MOS sudah berakhir. Dan target akhirnya sudah tercapai, yaitu mengeratkan ikatan anak-anak baru dan membentuk hubungan yang erat. Kini, setelah malam ininsiasi, yang mengukuhkan kedudukan angkatan 50 sebagai anggota resmi SPE, semua ketegangan mencair. Senior-senior yang selama ini memasang wajah galak mereka, kini berubah menjadi seorang teman baik, kakak kelas yang asyik dan ramah. Mereka juga menghabiskan malam itu dengan barbeque party, dan tingkah konyol mereka seakan-akan mereka sedang meminum minuman alkohol, berpura-pura mabuk dan menari seakan berada di klub. Dalam waktu singkat, semua kejaiman hilang, dan meninggalkan ikatan batin sesama mereka.
Kini, murid angkatan 50 berkumpul kembali di aula, sudah dengan tampak lusuh dan badan yang lepek. Mereka kini tinggal menunggu pengumuman nomor kamar dan kelas, barulah mereka dapat beristirahat hari itu.
Aurora, Ellen, Mora, Queen, Vee, Chilla, dan Aya duduk berdekatan. Mereka masih asyik saling bercanda, menentukan siapa yang tampak paling lusuh dan bau. Dan prediket paling lusuh disandang oleh Vee, dan yang paling bau adalah Chilla. Mereka kembali asyik bergelut, saling tuduh.
Suara ketukan sepatu terdengar memasuki ruangan. Hanya butuh sekali pertemuan bagi anak-anak baru untuk mengingat ke-khas-an kepala sekolah mereka. Juga sekali pertemuan untuk terbiasa dengan kehadiran Sekretaris Na yang selalu mengekori Sang Kepsek dengan gaya tenang dan alpha women sekali. Walaupun Sekretaris Na sangat anggun, namun wibawanya tidak bisa dibandingkan dari Sang Kepsek.
Kepala sekolah berjalan mendekati podium dengan gaya yang nyaman. Dia mengenakan setelah blus bewarna cerah kesukaannya, diikuti Sekretaris Na dengan pakaian kerjanya yang lengkap dan rapi tanpa satu kerutan pun. Sambil berjalan, tangannya sibuk dengan map yang ia pegang, membolak-balik dan menulis di sana tanpa kelihatan kesusahan sedikit pun. Di bawah mapnya terdapat buku catatan kecil yang akan ia pergunakan untuk mencatat setiap poin penting yang Sang Kepsek sampaikan.
Kepsek mengetuk ujung pengeras suara dengan tenang, memastikannya hidup dan bekerja. Setelah satu ketukan pelan, beliau berdiri anggun, memegang mic tersebut.
“Selamat pagi semuanya.”
Koor balasan sapaan tersebut terdengar. Aurora bersemangat sekali. Setiap detik yang terlewati akan mendekatkannya dengan asrama barunya. Sungguh ia tidak bersabar untuk membersihkan diri dan beristirahat.
“Hari ini kita mengakhiri acara orientasi yang dilaksanakan dua hari lamanya. Ibu berharap acara tersebut benar-benar mencapai tujuannya, untuk mengakrabkan kalian dengan lingkungan sekolah, gedung-gedung, anggota, serta staf di dalamnya. Apa tempat favorit kalian sejauh ini?”
Serempak, mereka menyerukan kata kantin bersamaan, seakan telah berkompromi untuk itu. kantin memang benar-benar spot paling enak yang Aurora ketahui. Letaknya juga dekat dengan jajanan kuliner di depan sekolah mereka, dan kantin selalu menyediakan berbagai pilihan lauk yang lezat dan mengenyangkan.
Kepala sekolah tertawa kecil mendengarnya. “Sepertinya dari tahun ke tahun kantin tidak terkalahkan, ya. Kenapa jawaban kalian sama persis dengan angkatan sebelumnya?”
