Ladies First

Yamsyina Hawnan
Chapter #4

ολοκαίνουργια ξαφνική μέρα

 semuanya berlalu terlalu cepat.

Ellen rasa ia lupa dengan apa yang terjadi. Semuanya begitu kacau, apalagi teriakan membahana dalam dirinya. Malu yang ia rasakan sudah tidak dapat didefinisikan lagi. Malu yang akan turun menurun tujuh generasi percicitannya.

Queen yang cepat tanggap pertama kali. Ia menarik Aurora dan Mora yang masih mengalami disorientasi, sedangkan Vee sudah terlebih dahulu menggendong Ellen menjauh. Secepat kilat, mereka hilang seakan mereka tidak pernah datang.

Senior mereka menunggu di depan pintu dengan berkacak pinggang. Mengomel betapa nakalnya kami hanya disuruh sebentar, lalu mulai merembet bahwa kami memalukan nama sekolah dan bangsa. Vee mendebat senior itu dua kali, dan dihukum push up sesudahnya. Mora mencoba berkompromi dan melakukan banyak argumentasi, sedangkan Aurora, mendadak kehabisan daya, diam lesu. Ellen perhatikan merah di telinganya belum juga hilang.

Ellen seharusnya benar-benar mengutuk gadis itu, kalau perlu mereka tidak usah berkenalan saja lagi semenjak hari itu. Tetapi melihat Aurora yang sangat menyesal, kehilangan selera untuk menceletuk, ia rasa ia kasihan juga. Lagipula, Aurora-lah yang mencairkan suasana di depan pintu aula tadi. Mereka tidak sedekat itu hingga ia datang, dengan segala ceplas-ceplosnya.

Queen sudah lebih dulu duduk di samping gadis itu, mengusap pundaknya. Aurora menoleh, dan bisa Ellen pastikan sebentar lagi dia akan menangis.

“Teman-teman pfffft.”

Aurora membekap mulutnya, melotot tidak percaya. Apalagi Ellen dan Queen yang ada di dekatnya.

“Rora minta maaf pffftttthk.” Ia lalu membekap mulutnya lagi, diam lama dengan muka yang berusaha serius. “Ya ampun, emang ya mulut Rora gak bisa di filterrrr. Maaf ya, teman-teman, padahal Rora udah mempermalukan kalian tapi Rora malah ketawa.” Ia lalu mengubah sikapnya, kini membungkuk dengan sungguh-sungguh. “Rora minta maaf! Semuanya salah Rora!”

Mereka hening sejenak. Vee lalu berdeham, kemudian tawanya menyembur. Aurora mengangkat kepalanya, celingukan mencari sebab kenapa Vee tertawa begitu kencang.

“Gila, Ra, tadi itu keknya satu-satunya momen gue nahan nyumpah, anjrit!! Tegang banget, Bo! Gue dikejar guru BK aja gak setegang itu anjir.” Ia lalu menepuk-nepuk pundak Aurora. “Baru hari pertama udah bikin orang femes ae lu.”

Gadis itu menggaruk rambutnya. Queen disampingnya pun ikut tertawa kecil, lalu melotot marah walau malah menjadi imut. “Yaampun Rora, bener kata Vee. aku juga tegang banget tau, tadi. Mana kita masuknya pas gubernur lagi pidato, abis itu masuknya heboh lagi pake jatuh segala.”

Aurora memeluk Queen erat. “Huhuhuhu maaf Queeeen, emang pintu aula tuh berniat ngejatuhin Rora! Kagak bilang-bilang gitu ini tuh pintu dorong tolong jangan ditarik huhuhuhu!!”

Mora mendekat, kelihatannya ia mendengar isakan Aurora. “Siapa yang nangis?”

Aurora menoleh, wajahnya memelas. Mora terdiam, lalu Aurora datang dan memeluknya erat.

“Moraaaaaa… maafin Rora ngebikin Mora ikut jatuhhhh!”

Mora diam, kemudian melepas pelukannya. Ia lalu memasang muka datar, yang membuat air mukanya berubah seratus delapan puluh derajat. “Gue gak suka, Ra, permaluin diri sendiri kayak tadi.”

Aurora memelas. Wajahnya memang sudah memasang raut menyesal sedari tadi, tetapi mendengar perkataan Mora tidak pelak hatinya mencelus. “Ma, maaf, Mora. Rora emang salah, harusnya kalo jatuh jatuhnya sendiri aja, gak perlu bawa-bawa Mora.”

Mora masih menatap gadis itu tajam, lalu memalingkan mukanya. Setelah itu, bahunya tampak bergetar, membuat mereka terkaget.

Aurora merengek, memeluk Mora erat-erat. “Ya ampuuun, Mora jangan nangissss. Rora emang jahaaat, Mora tuh gak salah apa-apa.” Gadis itu berseru panik. Ia mengguncang-guncang pundak Mora, lalu terdiam lama melihat wajah datar Mora.

Ellen menahan tawa. Ia mengerti apa yang Mora lakukan. Queen dan Vee mendekat begitu Aurora berseru-seru.

