Sat! Kamu di mana? Ya, Allah, tolong aku!
* * *
Tubuh Gya mengerut di sudut kursi belakang sedan merah. Bau rokok yang kuat dari kedua orang di kursi depan membuatnya mengerutkan hidung. Tubuhnya gemetaran. Terakhir, sekitar lima menit lalu, ia melihat ke belakang dan mobil Satria tidak terlihat. Tiba-tiba matanya berhenti di tas cangklong biru muda. Benaknya mengirimkan sinyal untuk menghubungi Satria melalui ponsel yang ada di tas itu. Pelan dan hati-hati Gya membuka tasnya sambil sesekali melirik kedua laki-laki yang tampak tegang di kursi depan. Tangan kanannya yang gemetar masuk ke dalam tas, bertepatan dengan laki-laki berkaus hijau tua menoleh ke arahnya. Badan Gya membeku. Tangannya berhenti bergerak.
"Hmm ... Arkadewi Gyandra Candramaya. Bagus banget nama lo. Panggilannya apa? Arka? Dewi? Maya?" Laki-laki berkaus hijau tua tersenyum lebar. Saat menyebutkan nama lengkap Gya, ia melirik dua kali layar ponselnya.
Gadis itu tidak menjawab. Rahangnya sebeku tubuh, sulit digerakkan. Pikirannya bertanya-tanya. Jika mereka sudah tahu, ia bukan Mala, kenapa masih juga diculik?
"Heh! Jawab! Jangan diam saja!" bentak Laki-laki itu.
Gya tersentak. Detak jantungnya meningkat.
"Sudah, Dion. Nanti saja kalau usdah di lokasi. Sebentar lagi juga sampai. Kita punya banyak waktu buat nanya-nanya dia." Terdengar suara si pengemudi.
Dion, si kaus hijau tua, mengomel. Namun, ia menurut. Sayang, matanya sering melirik gadis itu. Gya jadi tidak punya kesempatan mengambil ponselnya.
Laju mobil melambat begitu masuk ke satu perumahan mewah di Dago Pakar. Setelah melewati beberapa belokan, mobil masuk ke halaman rumah besar yang terlihat lengang. Jarak dengan rumah tetangga sebelah kanan dan kiri cukup jauh. Jalanan pun sepi karena cukup dalam mobil masuk perumahan. Begitu mobil berhenti, Dion turun sebelum membuka pintu belakang dan menarik tangan Gya agak kasar dari mobil.
Otomatis Gya bertahan, "Lepaskan!"
"Lo kalau berontak terus, makin sakit nanti."
Gadis itu merasakan pegangan tangan Dion makin kuat setiap kali ia bertahan. Gya sadar tidak mungkin bisa melepaskan diri dari genggaman laki-laki itu. Gerakan memberontak gadis itu berkurang. Namun, ia masih tetap berusaha melepaskan pegangan tersebut. Sesekali ia menyentakkan tangannya yang digenggam, ke bawah.
"Eh, dia bawa tas! Gue ambil saja ya, Bang." Dion mengambil tas cangklong Gya.