Akhir Minggu berakhir juga. Kini, dengan masuknya awal minggu, Angkatan 50 sudah resmi menjadi anggota tetap SPE, dan harus mengikuti segala peraturan sekolah tanpa keringanan lagi. Mereka tidak bisa lagi menjadi anak bawang sekolah, benar-benar mulai dididik keras dan disiplin.
Aurora tidak memiliki masalah dengan bangun pagi. Tara juga, mudah bangun walau harus Aurora bangunkan terlebih dahulu. Mereka sudah bersiap-siap sedari pukul lima, karena mereka sudah harus hadir di ruang makan pukul enam. Ruangan makan akan ditutup pukul tujuh kurang seperempat, dan mereka akan melaksanakan apel pagi pukul tujuh tepat.
Seluruh ruangan lantai tiga kini sibuk dengan segala tetek-bengek perseragaman mereka. Berbeda dengan seragam SMA biasa, sekolah menekankan atribut yang rapi dapat membentuk kedisiplinan di dalam diri anak. Seragam Senin adalah baju putih abu-abu, dengan luaran almamater sekolah dan rompi OSIS untuk anak-anak OSIS, yang bewarna merah. Seragam selasa adalah batik biru dengan rok navy, rabu adalah seragam teribet. Mereka mengenakan kemeja putih di dalamnya, lalu cardigan hitam, dan blazer, bisa bewarna putih ataupun abu-abu. Boleh menggunakan dasi atau tidak. Bawahannya adalah rok tartan bewarna putih dengan garis abu-abu. Hari kamis adalah baju pramuka, dan Jumat adalah baju bebas.
Aurora mengambil tas ransel sekolah yang bewarna abu-abu. Sebagai penyuka abu-abu, tentu ia tidak keberatan dengan warna manis yang melekat di tasnya. Ia membawa buku tulis kosong, peralatan menulis, serta botol air minum. Lalu, ia menggerai rambut panjangnya, menyertakan bando untuk menahan poninya.
“Taraaa, cepetaaan!”
Tara yang masih sibuk memasang seragam mengangguk. Aurora melirik jam tangannya, memastikan mereka belum terlambat. Peraturan untuk bisa masuk makan pagi adalah mereka harus memakai seragam lengkap. Jika tidak, silahkan menahan lapar sepanjang pagi dan menanti hukuman yang akan disediakan.
Chilla, Ellen, Aya, Vee, Shu, Mora, Zetta, Queen, dan Sherin sudah menunggui mereka di luar. Shu berbaik hati membagikan mereka permen tangkai, lalu tanpa diminta menceritakan Shuto dengan semangat. Chilla mendesak Tara agar bergegas karena ia sudah lapar, dan Vee mengejeknya dengan sesekali menguap.
“Len, Ellen ngebawa apa aja?”Aurora bertanya, memastikan tidak ada yang ia tinggalkan.
“Hm? Gue ngebawa yang disuruh kemarin aja, sih. Buku, alat tulis, sama botol minum?”
“Itu doang, kan?”
“Ih, ada yang lupa lo, Ra!” Chilla menyela. Aurora bertanya, melotot.
“Ih, apaan?” Mora dan Ellen ikut pula menatap Chilla penasaran.
“Makanan dan Cemilan!”
“Idih, itu mah lo aja yang pengen, kan!” Vee sudah memotong galak lagi. Chilla tertawa, memukul Vee.
“Ih, sewot aja!”
“Gue kira emang ada yang tinggaaal, Chilla ah!”
Tara akhirnya selesai. Mereka pun berjalan bersama, diikuti dengan penghuni gedung mereka. Ruang makan juga tidak terlalu jauh, berada dekat dengan aula sekolah. Koki-koki sekolah sudah menunggu di depan pintu, memeriksa absensi setiap anak dengan fingerprint. Ruangan makan belum terlalu ramai, sehingga mereka bisa leluasa mencari tempat makan yang nyaman. Sarapan pagi ini bisa dipilih antara sereal, roti bakar, atau bubur jagung. Minumannya hanya susu cokelat dan teh hangat. Juga ada air mineral yang disediakan di setiap meja.
