Sayup-sayup, Gya mendengar suara langkah mendekat. Perlahan, kelopak matanya menyibak. Siluet kepala seseorang menyergap pandangan. Tiba-tiba siluet itu menjelas. Wajah laki-laki yang mengimpitnya menyeringai. Bau rokok dan minuman keras menyeruak indera penciuman. Gya tersentak. Matanya membesar. Otomatis kedua tangannya terangkat dan mendorong lemah laki-laki itu seraya berteriak, “Pergi! Jangan sakiti aku! Pergi! Tolong! Kang Sat, tolong aku!” Matanya kembali terpejam, mencoba mengumpulkan tenaga agar bisa mendorong lebih kuat. Cairan hangat meleleh di sudut-sudutnya. Mulutnya kembali berucap, tapi lebih pelan dan lemah, “Kang Sat, tolong aku ….”
“Ssstt … Teteh sayang. Ini Mamah. Tidak ada siapa-siapa lagi selain Mamah dan Papah di sini.” Sepuluh jemari dengan lembut merangkum kedua tangan gadis itu dan mengembalikan ke posisi semula, di atas perut Gya.
Gadis itu mengerjap beberapa kali sehingga pandangannya menjadi jelas. Kali ini siluet tadi berubah. Wajah Mamah dengan mata sembab dan sorot khawatir memenuhi pandangannya.
"Pergiii ...," pelan, bergetar, nyaris tak terdengar Gya mengatakan itu. Kesadarannya mulai pulih. Tidak seperti tadi, ia mampu mengucap beberapa kata. Kali ini, hanya satu kata, tetapi cukup membuatnya meringis. Ia ingin mendorong tubuh perempuan di dekatnya itu agar menjauh, sayangnya rasa sakit menguasai. Sudut-sudut bibirnya seperti ditusuk-tusuk, yang segera menjalar ke pipi, mata, tangan dan seluruh tubuh. Gadis itu merintih pelan.
"Ya Allah, Teh. Sakit, ya?" Mata Mamah mulai menggenang. Namun, segera disekanya cepat dengan tisu sebelum mengusap-usap pelan rambut putri sulungnya.
Tangan Gya terangkat bermaksud menepis milik Mamah. Namun, rasa sakit membuat tangannya hanya sampai setengah jalan, tak mencapai tujuan.
“Ada apa, Mah? Teteh sudah bangun?”
Gya melirik ke arah datangnya suara. Terpantau wajah Papah dengan ekspresi nyaris sama seperti Mamah. Bedanya mata laki-laki itu tidak sembab. Ia merintih lagi karena tusukan di wajah dan tubuhnya kembali menguasai.
“Iya, baru bangun. Sepertinya Teteh kesakitan. Mamah panggil suster, supaya diberi penahan rasa sakit lagi ya, Pah.” Tangan Mama meraih alat pemanggil bantuan ke ruangan perawat dan memijit tombolnya setelah Papa mengangguk.
“Sabar ya, Teh. Sebentar lagi suster datang dan kasih obat supaya sakitnya berkurang.” Papa membelai lengan putrinya.
Gya tak merespon, malah kembali meringis seraya memejam. Tusukan itu sudah sampai ke kepala dan hanya dalam beberapa detik menguat. Kepalanya berdenyut-denyut nyaris tak berhenti. Mulut gadis itu mendesis menahan sakit. Ia ingin menghentikan belaian Mamah yang menggantikan Papah. Sebab belaian itu malah membuat sakitnya menjadi-jadi.
“Sakiiitt …,” rintihnya bersamaan dengan suara langkah kaki mendekat. Ia segera tahu itu langkah perawat karena sebelum sampai di ranjangnya, suara tak sabar Mama terdengar.
"Sus, anak saya baru bangun dan kesakitan. Bisa tolong segera dikasih penahan rasa sakit lagi?"
"Sebentar ya, Bu. Saya cek dulu."
Di sela-sela desisan, Gya mendengar suara-suara di dekatnya. Ia menduga itu suara aktivitas perawat mengecek peralatan di samping kirinya. Suara-suara itu berhenti beberapa saat sebelum terasa usapan di lengan dan nada ramah terdengar, “Obatnya sudah dimasukkan ke infus, Bu.”
