Suara biji kopi digiling baru saja berhenti. Gya mulai menyeduh hasil penggilingan itu menggunakan frenchpress[1] di meja khusus tempat menyeduh kopi dan teh yang berada di dapur bersih rumahnya. Lokasi dapur bersih yang terbuka dan bisa dilihat dengan jelas dari ruang tengah bahkan terpantau sedikit dari ruang tamu, membuat harum kopi menguasai udara di tiga ruangan itu. Saat menunggu sari pati serbuk kopi itu meresap sempurna ke air panas, Gya menarik napas lebih dalam, menghidu wanginya sepenuh hati. Wangi itu mengundang siluet manusia yang perlahan menyusupi benaknya dan tak lama mulai menjelas dan memanggil. Gya!
Gadis itu tersentak dan tersadar. Ia menarik napas dalam-dalam setelah mengusir siluet itu. Lekas Gya menyelesaikan penyeduhan kopinya. Tak lama sudah tersedia dua cangkir kopi. Ia menambahkan dua sendok kecil gula ke salah satunya.
Gya membawa dua cangkir kopi itu ke ruang tengah. Ia menaruh di meja satu cangkir yang diberi gula dan tetap memegang yang lain saat bokongnya mendarat di sofa. Begitu duduk, gadis itu menatap cairan hitam agak berbusa kecokelatan di cangkirnya. Asap mengepul naik melewati beberapa senti di depan hidung. Gya mendekatkan cangkir itu ke mulut, meniup-niup perlahan agar panas kopi berkurang sebelum menyesap cairan itu. Rasa kopi yang kuat menyapa lidah bersamaan dengan wanginya yang terasa lebih kuat dari saat menyeduh tadi, membelai syaraf-syaraf penciumannya. Tanpa sadar Gya memejam. Siluet itu hadir lagi. Kali ini Gya membiarkannya menjelma menjadi sosok yang jelas. Laki-laki. Berkacamata. Tersenyum dan menatapnya. Lembut. Gya …. Sosok itu kembali memanggil.
“Kang Sat ….” Tidak sadar Gya bergumam sangat pelan.
“Ini buat Ade, Teh?”
Gya membuka mata, agak gelapagan ketika mengiyakan. Ia melihat Kiara sudah siap berangkat ke kampus. Setelah sang adik berterima kasih, keduanya terdiam. Suara seruput sesekali memecah sunyi.
“Teh, gimana kabar Travelindo?” Wajah berias tipis Kiara yang dibalut kerudung marun menatap Gya.
Seminggu ini, Gya mulai ikut belajar mengelola usaha di kantor sahabat Papah Mamah itu. Ia akhirnya bersedia menerima tawaran tersebut dalam rangka bersyukur. Setelah peristiwa penculikan dua tahun lalu, gadis itu belum sempat mencari pekerjaan lagi dan tidak seorang pun mengungkit-ungkitnya. Semua fokus pada penyembuhan trauma yang Gya alami. Walaupun penawaran terlibat di perusahaan tersebut terjadi lebih dari dua tahun lalu, ternyata saat ia tak sengaja membahas hal itu dengan Rangga, keesokan harinya Munaf menghubunginya dan mengatakan tawaran tersebut masih berlaku. Bagaimana ia tidak bersyukur? Gadis itu makin yakin dengan pernyataan yang kerap didengar saat mengikuti sesi di Cahaya Kalbu. Sang Pencipta sangat sayang kepada manusia, ciptaan-Nya. Peristiwa mengerikan yang dialami mengantarkannya pada kesadaran bahwa ia memiliki keluarga yang menyayanginya. Perubahan sikap Mamah dan kedekatan dengan Kiara makin menyadarkannya. Jika peristiwa itu tidak terjadi, mungkin ia masih merasa sendirian dan makin menjauh dari mereka karena mencari kenyamanan ke tempat lain. Bukankah semua itu bukti kasih sayang-Nya?
Sejak setahun lalu, Gya, Kiara, dan Rangga rajin mengikuti kajian Cahaya Kalbu. Pelan-pelan mata hati ketiganya terbuka. Perilaku mereka perlahan berubah. Rangga mampu mengontrol diri tidak seenaknya lagi dalam bertindak. Kiara lebih sabar menghadapi kakaknya. Gya mulai menerima kenyataan bahwa peristiwa penculikan itu sudah semestinya terjadi dan tidak mungkin ditiadakan dari perjalanan hidupnya. Ia menyadari perlakuan Mamah dan Papah sebelumnya adalah wujud kasih sayang mereka. Perlahan, gadis itu bisa mengikis ketakutan melakukan kesalahan yang dulu menghantuinya. Perubahan tersebut juga terlihat pada penampilan Gya dan Kiara. Enam bulan yang lalu, mereka memutuskan untuk berhijab.
“Katanya makin bagus, ya?” Suara Kiara menarik kembali pikiran Gya dari kilas balik itu.
“Iya, Dek. Sulit menandingi Om Munaf dan timnya di bisnis travel. Hampir semua lini dimasuki. Yang paling baru, mereka masuk ke wilayah digital. Sebentar lagi rampung. Sudah ada jadwal soft launching-nya.”
“Keren yang digital ini ya, Teh. Kak Rangga saja sampai ikut terlibat.”
“Tahu enggak, kata Mas Genta lucu banget waktu Kak Rangga merayu Om Munaf biar bisa ikutan mengelola Traveldigi. Untung saja Culinarindo sudah settle. Jadi enggak masalah kalau ditinggal-tinggal Kak Rangga. Tim Culinarindo juga bagus, sih.” Gya tersenyum-senyum mengingatnya.
“Eh, Teh. Sabtu ini ngafe, yuk!” Tiba-tiba Kiara mengalihkan pembicaraan.
“Ayo aja. Memang mau ngafe di mana?”
“Kalau … di Morning Glory, gimana?” Kiara terdengar hati-hati mengucapkannya.
“Morning Glory?” Rasanya masih ada yang mengganjal setiap kali Gya mengingat nama kafe itu.
“Iya, Teh. Gimana?”
Sesungguhnya Gya belum mau menginjakkan kaki lagi di kafe tersebut. Namun, hati kecilnya membujuk. Sudah waktunya kamu berdamai dengan kafe itu, Gya. Aku enggak akan pernah tenang kalau itu masih jadi ganjalan.