Rombongan mereka memilih untuk duduk di kursi yang sama dengan anak-anak angkatan 50 yang ada. Aurora menikmati serealnya dengan tenang, karena yang berisik hanyalah Chilla dan Vee.
“Astaga Chilla lo tuh jorok banget!” Vee melotot begitu ada sedikit kuah bubur Chilla yang mengenai punggung tangannya. “Ih, gak mau berteman sama orang jorok!”
Chilla cemberut, menggoyang-goyangkan lengan Vee. “Jangan dongg, gue gak mau kesepiannn!”
Vee menepis tangan Chilla. “Bodo amat!”
Aya akhirnya menyela, menengahi. “Eh udahlaaah, nanti kita diusir sama pengawas kantin.”
“Usir aja, Ya! Mbaaak! Chilla nyari masalah mbak! Keluarin aja dari kantin, Mbak, biar kurusan!”
Akhirnya Ellen membekap mulut Chilla sebelum gadis itu membalas, menggeleng-gelengkan kepalanya. “Inget, Ra, lo harus jadi cewek cool.”
Chilla akhirnya mengangguk, mengangkat kepalanya songong. Yang lain menatapnya heran.
“Mendadak gitu, Len?” Aurora berbisik, bingung juga. Ellen mengangguk.
“Resolusi Chilla pas SMA tuh, menjadi cewek dingin, gais.”
“Alah, udah gagal itumah.” Vee menceletuk lagi. Chilla melotot, namun ia tidak berseru-seru nyaring lagi, mendengus.
“Banyak banget yang omongin, tapi gue jadi trending. Gue gak ambil pusingg.” Chilla lalu mengangkat dagunya, menatap Vee rendah. Yang lain segera tertawa melihat kekonyolan mereka.
Kegiatan di ruang makan berlangsung dengan cepat. Kini, mereka bisa kembali ke kamar masing-masing, mempergunakan waktu lima belas menit untuk bersiap-siap mengikuti upacara senin. Aurora mengambil topinya serta dasi abu-abunya. Queen mengomelinya karena Aurora tetap menggerai rambutnya, dan rambut tebalnya itu kini tampak awut-awutan. Ia lalu mengambil ikat rambut, mengikat rambut Aurora ekor kuda.
“Wah, Queen tiap hari aja, ya, kayak gini, Rora kan jadi tampak lebih-”
“Bersih.”
Celetukan Shu membuat Aurora melotot. Ia lalu menggeplak punggung Shu. “BUKAN, IH! JADI LEBIH RAPI! APAAN SIH, SHU!”
“Ih, iya-iya! Ampun, ah!”
Mereka kemudian berjalan memasuki lapangan. Aurora sudah mengeluh kepanasan sedari pertama kali mereka menginjakkan kaki di lapangan. Vee dan Zetta bermain kejar-kejaran, sementara Tara menyapa teman-temannya di gedung yang berbeda. Mora berbincang dengan Aya, dan Sherin mengobrol dengan Shu.
Nasib baik, semua murid baru diperintahkan untuk menuju ke dalam Aula, agar pengumuman pembagian kelas bisa berjalan simultan dengan kegiatan upacara, dan tidak perlu adanya pengunduran waktu memasuki kelas karena pembagian kelas.
Aurora menggenggam tangan Ellen, menarik gadis itu berjalan sambil mengayun-ayunkan tangan mereka. Ellen protes karena ia kesusahan berjalan, dan Aurora malah semakin senang mengayunkan tangan mereka.
“Astaga Rora! Putus dah lama-lama tangan gue?”
“Ah, macaci?!”
Ellen menggeplak punggung Aurora, dan gadis itu memasang wajah berkaca-kacanya. Ellen menyengir, menyenggol punggung Aurora. “Hebat bener, dah, aktingnya!”
Wajah menahan tangis Aurora mendadak berubah. “Lah, kok tau Rora lagi akting?”
“Lo gak tau gue udah hidup dengan ratu drama dari kapan?” Ellen berbisik seraya menunjuk Chilla. Aurora terkekeh, setuju.
“Minat masuk jurusan apa, Ra?” Shu mendadak bertanya, berjalan mengimbangi langkah Aurora.