“Woi, kenapa Mora idungnya ngembang-ngembang gini?”

Akhirnya Mora tertawa, dan kencang sekali. Mora memiliki tawa khas yang dengan tarikan napas yang terdengar jelas, seperti suara yang terjepit. Ia akan terdengar setiap beberapa detik sekali.

Aurora diam lama, barulah ia ikut terkekeh. Mora masih tertawa, kini napasnya terdengar congek sehingga mereka khawatir.

“Ra, Mora ketawa apa sesak napas, sih.”

Gadis itu masih terkekeh. “Ya ampun muka lo aib banget tadi, Ra, sumpah.” Ia lalu memukul bahu Aurora pelan. “Malu banget gue tadi jatuh bareng lo. Tau gitu lo gue biarin aja ngeper di lantai.”

Ellen tersenyum. Aurora sudah berseru-seru mengenai betapa teganya Mora berpikiran seperti itu, di tambah ucapan kompor dari Vee. Queen diam memerhatikan, tertawa kecil begitu mereka mulai mengucapkan hal-hal ngaco. Ellen ikut pula memerhatikan, lalu menghela napas lega. Setidaknya semua kejadian itu sudah terlewati, dan seharusnya ia bersikap seperti teman-temannya. Positif dan tetap tenang.

Aurora menoleh kepadanya begitu Ellen menghela napas. Ia menggaruk rambutnya kikuk, menjulurkan tangan. “Len, maaf ya. Kalo Ellen mau marah sama Rora gak apa-apa, kok. Rora emang malu-maluin banget, rasa malu aja gak mau deket-deket Rora.”

Ellen tersenyum kikuk. Ia menjabat tangan Aurora dengan cepat. Seharusnya ia marah. Tidak ada diantara mereka yang memperingati Aurora, karena mungkin mereka baru kenal sehingga ada rasa segan untuk ikut campur. Ellen tadinya tidak merasa begitu. Tadinya ia benar-benar marah, malu, kaget bercampur aduk. Ia sudah siap menasehati Aurora, memberitahunya bahwa kejadian itu benar-benar memalukan.

Tetapi, rasanya ada sesuatu yang membuat ia menahan emosinya. Dalam waktu sekejap, ia lupa rasa marahnya terhadap gadis itu. Ia bahkan kini memaafkan gadis itu, sangat berbanding terbalik dengan tekadnya yang tadi sangat kokoh untuk memarahinya.

Rasanya, ia tau apa yang membuat Aurora dapat menghangatkan suasana mereka. Membuat mereka tertawa walau mereka dilanda masalah seperti sekarang. Ia benar-benar berbakat untuk hal itu.

Its Okay,Ra. Semua orang pernah salah.” Ia lalu mengedipkan sebelah matanya. “Gue rasa malah sekarang kita lagi bikin sejarah yang tak terlupakan satu sekolah.”

Aurora tersenyum lega, kini ia kembali memeluk Ellen. Ellen menghitung, entah berapa kali gadis itu memeluk seseorang pagi ini?

“Sebetulnya tadi muka Ellen tuh kayak marah banget, makanya Rora gak berani minta maaf ke Ellen.” Aku gadis itu. ellen terkekeh, ia menepuk-nepuk punggung Aurora.

“Nasib kita gimana, nih.” Ia bergumam, merasa belum ada tanda-tanda selesainya acara. Ia tidak tahu apa pula yang akan menunggu mereka selepas acara ini, dan kelanjutan nasib mereka. Vee dan Mora sudah dua kali mengeluh haus, dan mereka tidak lagi diizinkan meninggalkan tempat sejengkal pun. Ia melirik jam tangannya. Jika menurutkan waktu yang tertera di undangan, acara harusnya akan berhenti sekitar setengah jam lagi, tetapi ia memutuskan ragu dengan waktu yang tertera di sana.

Setengah jam mereka lewati dengan mengobrol. Aurora mengaku ia belum pernah menguncir rambutnya. Tadi ia sempat berseru-seru panik begitu ia menyadari ia menghilangkan bando peraknya. Queen juga sudah memberi klarifikasi, bando Aurora tidak ada di kepalanya ketika Queen memberinya jepitan. Aurora juga sempat berkeliling mencari bando, tetapi ia segera ketahuan oleh senior dan membuatnya harus menunggu patuh.

“Nanti kita temenin nyari.” Vee memberi solusi. Ellen curiga Vee sama gatalnya dengan Aurora, ingin loncat sana- loncat sini. Menunggu di sini tanpa melakukan apa-apa pasti membuatnya bosan. Mereka bersepakat, ber-tos ria.

Queen mengatakan bahwa ia sangat menyukai monyet. Ia membawa banyak pernak-pernik monyet. Aurora dan Mora pun menjahili Vee, mengejeknya sebagai monyet. Aurora berkali-kali memintanya melakukan gerakan menggaruk khas monyet, dan Mora berkali-kali berbicara bahwa Queen meninggalkan barang terpentingnya, menyuruhnya memanjat pohon dengan jahat. Ellen ikut pula, mengganti nama Vee dengan Moo, tetapi itu malah membuatnya seperti sapi.

