Ladies First

Yamsyina Hawnan
Chapter #3

τραγωδία μύησης

Akhir minggu ini merupakan jadwal untuk acara penting Sekolah Putri Epoch. Acara Inaugurasi murid baru yang merupakan angkatan ke lima puluh sekolah, tentu tidak disia-siakan pihak yayasan sebagai momentum berharga, sehingga kepentingan acara ini meningkat dua kali lipat. Sekolah juga merayakan kelima puluh tahunnya berdiri yayasan Epoch, dan mengundang pejabat-pejabat merayakan acara bersama mereka. Belum pula kedatangan banyaknya media yang menyorot, mulai dari penyiar radio live, berjejer di kursi yang disediakan pihak sekolah, jurnalis lepas suatu blog internet, hingga koran-koran besar dan stasiun televisi.

Untuk itu, desain acara pun dirancang semenakjubkan mungkin. Dengan kreativitas mereka, Aula besar sekolah dibagi dengan dua konsep. Konsep pertama adalah garden party, dengan meletakkan karpet rumput sintesis bewarna hijau dan coklat tanah, lalu meletakkan ranting-ranting buatan serta pohon dengan daun-daun hijaunya. Atap aula diberi hanging garden, yaitu sulur dedaunan buatan yang pada setiap empat sisi diberi lampu gantung kecil. Tenda berdekorasi VIP tertutup. Dengan tinggi sekitar 4 meter, atap dihiasi dengan salur putih-cokelat, lampu LED kuning lembut dan lampu gantung semi klasik, sehingga kondisi suhu dan kelembapan di dalam tenda dapat lebih membuat tamu merasa nyaman. Prasmanan khas daerah maupun kudapan kecil dijejerkan di setiap sisi kanan dan kiri Aula, begitu pula dengan minuman pelepas dahaga. Aula ini bisa digunakan wali murid ataupun tamu undangan untuk bercengkrama dan beristirahat mengisi perut.

Dan aula utama sebagai tempat acara inti dilaksanakan, diberi konsep ‘Twilight’. Atap aula di buka, dan mereka menggunakan tenda transparan, sehingga kita bisa langsung menikmati cahaya bintang dari langit. Acara inti, yaitu inaugurasi memang akan diadakan ketika malam, dan hanya murid baru yang akan menghadiri acara tersebut. tenda transparan tersebut kemudian dihiasi dekorasi salur bewarna violet dan jingga, kemudian diberi beberapa lentera lampu. Ini termasuk konsep dekorasi tenda modern, dan semi terbuka. Kursi-kursi dengan kain putih disusun berjejer menghadap panggung besar, dengan pin bunga yang sudah disiapkan, dan jajaran almameter sekolah bewarna navy yang akan dibagikan ketika acara inaugurasi dimulai.

Kerja Sekretaris Na ini tentu menimbulkan banyak decak kagum dari berbagai pihak. Para senior, terkhususnya bagian OSIS dan MPA tampak berseliweran dengan jas khusus mereka yang bewarna abu-abu dengan kelir merah dan kokarde melingkar di leher sebagai tanda pengenal. Kesibukan tampak dari setiap sudut sekolah. Belum lagi dengan banyaknya stan-stan yang berdiri, karena SPE sendiri meminta siswinya agar melakukan praktek berwirausaha saat itu. Berbagai jenis stan berdiri, dan separuhnya didominasi oleh stan makanan.

Dan, kita tiba di sisi lain kemegahan sekolah ini. Kumpulan anak ayam yang berjumlah 105 orang berkumpul berdesakan pada tempat pendaftaran. Mereka berjubel, berdiri mengantri diantara barang-barang bawaan mereka sendiri. Orangtua mereka sudah dipisah sedari gerbang sekolah, mereka dibawa ke tempat pendaftaran, dan orangtua mereka menunggu di aula pembukaan. Sekolah sendiri menganggap hal itu merupakan pembuktian kebijakan mereka untuk memandirikan murid-muridnya.

“Silahkan barisannya ditambah disebelah sini, adik-adik!” Seorang senior berseru menggunakan megaphone, membuat pekak kuping anak baru di sebelahnya. Anak baru itu mendumel, namun buru-buru mengubah ekspresi kesalnya agar ia tidak dijadikan sasaran oleh seniornya itu. Anak-anak lain masih berjejer, menunggui giliran mereka meregistrasikan ulang diri sendiri. Di tengah-tengah penantian itu, topik pembicaraan dibuka. Dengungan bisik-bisik, percakapan riuh, serta gelak tawa bercampur, dan entah mengapa menambah sesak kerumunan tersebut.

Seorang senior, berjalan cepat seraya membalik lembaran di tangannya. Ia lalu menepuk pundak temannya, tampak terburu-buru.