“Nah, seperti yang kalian ketahui, hari ini Ibu akan membagi kalian setiap kamar asrama. Barang kalian sudah diletakkan di kamar yang ditentukan. Kalian bisa membereskan perlengkapan yang kalian bawa pada fasilitas lemari yang telah disediakan. Setelah selesai, kami akan memberi waktu hingga sore nanti untuk keperluan pribadi kalian. Jangan lupa untuk memanfaatkannya sebaik mungkin.” Kepala Sekolah menunggu kami selesai bersorak riang merayakan kenyataan tersebut. “Dan kabar gembira, hari ini kalian boleh memegang alat elektronik kalian setelah diregistrasikan dengan bagian IT sekolah. Sekian, setelah ini kalian bisa mengikuti instruksi Sekretaris Na.”
Chilla sudah berseru riang sekali mendengar ia bisa menyentuh gadgetnya. Sedari kemarin ia mengeluhkan bahwa ia memiliki urusan penting dengan smartphone-nya itu. Aurora juga terlihat tidak sabar, ingin bergegas menelepon Mamahnya.
Senior mereka berdiri di depan, mulai menyebutkan absen mereka satu persatu, membagikan kunci kamar. Aurora mengehmbuskan napasnya. Tentu saja ia akan mendapatkan urutan pemanggilan terakhir, karena namanya sendiri diawali abjad ‘y’.
Seorang anak juga duduk di sebelahnya, terlihat tidak antusias menunggu namanya dipanggil. Aurora memerhatikannya, menceletuk.
“Namanya diabjad terakhir juga, ya?”
Gadis itu menoleh. Badannya mungil sekali, dan ia memiliki mata bulat besar. Pipi chubby-nya bergerak begitu ia mengangguk.
“IIh, sama dong. Rora abjad ‘y’, tau.”
“Lah, aku abjad ‘z’.” balas gadis itu. Aurora terkekeh. Ia menjabat tangan gadis itu.
“Sampingan dong, abjad kita.”
“Heeh. Kenalan dulu, ah, temen sampingan pas wisuda besok.”
Aurora terkekeh lagi. Anak di sebelahnya itu benar-benar lucu. Ia mengangguk-angguk.
“Kenalin, Aurora.”
“Lah, itu nama kamu A awalannya.”
“Nama panggilan aja. Nama awal Rora tuh, Yunna. Namanya siapa?”
“Masih mending. Nama aku Zetta. Seringnya orang-orang manggil aku Zet aja! Kayak manggil alfabet.” Gadis itu mengeluh disampingnya. Aurora tertawa lagi.
“Nama Rora kalo dipanggil gitu kayak orang marah, dong. Y.”
Mereka mengobrol singkat lagi, sebelum akhirnya nama mereka berdua disebut, dan keadaan aula saat itu sudah benar-benar kosong. Jumlah murid yang tidak terlalu banyak membuat mereka tidak perlu menunggu terlalu lama.
Aurora melirik nomor kuncinya, sedikit berharap ia sekamar dengan kelima temannya, atau Zetta di sebelahnya. Namun, Aurora mendapat kamar 32, sedangkan Zetta mendapat kamar 33.
“Yah, Cuma sebelahan.” Aurora memainkan kuncinya ditangan. Ia kini berjalan berdampingan dengan Zetta menuju gedung asrama mereka. Zetta tersenyum.
“Gak papa lahh masih sebelahan. Sering-sering aja kamu main ke kamarku!”
“Okay, Zet.”
“Tambahin ‘A’ lah!”
“Oh, oke A’ Zet.”
“LOH BUKAN AA’-AA’!” Zetta berseru kesal. Aurora terkekeh, memohon ampun.
“Hehehe, iya ah, bercanda.”
Letak gedung asrama mereka ternyata berdekatan satu sama lain, dan hanya berkumpul pada satu lokasi. Hanya ada tiga gedung di sana, dan setiap gedung diberi nomor. Aurora mendapat gedung satu, tepat di jalan masuk perkomplekan asrama. Zetta juga berada di gedung yang sama dengannya.