Obrolan mereka sudah ngalor-ngidul, begitu pintu besar aula terbuka.

Aurora segera terperanjat. Vee disebelahnya meneguk ludah, gugup. Tetapi ia malah tampak lebih sangar dengan raut wajah yang kaku. Queen tetap menatap lurus ke depan, tidak terpengaruh dengan bisik-bisik manusia yang melewati kami. Mora apalagi, matanya menusuk tajam setiap kali ia mendapati seseorang yang melirik mereka seraya berbisik-bisik. Ellen menggaruk kepalanya, mencari keberadaan senior-senior yang setidaknya bisa mengurangi kerumunan yang membicarakan mereka dan memberi tahu mereka apa yang harusnya mereka lakukan. Tetapi semua senior menghilang entah kemana, tersapu kerumunan manusia.

“Apa ada manusia yang menginginkan untuk segera pergi dari sini?” Tanya Aurora pelan, jengah dengan tatapan orang-orang yang kebanyakan membicarakan mereka. Vee segera setuju. Tadi dia berhasil membuat setengah kerumunan menghindar melihat tampang ngajak ributnya.

“Kita semua mau, Ra. Masalahnya, nanti kita kena masalah lagi gimana?” Mora mengeluh. Beruntung saja, begitu ia menyelesaikan omongannya, seorang senior dengan almamater abu-abunya mendekati mereka.

“Kalian berlima yang telat?” Tanya kakak kelas mereka itu. ia mengenakan piercing hitam kecil di telinga kirinya, masih tersenyum.

Mereka cepat-cepat mengangguk. Senior tersebut tersenyum, mengajak mereka mengikuti langkahnya. “Nama gue Ify, ya. Gue sekennya sekolah, Seksi Keamanan. Kepsek merintahin gue buat ngurus kalian.”

Ucapan Ify membuat pucat kelima gadis yang masih berstatus murid baru itu. Mereka mengikuti Ify dengan senyum terpaksa, dan wajah memucat, takut. Pastilah hukuman akan mereka dapatkan, karena adegan tersebut sangat krusial dan mempertatuhkan nama sekolah. Lagi-lagi, Aurora mendadak gugup karenanya. Nasib buruknya memang selalu menempelinya kemanapun ia pergi!!

Mereka beranjak mendekati kerumunan murid-murid baru. Ify berhenti di sebelah rekannya, membisikkan beberapa kata, lalu meninggalkan mereka disana tanpa mengucapkan kata apapun. Senior yang tadi berbincang dengan Ify mendorong mereka memasuki barisan.

Aurora menganga lebar-lebar. Rasa gugupnya kalah dengan heran yang meluap. Begitu pun dengan Ellen, Mora, Vee, dan Queen. Sepatutnya, mereka sudah terkena hukuman sekarang, dimarahi berjamaah di ruang kepala sekolah. Walaupun mereka tidak berharap untuk kena marah, tetapi rasanya mendadak lolos dari hukuman itu ganjil.

Mereka masih sama-sama diam untuk beberapa saat, setelah Vee akhirnya menghela napas, memutuskan untuk melupakan. Justru bagus mereka tidak mendapat hukuman di hari pertama sekolah. Ellen melirik Vee yang mulai mengikuti instruksi di depan, kemudian menarik Mora mengikutinya. Aurora pun mengekor bersama Queen.

“Hei!” Bahu Aurora ditepuk pelan. Gadis itu menoleh, melirik pelaku penepukan yang kini menatapnya dengan senyum.

“Ergh,, ya?” Aurora menggaruk lehernya, gugup. Gadis itu meliriknya rombongannya sebentar, kemudian mengibas rambut hitam panjangnya yang kontras dengan kulit putihnya. “Lo kan, yang jatuh di pintu aula tadi?”

“Aduh!” Aurora menutup mulut perempuan itu, salah tingkah. “Jangan klarifikasi gede-gede, malunya masih nempel, loh.” Aurora memeriksa keadaan, memastikan tidak ada yang menyadari ucapan gadis itu. “Iya, kenapa, ya?”

“Oh, lo ngejatuhin ini tadi.” Ia merogoh sakunya, mengeluarkan bando perak yang sudah Aurora cari-cari dari tadi. Matanya segera berbinar, ia mengangguk-angguk semangat.

“Waah, makasih!! Ketemu dimana?” Aurora menerima bando tersebut, mengenakannya cepat agar dapat menahan anak rambutnya yang menutupi mata. Jepitan Queen hanya menahan sedikit, sedangkan dengan bando lebih banyak anak rambut yang dapat ia tahan. Ia benar-benar membutuhkan bando karena anak rambutnya tidak pernah mau diajak berkompromi, mencuat-cuat dan muncul sesuka hati.

“Disana.” Gadis itu menunjuk arah tidak jelas, yang mungkin menunjuk letak pintu aula. Ia tersenyum lagi, melambai. “Duluan, ya.”

“Eh tunggu. Namanya siapa? Kenalin nama Rora Rora.”

“Rora Rora?”

Lihat selengkapnya