#2
Tugas yang Aneh
Dia bernama panggilan Munqidl. Lengkapnya Munqidh Minad-Dhalal. Nama yang selalu menjadi perbincangan di tengah-tengah santri. Dikagumi dan didengarkan pendapatnya. Pendekar keilmuan pilih tanding yang sudah menundukkan orang-orang alim dari luar pesantren ini. Seperti singa yang aumannya menggentarkan lawan-lawan debatnya.
Sudah lama aku mendengar namanya disebut-sebut oleh guru-guru di pondokku sebelumnya. Dari lisan mereka ada yang memberinya julukan "Singa Bahtsul Masa'il". Tapi aku kurang memedulikan pembicaraan mereka. Kesibukanku mengabdi kepada Kiai Mi'yar dan menemani safari dakwah beliau membuatku tak peduli pada peta dialektika keilmuan antar pesantren. Tidak seperti empat tahun lalu, saat masih sering terlibat dalam musyawarah-musyawarah antar pesantren.
Pada suatu ketika Kiai Mi'yar memanggilku dan menyampaikan bahwa aku akan ditugaskan di pondok saudaranya untuk mengawasi salah seorang santri di sana. Santri yang dimaksud adalah orang yang namanya selalu terdengar di telinga: Munqidl.
"Saya menganggap kamu bisa saya pasrahi menjalankan tugas ini," ucapnya dengan suara meyakinkan dan penuh wibawa. Aku jadi bertanya-tanya: Ada apa di balik santri itu? Kenapa mesti diawasi?
Aku memasuki Ma'had Al-Ghazali sehari setelah penugasan itu. Mulanya, Kiai Mi'yar membawaku sowan ke Kiai Basith, pengasuh pondok. Dia menyampaikan tujuan-tujuan penempatanku di sini. Setiap pembicaraannya penuh dengan simbol-simbol, seperti sengaja merahasiakan banyak hal di hadapanku. Sebagai santri khadim kiai, aku mengerem setiap keinginan untuk menyingkap simbol-simbol itu. Kata kunci dalam setiap pembicaraan itu adalah nama Munqidl. Membuatku ingin segera bertemu dengan santri yang menyandang nama itu.
Di tempat baru ini, aku ditempatkan di kamar khusus, berdampingan dengan kamarnya Munqidl. Saat aku datang, dia sedang kuliah ke luar pondok. Kiai Mi'yar segera meninggalkanku sebelum Munqidl datang. Terbersit pertanyaan-pertanyaan yang sulit kujawab dalam hati. Seakan tahu apa yang terbersit dalam hati, guru spiritualku itu berkata, "belum saatnya kamu tahu alasannya."
Aku hanya mengangguk-angguk sambil menunduk. Perasaanku seperti orang yang sedang ditaruh di sebuah jalan gelap untuk mengawasi seseorang yang lebih tahu arah jalan. Meraba-raba langkah di selubung warna hitam. Aku masih menebak-nebak apakah Kiai memang benar-benar menugaskanku atau sekadar menguji kesetiaan sebagai santri.
*
Aku kebingungan akan memulai perkenalan ini dari mana. Pemuda bertelinga lancip ke atas dan berkulit putih yang selama ini hanya kukenal namanya benar-benar kulihat langsung di depan kamarnya. Tubuh tegapnya menghentikan langkah di teras kamar ketika ada seorang santri menyodorkan kitab kuning yang sedang terbuka.
Dari tempatku menyimak, terlihat lancip hidungnya. Kopyah hitam menutupi bagian atas rambutnya yang panjang sebahu, menunjukkan bahwa dia sudah punya lisensi khusus untuk dikecualikan dari sebagian peraturan pesantren. Dari berita yang kuperoleh, di pesantren ini sebenarnya dilarang memanjangkan rambut. Tapi bagi santri yang sudah hafal bolak-balik seribu bait kitab Alfiyah beserta makna dan pemahamannya boleh memanjangkan rambut hingga sebahu. Agar santri-santri bisa dengan mudah bertanya tentang ilmu nahwu kepada ahlinya.
Tubuhnya yang tegap berdiri mengomat-kamitkan bibir sembari menunjuk ke pusaka salaf itu. Santri yang menyodorkan kitab itu menyimak dengan agak mendongak. Kepalanya hanya mencapai dagu pemuda berambut sebahu itu. Jelas sekali si santri terlihat puas menyimak suara yang muncul dari bibir itu. Sejurus kemudian si santri mundur, lalu melangkah pelan hingga jauh dari tempat itu. Pemuda berambut panjang itu menggerakkan tubuh menuju ke arahku.