Aurora baru mengetahui bahwa ternyata gedung asrama mereka tidak dipisah berdasarkan tingkat. Satu gedung dapat dicampur dari setiap angkatan, dan pembagian hanya dilakukan berdasarkan lantai. Lantai 1 ditunjukkan untuk senior tingkat akhir, lantai dua untuk kelas 2, dan lantai ketiga untuk anak tingkat pertama.
Satu tingkat gedung memiliki sekitar 20 ruangan, walau tidak seluruhnya berisi. Ruangan yang tidak berisi biasanya dipergunakan sebagai gudang, tempat perlengkapan, dan penyimpanan. Setiap lantai juga memiliki ruangan laundry. Satu kamar bisa berisi dua atau tiga anak, tergantung dengan pembagiannya.
Kamar 32 berada di hadapan tangga. Tangga berada di kedua sisinya, dan kamar Aurora berada di sisi kanan. Zetta berada di sampingnya, berhadapan dengan kamar sebelahnya. Aurora memutar kenop, tidak menggunakan kunci karena yakin penghuni kamarnya telah datang.
Kamar tersebut berisi dengan ranjang tingkat, dan terdapat jendela besar disampingnya, menghadap lingkungan sekolah. Terdapat dua lemari dua pintu, dua meja belajar, serta satu kamar mandi. Seorang anak kelihatannya sedang menggunakan kamar mandi tersebut karena Aurora mendengar suara air mengucur.
“Loh, Aurora?”
Pintu kamar mandi terbuka, dan sesosok gadis manis muncul. Aurora masih mencoba mengenalinya beberapa saat, barulah bertepuk tangan riang.
“Tara, kan?”
Tara mengangguk. Ia mengusap mukanya dengan handuk kecil yang sebelumnya tersampir di bahunya. “Aku kira kamu di gedung dua. Soalnya, temen-temen banyak disana.”
“Gedung dua kan gede, yah?”
Tara mengangguk lagi. Ia lalu menunjuk kasur. “Kamu maunya di atas apa bawah? Tadi aku udah milih di atas, sih, tapi kalo kamu mau ganti posisi juga gak apa-apa.”
“Oh, gak apa-apa, Rora di bawah aja.” Aurora menungkas, melambaikan tangannya. Tara tersenyum lagi, mengangguk.
“Kalo gitu, meja belajarnya kamu deh yang milih, sama lemarinya.”
Aurora menggaruk rambutnya. “Buat Rora dimana aja nyaman, sih, serius.” Ia lalu mengamati letak meja belajar tersebut. Satu meja berada di samping jendela besar, dan satu lagi menempel dengan ranjang, menutup bagian depan kasurnya. Di samping meja belajar tersebut terdapat tangga yang digunakan Tara untuk menuju ke atas kasurnya, dan di hadapan kasur mereka terdapat dua lemari berjejer, barulah pintu kamar mandi.
“Rora yang di dekat kasur aja, deh. Suka gamang soalnya Rora kalo ngeliat jendela terus-terusan.”
Tara tersenyum riang, membuat Aurora dapat menebak bahwa gadis itu memang menginginkan meja di dekat jendela tersebut.
Setelah itu, mereka sibuk dengan kegiatan beres-beres masing-masing. Lemari yang disediakan sekolah dapat menampung barang Aurora yang cukup banyak. Sekolah juga menyediakan meja belajar dan tas sekolah khusus murid SPE. Di dalam lemari juga sudah digantung seragam sekolah yang sudah rapi dan disetrika hingga wangi. Juga sudah disediakan box penyimpanan yang dapat kita simpan di kolong kasur ataupun di atas lemari. Juga sudah ada tong sampah, sapu, dan pel kecil sebagai alat bersih-bersih.
