#1
Perihal Kaca Benggala
Bukan hanya Jibril yang bertemu tabir batas ketika perjalanan malam menemani Baginda Nabi sudah melewati sidratul-muntaha. Aku pun juga bertemu tabir batas kemampuan ketika menemani Muqidl. Mengikuti celoteh-celotehnya seperti sebuah perjalanan mi'raj yang penuh tabir-tabir absurd. Menyelami pemikirannya, seperti memasuki sebuah kawasan hutan yang tak mempunyai pintu keluar menuju jalan pulang; penuh jalan terjal berbatu; dikelilingi tebing-tebing curam yang mengerikan; dan binatang-binatang buas yang siap menerkam tiap waktu.
*
Munqidl duduk di pelataran kamarnya. Memandangi langit dan kerlap-kerlip bintang-bintang. Di tangannya, dia menggenggam selembar kertas yang berisi catatan-catatan dari diskusi terakhirnya dengan Mia. Dari matanya tampak sekali bahwa pikirannya tak pernah berhenti berkelahi dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung mendapatkan jawaban.
Aku duduk bersandar di dinding pelataran kamar Munqidl, menatap lekat kitab yang tengah kubaca. Namun, pikiranku lebih terfokus pada pertemuan terakhir Munqidl dengan Mia di Kafe Mojok. Aku merasa bertanggung jawab untuk terus mengawasi Munqidl dalam upayanya memburu kesejatian yang dia inginkan. Namun, keraguan dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Munqidl membuatku merasa ragu akan kemampuanku sendiri.
Keesokan harinya, kami bertemu lagi di kafe setelah Munqidl pulang kuliah. Munqidl menatap Mia dengan pandangan yang mencerminkan kegelisahan dalam dirinya. Mereka masih saling diam. Mempertahankan hening di sela-sela suara-suara yang kacau dari obrolan-obrolan para barista. Aku memperhatikan raut wajah Mia yang bulat. Nosepad bertengger di bagian atas hidungnya, menopang bingkai kaca bening di matanya. Ini adalah pandangan yang kesekian kalinya dan tak pernah membuatku bosan.
Dalam kepulan asap yang muram, Munqidl memanahkan tatapan tajam ke wajah perempuan itu disertai tertawa kecil dan anggukan-anggukan pelan. Menurut penelitianku, sebenarnya Munqidl usianya dua puluh delapan tahun, Mia dua puluh enam tahun. Hanya soal waktu permulaan berada di kampuslah yang membuat Munqidl harus memosisikan diri sebagai mahasiswa yang belajar pada Mia.
"Menurutmu, apa maksud dari kaca benggala yang dipesankan oleh ayah kepada ibuku, sesuai yang kuceritakan kemarin?" ucap Munqidl mengaburkan riuh sekitar yang menguasai keheningan kami.
"Aku belum paham ceritamu!" tanggap Mia sembari mencengkeramkan jari-jari lentiknya pada kacang asin di atas meja. Kitab Mihakkun-Nadzar dan Tahafut al-Falasifah karya Al-Ghazali tergeletak di samping piring yang menampung kacang itu. Dua kitab itu selalu menjadi bahan obrolan di antara mereka.
"Aku bercerita bahwa ayahku adalah sesosok misterius yang sampai saat ini belum kuketahui. Dia memberikan pesan kepada ibu agar aku mencari sebuah kaca benggala bening yang bisa menampilkan segala macam ilmu; tertulis dan tak tertulis."
"Apa dasar ayahmu berpesan tentang kaca benggala itu?" Mulut Mia sambil mengunyah kacang. Munqidz sedang menarik asap ke dada sedalam-dalamnya.
"Mimpi!" ujar Munqidl ketika tangannya menjatuhkan abu rokok ke dalam asbak, "dia bermimpi bahwa aku adalah orang yang harus mewarisi kaca benggala buyutku."
"Kau percaya pada mimpi?"