Satria menarik napas dalam-dalam sebelum membuka mata. Sudah setengah jam ia berusaha terlelap seperti yang diminta Ibu dan Aqila selepas Ashar tadi. Namun, pikiran dan hatinya tak bisa diajak kompromi, malah mengajak menduga-duga alasan Mala menghilang dan kondisi Gya saat ini. Kobaran api dan mendung bergantian menguasai dada Satria disusupi penasaran ingin tahu alasan dan kondisi sebenarnya.
Pemuda itu melirik ke arah sofa di dekat pintu masuk. Samar-samar terlihat Ibu duduk di sana, sepertinya sedang membaca majalah atau buku. Di sebelahnya, Dina dan Aqila fokus menatap benda di tangan masing-masing, kemungkinan besar ponsel. Satria memicing berharap aktivitas mereka terliaht lebih jelas. Dugaannya benar semua. Sebelum meminta istirahat tadi, Aqila sempat mengatakan rencananya mendiskusikan dengan teman-teman Driver Pasteur lain siapa-siapa saja yang akan hadir di pertemuan dengan Mala. Sesekali sahabatnya itu berbisik-bisik dengan Dina kadang-kadang diselingi mengangguk atau menggeleng. Satria ingin sekali ikut terlibat, tetapi Ibu belum mengizinkannya menggunakan ponsel.
"Jangan pakai HP dulu, supaya istirahat Kakang enggak terganggu. Itu kalau Kakang mau cepat sembuh. Bisa turun dan keluar ruangan. Artinya bisa segera ketemu ... Gya juga." Begitu kata Ibu kala itu seraya tersenyum menggoda. Rupanya hati beliau sudah lebih tenang sehingga mulai bercanda. Satria tersenyum-senyum mendengarnya. Ia tidak membantah karena alasan yang dikemukakan Ibu, hal paling diinginkan saat ini.
Tiba-tiba, Dina menoleh ke arah pemuda itu. Sesaat kemudian perempuan itu berbisik-bisik dengan Aqila yang segera ikut menoleh ke arah Satria. Tak lama, sahabatnya itu bangkit dan melangkah mendekatinya setelah berbicara sejenak dengan Ibu, mungkin meminta izin.
“Kok sudah bangun, Sat?” Kening Aqila mengerut.
“Aku enggak bisa tidur.” Satria berjeda sejenak. “Jadi siapa saja yang ketemu Mala?”
"Itu yang bikin kamu enggak bisa tidur?” Aqila tertawa kecil. “Aku, Dina, Bhanu, dan Papa Mama Gya yang akan ketemu Mala.”
Satria kembali menarik napas dalam-dalam, menghalau rasa menyesal kondisinya tidak memungkinkan ikut bertemu Mala. Sebetulnya ia merasa mampu ikut serta, tetapi Ibu belum tentu mengizinkan.
“Sat, kalau Ibu mengizinkan, kita mau kamu ikut juga ketemu Mala. Ibu juga boleh kalau mau ikut dengar." Aqila mengencangkan suaranya sembari melirik Ibu. “Kalau Ibu ngizinin lagi nih ya, ketemu sama Mala di kamar ini saja. Jadi kamu bisa ikut tanpa pergi ke mana-mana."
Napas Satria agak tertahan menunggu jawaban Ibu. Awalnya perempuan itu tidak mengizinkan. Beliau menganggap kondisi putra sulungnya masih terlalu lemah untuk terlibat. Selama seperempat jam Satria membujuk Ibu agar permintaan Aqila dikabulkan. Perempuan itu sempat bertahan. Namun, akhirnya mengalah setelah Satria mengatakan untuk yang ketiga kali dengan mata meredup, "Kan ketemuannya di sini, Bu. Kakang enggak ke mana-mana.”
"Asal janji ya, Kakang enggak emosi.”
Lekas Satria mengangguk seraya menarik napas lega.
“Dan … makan yang banyak." Ibu agak memelotot ke arah putranya.
Mulut Satria menguncup menahan senyum. Sejak sampai di rumah sakit ini, ia baru makan sepotong roti, itu pun tidak habis. Ia bilang tidak lapar sewaktu Ibu menawarkan makanan.
Aqila tertawa pelan setelah percakapan Satria dengan Ibu selesai.
"Kok ketawa sih, Qi?"