“Ngapain, nih?” Ara menyentuh dudukan bangku dengan ujung jarinya. “Di-cek dulu, mana tau ini prank yang ngasih lem di bangku tamunya.”
~~~
“Hah? Duduk ya?” Aye tersenyum kelewat lebar sambil mengkikuk-an gerak badannya. Dengan sengaja, ia menyenggol tripod kamera sehingga gambar yang dihasilkan bergetar. “Eh, Soriiii!”
~~~
“Gia harus ya, duduk disini?” Dengan suara yang dipaksa imut, ia menghentakkan kakinya agar tampak cemberut. Lalu, ia duduk dengan menghempaskan pinggulnya dan menimbulkan bunyi. “Pokoknya Gia gak mau ngomong sama Kamera! Kamera-nya jahat ngebiarin Gia marah! Ih syebel!”
~~~
Rara masuk dengan sikap queenbee-nya. Songong, ia memerhatikan sekeliling dan tidak mendapati meja untuk digebrak. Akhirnya, ia menggebrak papan tulis super gede aula, membuat suasana mengheningkan cipta mendadak.
“GUE TAU NIAT BUSUK KALIAN SEMUA DISINI, YA! NYARI-NYARI KESALAHAN IS 3? HAH? NORAK AMAT KARENA GAK JADI ANAK KELAS UNGGUL?!” Ia berbicara dengan suara toa-nya.
~~~
Key masuk dengan terburu-buru. Ia berkeliling meminjam kaca lipat kecil, dan begitu berada di depan papan tulis super gede, ia tertawa besar. “Ini kok retak gini, gais? Ditabrak siapa? Chilla ya? Lah Chilla kan masuk abis gue Awokwowowkwo.”
~~~
“CHILLA DATANG WOY ATI-ATI!” Seruan-seruan muncul tepat sebelum kedatangan nama yang tersebut. Chilla mengacungkan tinju-nya yang super gede, lalu tersandung di depan pintu. “Hah? Oh, gue keringetan gini abis split. Mau liat?” Sebelum dilarang, dengan kecepatan cahaya, mendadak badan Chilla sudah tiba diujung lantai. “Masalahnya, gue gak bisa berdirinya.”
~~~
“Ngapa sih ini? Awas ya kalo nggak jelas.” Ellen menghampiri kamera, memilih berdiri. “Duduk? Aman kan kursinya?”
~~~
“Yoo, halo semuanya!!” Friezkha melambaikan tangannya ramah ke penjuru ruangan. “Aman kan semuanya disini? Sarpras-nya lengkap? Gaada yang kurang? Ini udah izin resmi sama Kepala Sekolah, kan?”
~~~
Gladis masuk, duduk, dan diam. “Pada tau kalo gue lagi dapet?”
~~~
“Haloo, hei hei hehehe!” Alin masuk, membungkuk menyapa seluruh makhluk yang terasa eksistensi-nya dalam ruangan. Ia tidak menghampiri kursi dengan setting-an kamera di depannya, tetapi menuju belakang panggung, mendekati kumpulan alat-alat panggung dan juga fasilitas aula. “Oh gue di depan? Hehe gak tau. Nampil ya? Mesti nampilin apa gue?”
~~~