“Udah lengkap semua ini jumlah anak barunya?”

Temannya yang bertugas segera menanyai bagian pendaftaran awal, kemudian kembali ke posisi awalnya. “Kata yang jaga di depan masih kurang lima orang.”

“Udah konfirmasi sama bagian depan?”

Temannya menghidupkan HT-nya, berseru ‘ganti,ganti’ dengan penerima di seberang. Setelah bergantian berbicara beberapa saat, ia kembali melapor kepada temannya. “Kata yang jaga di gerbang juga masih belum ada penambahan orang.”

Sang Senior mendecak. Ia tampak gelisah, gerak-geriknya semakin panik. “Kok bisa ada yang telat gini? Kan kita ngedarin suratnya gak telat, kan? Yang daerahnya jauh udah kita kirim duluan, kan? Kok bisa-bisanya telat di hari pertama sekolah?”

Temannya menggeleng. “Mungkin kejebak macet. Kan katanya tiga ratus meter dari sini macet parah. Lagian, di depan juga ada simpang empat, mungkin kesendat disana.” Ia lalu menepuk pundak temannya menenangkan. “Udah, lu kedepan aja. Kurang lima butir orang juga gaada yang notis, kan? Ntar pas mereka tiba langsung gue anter kesini.”

Si Senior menghela napas. “Iya, gaada yang notis. Tapi si Nona Biarawati ya pasti nyadar dong? Lo gak tau matanya tuh udah kayak teropong bintang? Zoomnya detail banget, parah!”

“Gimana? Udah ready ini anak-anak barunya? Kita udah telat lima belas menit loh dari jadwal.”  

Tepat seperti rumornya, Sang Kepala Sekolah mendadak muncul ditemani Sekretaris Na. Sang siswi dan temannya terperanjat kaget, buru-buru merubah raut wajahnya.

“Eh, Bu Kepsek. Ini Bu, ada lima anak lagi yang belum datang. Saya baru mau ngecek, mau ngontak keluarganya nanyain keadaan.”

Sang Kepala Sekolah mangut-mangut. Pandangannya lalu jatuh kepada rombongan anak didiknya yang menatapnya terpaku. Si Kepala Sekolah tersenyum, melambaikan tangannya. Lalu, ia kembali berbicara dengan Si Senior.

“Udah, kita mulai aja dulu acaranya. Toh, lima orang gak akan ada yang menyadarinya, kan? Nanti kalau udah dateng bisa dianter langsung, kan?”

Sang Kepala Sekolah langsung berbalik, meninggalkan kedua siswinya yang ter-savage oleh kelakuannya. Tanpa ba-bi-bu lagi, Si Senior langsung melaksanakan tugasnya.

“Udah, sekarang semuanya silahkan menuju Aula!”

~~~

Aurora mengusap matanya. Jendela kamarnya sudah terbuka, yang berarti tadi Mama sudah membangunkannya dan Aurora tidak bergeming sama sekali. Ciap-ciap burung pun terdengar, mengembalikan kesadaran Aurora.

“Rora? Udah bangun?”

Entah radar apa yang terpasang pada badan Mama, namun beliau bisa mengetahui keadaa Rora tanpa bertatap muka sama sekali.

“Udaah.” Ucapnya keras, masih mengusap matanya.

“Rora, ini harinya kan?”

“Hah?”

“Hari yang dari amplop kemaren.”

Proses connecting tidak berlangsung lama. Dalam tiga detik Aurora tersentak, sisa kantuknya hilang, dan dengan kecepatan kilat ia membuka pintu, melaju menuju kamar mandi. “Mah, jam berapa sekaraaang????”

“Jam delapan kurang seperempat.”

Gawat! Waktu Aurora bersiap hanya lima belas menit! Namun ia masih sedikit bersyukur, letak rumahnya cukup dekat dengan lokasi sekolah tersebut. Dan ia bisa mandi bebek, dalam kurun waktu dua menit telah siap. Begitu keluar dari kamar mandi ia misuh-misuh. “Mah, ini barang adek udah siap?”

“Udah. Eh, tapi gak tau kalo kurang.”

“Yaaah Si Mamahh-”

“Eh sebelum Rora nyalahin Mama, Adek udah Mama bangunin loh, Dek, dari jam enam! Salah sendiri tadi malam bergadang!”

“Ya gimana, Mah. Kan Rora butuh banyak kesiapan dalam menghadapi babak baru.” Sambil mendumel, Aurora mengenakan Kemeja putih dengan bawahan rok Abu-abu sesuai yang diinstruksikan oleh surat tersebut. Surat aneh yang didapatnya seminggu lalu. Surat yang dibangga-banggakan Mamanya lebih sering daripada ia membanggakannya.

Lihat selengkapnya