Aurora menghabiskan dua jam penuh hingga semua barangnya bersih, tertata, dan tampak rapi. Ia juga sudah menyapu lantai, memasang seprai untuk bantal dan kasurnya, dan juga sudah menyusun perlatan mandinya. Tara mandi duluan, dan Aurora kini sibuk dengan ponselnya, menelepon Mama.
Mama menjawab teleponnya bahkan ketika nada dering baru berbunyi sekali. Dan setelah itu, Mama memberondongnya dengan pertanyaan bertubi-tubi, yang malaikat maut aja kalah banyak pertanyaannya dengan yang Mama lontarkan. Mungkin Mama khawatir, mungkin juga sudah rindu dengan Aurora.
“Terus sekarang kamu udah mandi?”
“Ya belum, tunggu giliran dulu.” Aurora merebahkan kepalanya. Mama berdecak kesal.
“Ish, jorok bener sih. Baunya nyampe kesini, ah.”
“Emang idung Mamah normal?”
“EH SEMBARANGAN YA!!”
Aurora terkekeh. Ia menatap langit-langit kamarnya, rindu juga menggoda Mamanya seperti saat ini. Sebentar lagi ia akan memiliki kesibukan, tentunya pikiran dan waktunya akan tersita dan akan membuatnya jarang menelepon mamanya.
“Mas Eno katanya mau pulang hari ini, mau liatin adek.”
Aurora berseru riang. Abangnya satu itu memang sangat protektif kepadanya. Padahal kini ia sedang sibuk-sibuknya mengejar sidang disertasi program S2-nya di pulau seberang, namun begitu mengetahui Aurora memasuki SPE, abangnya itu langsung memesan tiket pulang untuk memastikan keadaan Aurora baik-baik saja.
“Mas Idan gimana, Mah?”
“HAH? Ngomong apa kamu, sih? Anak Mamah cuma dua!”
Aurora bisa menebak bahwa Zaidan, abang keduanya itu pastilah sedang bertengkar dengan Mamanya. Dari tiga anak Mama, Zaidan merupakan langganan bertengkar dan beradu pendapat dengan ibunya tersebut. Untuk Aurora sendiri, Zaidan merupakan daftar teratas penghuni neraka. Ia bilang, ia mengganggu Mamahnya karena bosan dan menyukai keributan. Walaupun Aurora juga menyukai keributan, tapi baginya Zaidan itu keterlaluan. Abangnya kini berkuliah di luar negeri, untuk menghindari Mamahnya dan ia memang pintar. Ia tinggal disana berdua dengan Papa Aurora, sehingga masih bisa diatur karena Papa mereka itu sangat mengerikan.
“Adek pengen ketemu Mas Idan sama Mas Eno.” Guna mendamaikan Mamanya dengan abang keduanya itu, Aurora akhirnya menggunakan panggilan ‘adek’ yang hanya ia pakai untuk membujuk orangtuanya ataupun abang-abangnya itu. Mamanya selalu luluh dengan pemakaian kata itu.
“….”
“Maaah….”
“Ih, iya ntar Mamah bilang.”
“Mah, Mas Eno ada gak bawain yang kemaren adek minta?”
“Gak tau tapi udah Mamah bilang.”
Mereka kembali berbincang singkat, dan ditutup begitu Mamanya berjanji untuk mengunjunginya hari senin atau selasa. Aurora menutup teleponnya, kemudian memasang charger untuk mengisi daya ponselnya.
Baiklah. Aurora ingin mandi.
***
Hari telah sore begitu Aurora terbangun. Selepas mandi siang tadi, Aurora memilih untuk tidur siang. Namun sepertinya badannya memang kelelahan, sehingga ia tidak bangun-bangun hingga Tara mengguncang bahunya.
“Hngh?” Ia mengerang pelan, bertanya melalui erangannya.
“Ra, ada yang nyariin.”