LACUNA

shereenese
Chapter #8

[8] A Boy Named Albi

♪ ♪ ♪

Albi memasuki rumahnya yang sudah terlihat sepi setelah selesai memarkirkan mobilnya di halaman depan rumah.

Pemuda itu membuka pintu rumah yang sudah terkunci dengan menggunakan kunci cadangan yang memang sudah dikhususkan untuk dirinya.

"Baru pulang, Al?" tanya Miska yang baru saja muncul dari dapur.

Albi memutar badannya agar bisa menghadap kearah Ibu nya. Pemuda itu tersenyum lalu menyalami tangan hangat Miska.

"Iya, Ma. Mama kenapa belum tidur?"

"Mama tadi sibuk telponan sama Papa kamu, katanya Papa kangeen banget sama Mama." ucap Miska dengan raut wajah yang terlihat berseri.

Albi terkekeh melihat tingkah Ibu nya yang terlihat seperti anak remaja yang sedang kasmaran.

"Jadi Papa kangennya cuma sama Mama doang? Sama Albi enggak? Oke, fine. Albi cukup tau aja."

Miska tertawa lalu tangannya beralih mengusap lembut puncak kepala putranya yang sebenarnya memiliki tinggi badan yang jauh darinya.

"Lusa Papa pulang, Al. Dan kata Papa, perjodohan kamu akan di bicarakan setelah Papa sampe rumah nanti."

"Keluarga calon tunangan kamu juga bakal kesini. Kita bicarakan semuanya baik-baik ya." ucapan Miska sukses melunturkan senyuman di wajah Albi, rahang pemuda itu sedikit mengeras, namun detik selanjutnya pemuda itu kembali menormalkan ekspresinya.

"Ya udah Ma. Albi ngantuk, mau tidur dulu." pamitnya seraya berjalan menaiki anak tangga menuju kamarnya di lantai atas.

Sesampainya di kamar, Albi langsung membanting tubuhnya di atas kasur. Pemuda itu menatap langit-langit kamar, pikirannya sedang menggerayang kemana-mana.

'Kenapa disaat gue udah nemuin yang pas, malah ada cobaan kaya gini?'

Dia dijodohkan, Albi sudah tahu itu. Karena sebelumnya Ayah nya sudah pernah memberi tahu, tapi itu sudah lama. Albi kira keputusan konyol Bram, Ayah nya, itu tak akan benar-benar terjadi, namun baru saja Miska menegaskan tentang perihal itu lagi.

Mungkin jika dulu Albi akan biasa-biasa saja dan mungkin juga dia bisa menerima siapapun calon nya nanti. Namun untuk saat ini, hatinya sudah terisi oleh sosok perempuan yang belum lama ini terus-terusan mendominasi pikirannya.

Albi bimbang, di satu sisi dia tak ingin mengecewakan orang tua nya, tapi disisi lain dia juga ingin mempertahankan pilihannya.

Pemuda berambut hitam legam itu berdecak, lalu dia mengubah posisi tidurnya menjadi duduk.

Tangannya beralih mengambil ponsel yang ada di saku celana jeans-nya. Senyumnya kembali terangkat saat netra nya membaca deretan pesan yang dikirimkan oleh gadis di sebrang sana.

Niana Azzura

Albiiii

Makusihhh boneka nyaaaa

Aq suga wkwkw

typo nya astagfirullah.

Maapin y emang guni kalo chatan sama calon masa depan, bawaannya gergaji terus.

*Gerogi-_-

Pemuda itu terkekeh, kemudian tangannya dengan lincah menari-nari di atas layar ponselnya.

Albian Deffantio

Sama-sama sayang

*kuyang aslinya, tapi typo. gimana nih

Niana Azzura

heleh modus mulu lo kadal!

Albian Deffantio

Mana ada-_-

Niana Azzura

Ada,

1 tadi pas di mobil lo spik mau makein seatbelt ke gue tapi sebenernya lo modus kan karena mau liat muka gue yang unyu mirip Sana TWICE ini?!

Yang ke 2, tadi lo modus pegang tangan gue pas lagi muter-muter di mall dengan alasan takut gue ilang,

Ketiga, pas lagi di bioskop lo bilang ga tertarik sama film nya makanya lo natap gue terus, padahal aslinya itu modusan buat ngeliatin muka gue lagi.

Dan yang ke empat yang barusan!

Emang jibang! Ga kuat dd di ginuugn bwang😭

Typo mendarah daging kali ya sama gue:'

Albian Deffantio

Udah?

Diem ah, ketikan lo sama kaya lagu-lagu Korea yang sering lo dengerin di kelas. GA JELAS

bye.

Setelah pesan tersebut berhasil terkirim Albi dengan gerakan kilat langsung cepat-cepat mematikan daya ponselnya. Kemudian ponsel itu di lempar di atas meja belajar nya.

Tak lama dia mulai merebahkan tubuhnya lagi, dan mencoba memejamkan mata. Tapi, bibir pemuda itu tak henti tersenyum.

Dia tahu setelah mengirimkan pesan sakral seperti tadi kepada Niana pasti gadis itu tak akan henti-hentinya memberikan bacotan kepada nya sampai pemuda itu mengakui kesalahannya dan meminta maaf.

Albi sengaja, pada dasarnya dia lebih senang melihat Niana marah-marah dan berubah menjadi singa daripada harus terlihat sedih dengan wajah melas yang terlihat seperti sebelas dua belas dengan anak ayam yang sedang di kejar kambing. Ya begitulah.

♪ ♪ ♪

Senin pagi pukul enam lewat dua puluh menit Niana sudah tiba sekolahnya.

Niana bukan iseng untuk berangkat sepagi ini, hanya saja gadis itu terlalu takut jika harus terlambat datang ke sekolah.

Apalagi mengingat dia ke sekolah hanya bisa berjalan kaki karena uang saku nya tak akan cukup jika harus digunakan untuk ongkos naik angkot, jajan di kantin, atau membeli peralatan sekolah lain nya jika tiba-tiba di perlukan.

Sedih? Sudah pasti, namun gadis itu tetap berusaha bersabar dan percaya jika suatu hari nanti Tuhan akan membiarkan kebahagiaannya datang di waktu yang tepat.

Sekolah masih sepi, mungkin hanya ada satu, tiga, sembilan orang yang baru saja tiba di sekolah, kecuali dirinya.

Niana menyusuri koridor dengan langkah yang cukup santai, bibirnya terangkat membuat sabit saat ingatannya kembali melayang pada kejadian tadi malam dimana dirinya menghabiskan waktu untuk bersenang-senang dengan teman-temannya.

Pipi gadis itu pun terlihat memerah saat sedikit cuplikan yang menampilkan dirinya ditatap oleh Albi dengan senyum manis yang tercetak di bibir pemuda itu.

Apalagi saat tangan Albi mengusap puncak kepala nya dan menarik hidung mancung Niana, yang saat itu benar-benar sukses di buat salah tingkah dihadapan pemuda itu.

Rasanya malam itu dia sangat bahagia, ingin rasanya dia memperlambat waktu agar dirinya bisa terus berlama-lama bersama teman-temannya.

Atau jika tidak dia ingin hari-harinya selalu bahagia saja pun dia pasti akan amat sangat bersyukur. Namun, rasanya itu mustahil.

Lihat selengkapnya