“Teteh perhatikan, sudah seminggu ini, kamu rajin banget ke kampus, De. Bukannya kuliah tinggal sedikit? Jadwal bimbingan tesis seminggu berapa kali?” Gya menyomot pisang goreng di meja tidak jauh dari sofa yang sedang diduduki. Kiara pernah bercerita jika sedang melanjutkan studi, para pengajar di kampusnya dibebastugaskan dari aktivitas mengajar, meneliti, dan pengabdian masyarakat, tiga pokok tugas dosen. Peraturan ini diberlakukan agar para dosen yang sedang tugas belajar cepat merampungkan kuliahnya.
“Seminggu sekali kadang dua minggu sekali, sesuai dosen pembimbing punya waktunya. Ade lagi bantu gantikan mengajar teman dosen yang sakit. Sudah dua bulan enggak bisa ke kampus. Ini bulan ketiga masih belum bisa ngajar juga. Jadi, seminggu dua kali, Ade ngajar di kelasnya untuk satu mata kuliah. Mengejar ketinggalan yang dua bulan kemarin itu. Lagi banyak dosen yang tugas belajar juga, jadi enggak ada lagi dosen lain yang bisa bantu dia. Teteh nulis novelnya sudah sampai mana?”
Delapan bulan lalu, Gya memulai aktivitas baru yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan. Menulis. Tentu saja ia pernah menulis, saat sekolah dan kuliah dulu. Aktivitas menulis yang sekarang digeluti tidak ada hubungannya dengan sekolah maupun kuliah. Aktivitas ini disarankan Ika, psikolog yang menangani gadis itu sejak tiga bulan setelah terjadi penculikan. Katanya aktivitas ini bisa membantu penyembuhan trauma Gya. Mamahlah yang membawa putrinya berkonsultasi kepada Ika, yang ternyata adalah teman SMP-nya, atas saran Rasyid.
Tiga bulan pertama setelah penculikan merupakan masa-masa terberat Gya. Tidak hanya mimpi buruk yang sering dialami, tetapi juga ketakutan saat ia sendirian bahkan di tempat ramai sekalipun. Ia kerap curiga berlebihan kepada orang tidak dikenal yang memperhatikannya. Saat itu terjadi, jantungnya berdebar-debar, badan menggigil, kepala pusing, sesak napas, bahkan beberapa hari kondisi kesehatannya menurun. Apa lagi ketika Gya harus bolak-balik ke kantor polisi diinterogasi sebagai saksi dan berlanjut saat pengadilan berlangsung. Ia perlu beristirahat beberapa hari setelah aktivitas yang dilalui selama tujuh bulan setelah ia keluar rumah sakit. Proses pengadilan cukup alot, baru dua minggu lalu pengadilan memutuskan Irwan bersalah. Paman Mala itu dan para penculik Gya pun merasakan tidur di hotel prodeo.
Setelah mengikuti beberapa sesi dengan Ika, apa yang sering dialami gadis itu berkurang. Makin jarang ketika ia mengikuti saran psikolog itu, menulis, walaupun sampai sekarang Gya belum berani bepergian sendirian. Bahkan di rumah sekalipun, ia masih minta ditemani. Mamahlah yang selalu siap menemaninya bergantian dengan Kiara kapanpun dibutuhkan. Gya bersyukur karenanya. Kadang-kadang ia merasa bersalah dulu menolak mentah-mentah dan kesal karena Mamah menjodohkannya. Gadis itu berpikir jika saja dulu menuruti keinginan Mamah, tentu tidak terjadi peristiwa mengerikan itu.
Gya pun berjanji dalam hati akan menuruti beliau jika dijodohkan lagi. Namun, sampai sekarang tidak ada tanda-tanda Mamah melakukan itu. Mungkin karena Gya sudah mau menerima kembali kehadiran Rangga sejak enam bulan lalu sewaktu Papah mengizinkan laki-laki itu menemuinya. Sepertinya Mamah juga membiarkan alami saja apakah nantinya mereka berjodoh atau tidak. Izin Papah keluar, bisa jadi karena laki-laki itu anak sahabat mereka selain karena bukan anggota Driver Pasteur. Sejak peristiwa penculikan dan penyekapan putri mereka, Papah Mamah sangat alergi dengan nama grup itu. Mereka benar-benar menjaga Gya dari sentuhan teman-teman sopir taksi online-nya itu. Putri sulung mereka sama sekali tidak berontak atas perlakuan itu. Pengalaman penyekapan di Dago Pakar meninggalkan bekas luka besar dan dalam. Bekas luka itu masih saja meremas-remas hati Gya, setiap teringat teman-teman Driver Pasteur. Memunculkan bayangan mengerikan saat peristiwa tersebut terjadi di benaknya.
“Baru bab 2. Teteh nulis novel pertama, De. Masih meraba-raba. Sudah sempat ikut kelas online-nya, sih. Tapi belum begitu ngerti.”
“Enggak apa-apa atuh, Teh. Pelan-pelan saja. Kan belum lama juga Teteh mulai suka nulisnya. Eh, Teh! Kak Rangga ….” Kiara berhenti berbicara karena ponselnya berbunyi. Ia menerima telepon itu setelah melirik layarnya.
Gya menatap wajah sang adik. Tak pernah terbayangkan sebelumnya mereka menjadi sedekat ini. Perhatian Kiara selama perawatan traumanya yang tidak berkurang seujung kuku pun hingga kini, menyadarkan bahwa kebencian masa lalu gadis itu terhadap sang adik tidak beralasan sama sekali. Saat berbicara dari hati ke hati, Gya baru tahu Kiara sering kecewa karena sebelumnya usaha mendekati sang kakak tak pernah berhasil. Ia akhirnya mengakui bukan kesalahan adik satu-satunya itu jika Papah Mamah lebih bangga kepada Kiara. Memang kenyataannya seperti itu, prestasi sang adik jauh melampauinya. Sikap Papah Mamah yang berubah sejak peristiwa penculikan terakhir ikut membantu Gya membuka diri kepada Kiara. Kecerewetan Mamah kembali, tetapi tidak pernah sekali pun terdengar membanding-bandingkan gadis itu dengan adiknya.
Suara Kiara yang mengakhiri percakapan telepon mengembalikan fokus Gya ke wajah pemilik suara itu. Dari ucapan adiknya, Gya tahu kalau yang menelepon laki-laki.
“Saha Haikal teh? [1]” Sang kakak tersenyum menggoda begitu Kiara menaruh ponselnya di meja.
“Teman, Teh. Makanya dia tahu nomor Ade dan bisa telepon. Tapi enggak ada yang istimewa. Enggak seperti Teteh dulu sama ... Kang Satria.” Giliran Kiara tersenyum menggoda.
Mendengar nama itu disebut, senyum Gya langsung menghilang. Pikirannya melayang ke saat ia melihat laki-laki itu terakhir kali di ruang rawat inapnya setahun lalu.
"Gya!"