Laduni

Muhaimin El Lawi
Chapter #3

Kimia Kebahagiaan

#3

Kimia Kebahagiaan



Pertama kali merasakan campur-aduk aroma kopi di Kafe Mojok menjadi penanda awal mula perkenalanku dengan Mia. Perempuan berkacamata itu memperkenalkan diri dengan nama lengkap Kimia'us-Sa'adah. Aku mengartikannya "Kimia Kebahagiaan". Aura yang merasuk ke dalam perasaanku setiap bertemu di kafe ini tidak pernah berlawanan dengan namanya. Dia selalu menjadi kimia kabahagiaan yang berkelindan di sela-sela aroma kopi di hadapanku.

Dalam seminggu dua kali, ketika pulang kuliah, Munqidl punya jadwal diskusi kitab bersama Mia. Saat ini sudah sekitar lima kali aku mengikuti aktivitas ilmiah ini. Aku terus menyimak semua detail pemikiran Munqidl. Semuanya kutulis untuk dilaporkan pada Kiai Mi'yar. Meskipun aku tidak sepenuhnya mengerti pada tugas yang kujalani, demi kiai, aku berusaha menyerap setiap makna yang kudapatkan bersama Munqidl.

"Sepertinya aku sudah bertekad bulat meninggalkan hiruk-pikuk perdebatan dalam Bahtsul-Masail," Munqidl mengungkapkan ketika diskusi sudah selesai, sembari menaruh kitab Tahafut di samping kopi dan menutup kitab Mihakkun-Nadzar yang sedari tadi terbuka di tengah-tengah meja. Tentu ini mengejutkanku dan akan menjadi laporan penting buat Kiai Mi'yar.

Aku sengaja tidak menanggapi lagi tentang apa pun yang dia ucapkan. Meskipun kemusykilan-kemusykilan terus bergentayangan mengganggu otakku. Aku menyadari bahwa tugasku bukan untuk mempertanyakan sikap-sikapnya. Aku hanya ditugasi untuk mengawasi dan melaporkan meskipun tak memahami.

"Jadi keraguanmu bukan main-main?" tanggap Mia.

"Aku selalu sepenuh hati menjalani sesuatu," Munqidl membentur-benturkan batang rokok yang tinggal separuh ke asbak. Pandangannya melayang ke arah yang kosong. Aku memandanginya lekat-lekat. Aku masih meraba-raba teka-teki di balik pemuda ini. Aku ingat tentang keterpesonaanku pada gayanya merumuskan hukum saat pertama kali kudampingi dia sebagai perumus Bahtsul Masail antar pesantren se-kabupaten. Selama mendampingi, hanya tiga kali kusaksikan kiprahnya dalam forum keilmuan ala pesantren itu. Akankah riuh gemuruh suara pemikirannya akan berhenti begitu saja?

"Kupikir, diriku terlalu lama tampil dalam keramaian. Aku butuh tampil di dalam diriku sendiri," ungkapnya kemudian.

Mia menarik napas panjang. Seperti ada ungkapan yang tertahan. Berkali-kali dia mengatur ulang posisi kacamatanya. Lalu melepasnya, menggosok-gosok kacanya dengan ujung tisu basah yang diambil dari tas gendongnya.

Mataku terus memerhatikan gerak-geriknya. Namun ketika sadar bahwa keberadaanku di sini dalam rangka melaksanakan tugas kiai, aku segera mengalihkan pandangan pada gerak-gerik Munqidl, meskipun secara otomatis mata ini selalu teralihkan pada perempuan yang pipinya kemerah-merahan itu.

"Aku kadang mengkhawatirkan teman-teman yang potensial dalam keilmuan," ucap Mia kemudian.

"Khawatir kenapa?" seloroh Munqidl, "takut tersesat?"

"Hahaha!" Mia tertawa agak memaksa, lalu, "tersesat dalam ilmu, masih punya harapan menemukan pulau-pulau dan kota-kota baru. Kemudian membangun kerajaan-kerajaan baru. Aku tak pernah mengkhawatirkan itu."

Bibir Munqidl mengerucut. Lalu tersenyum. Tampaknya dia mengangan-angan ucapan perempuan berbibir tipis berwarna merah muda alami itu.

"Aku bertemu dengan banyak teman yang menjanjikan dalam keilmuan. Tapi perjalanan intelektual mereka berhenti karena keadaan dan tuntutan hidup," tutur Mia.

"Tentu aku tidak begitu. Sikapku ini adalah bagian dari jalan intelektual," bantah Munqidl.

"Benar, Munqidl! Tapi posisimu saat ini adalah pencapaian yang tak mudah diperoleh oleh semua orang."

Lihat selengkapnya