Gya memicing. Senyum perawat itu menyambutnya. Masih dengan ramah, perempuan berseragam biru muda itu mengatakan, ‘Teteh, banyak-banyak istirahat, supaya cepat sembuh.”
Gadis itu tak menjawab, malah mengalihkan pandangan ke selimut yang menutupi perut hingga kakinya. Setelah perawat itu pergi, perlahan tusukan-tusukan di tubuh dan kepala Gya berkurang dan seperempat jam kemudian ia lebih tenang. Namun, tubuhnya seolah tidak makan selama seminggu. Bahkan untuk menolehkan leher saja, gadis itu nyaris tak mampu. Ia hanya bisa melirik saat Mamah mendekat dan duduk di kursi sebelah ranjangnya.
“Teh, mau dengarkan musik? Atau nonton film?”
Walaupun kedua hal tersebut kesukaannya, tetapi saat ini Gya sama sekali tidak ingin melakukan semua itu. Bahkan ia tidak ingin melakukan apa-apa kecuali satu hal. Gadis itu ingin kembali ke masa lalu, saat dipertemukan kembali dengan sahabat SMA-nya. Ia pasti menolak tawaran Mala menggantikannya menjadi sopir taksi online. Tentunya tidak akan terjadi peristiwa tadi siang yang …. Gya menghentikan benaknya begitu bayangan laki-laki menyeramkan di atas tubuhnya melintas. Gadis itu seketika gemetaran dan dadanya serasa diinjak kaki raksasa hingga melesak ke lubang di belakang punggung. Lubang hitam yang entah berapa dalam karena sangat pekat, tidak terpantau sampai dimana berakhirnya.
“Teteh kunaon? Ada yang sakit lagi? Atau kedinginan? Gemetaran begini.” Suara khawatir dan sentuhan jemari Mamah menyentakkan gadis itu ke alam nyata.
Sentuhan jemari itu sebenarnya lembut, tetapi terasa menyakitkan Gya. Bukan tubuh, melainkan hati. Perih. Nyeri. Datang begitu saja. Hati besarnya mendesis.Terluka. Semua berawal dari dia, Gya. Kalau dia enggak membanding-bandingkan kamu dengan Ade, enggak menjodohkan kamu dengan Dhika, kamu enggak akan jadi sopir taksi online. Enggak akan terjadi peristiwa tadi siang.
Tubuh Gya makin gemetaran. Sebab emosi yang tertahan menekan kuat.
“Teteh kedinginan? Mamah matikan AC-nya atuh, ya?” Lembut suara Mamah.
Namun, bukan itu yang terdengar oleh Gya. Melainkan omelan beliau. Kata-kata yang membanding-bandingkannya dengan sang adik. Dan ancaman perjodohan saat mamah mengucapkan ultimatum.
Gya memejam. Berusaha menulikan telinga seraya menahan emosi yang menekan makin kuat. Serta gemetar tubuh yang makin hebat. Sampai satu titik, ia tak mampu menahan lagi. Ia ingin berteriak, tetapi yang keluar dari mulutnya suara pelan, hanya dirinya dan Mamah yang mendengar, “Pergi … jangan mendekat … Teteh enggak mau dekat-dekat Mamah ….”
“Teteh … Ini Mamah, Teh. Kenapa Teteh enggak mau dekat-dekat Mamah?” Kesedihan melumuri suara Mamah.
Putri sulungnya menggeleng sangat pelan. Bukan bermaksud merespon pertanyaan beliau, melainkan menghalau mengusir bayang-bayang tadi yang terus tayang silih berganti memenuhi kepalanya. Ia mengulangi lagi kata-kata yang sama persis. Makin pelan. Bergetar. Diiringi melelehnya cairan di sudut-sudut mata. Dan isakan. Gya terus mengulang-ulang kata-kata itu. Hingga ia kelelahan dan warna hitam menyelimutinya.
* * *
"Lepaskan! Jangan sakiti aku! Tolooonggg! Lepaskan! Tolong Kang Sat! Jangaaaann ...."