Laduni

Muhaimin El Lawi
Chapter #4

Hutan yang Disembunyikan

#4

Hutan yang Disembunyikan


Aku datang pada Kiai Mi'yar untuk menceritakan keputusan Munqidl tentang upaya pencarian kaca benggala secara serius. Dalam cerita-ceritaku, aku menyembunyikan nama Kimia'us-Sa'adah beserta anasir-anasir halus yang menyusup di balik dadaku. Itu adalah aib memalukan dalam tugas ini. Cukup akulah yang tahu.

Aku menceritakan teka-teki yang tidak bisa aku pecahkan dari Munqidl pada suatu malam ketika kami telentang berdua di kamar. Kala itu dia baru selesai membacakan kitab Faishalut-Tafriqah karya Al-Ghazali. Nama kitab yang sama dengan namaku. Teka-teki itu membuatnya makin kuat untuk mencari benda misterius itu. Begini teka-teki yang diajukan Munqidl:

"'Ada sumber air di sebuah perbukitan. Kamu bersembunyi di balik pohon beringin di dekat sumber itu sembari mengintip gemericik air yang jatuh pada arus aliran air. Sejurus kemudian, seorang pengendara kuda datang. Ia minum dan wudhu dari air tersebut. Lalu menaruh kantong bawaannya yang berisi seribu dinar di sampingnya, lalu shalat. Usainya, pengendara kuda beranjak dan kantongnya tertinggal. Lalu datang seorang bocah, meminum air sumber. Ia mengambil kantong yang tergeletak di situ, lalu beranjak pergi. Sepeninggalnya, seorang tua buta datang minum air, lalu wudhu dan shalat.

'Pengendara kuda ingat tentang kantongnya yang ketinggalan. Kembalilah ia ke sumber air tadi. Ia menemukan seorang tua buta di tempat itu. Lalu menuding si buta telah mengambil kantong. Si buta tidak mengakui. Si pengendara kuda murka lalu membunuhnya.'

'Siapa yang akan kamu salahkan saat melihat peristiwa itu?' tanya Munqidl. Kepalanya berbelok ke arahku, memastikan bahwa aku memahami alur ceritanya.

'Ini perkara gaib,' jawabku sambil mencermati cahaya yang memancar dari tubuh lampu yang menggantung di atap, 'di luar batas pengetahuanku. Tentu aku tidak bisa menghakimi siapa yang bersalah.'

'Jika Kang Faishol harus mengambil sikap atas peristiwa itu, siapa yang kau anggap salah?'

'Si anak kecil bersalah karena mencuri harta orang lain. Si pengendara kuda juga keliru karena membunuh orang tak bersalah!'

Munqidl senyum-senyum mengejek. Aku telah menjawab sesuai penilaianku. Dan, aku sangat meyakininya. Aku tidak bisa memperkirakan kemungkinan lain di balik itu.

'Bagaimana jika si bocah sebenarnya seseorang yang bekerja kepada si pengendara kuda dengan upah sebesar yang ada dalam kantong, tapi tidak mendapatkan hak itu sebagaimana mestinya? Kemudian Tuhan memberikan haknya dengan cara seperti itu.'

'Aku tidak bisa membaca kemungkinan itu.'

'Tapi di balik yang tak terbaca bisa saja kemungkinan itu terjadi.'

Dia tampak menunggu tanggapanku. Tapi aku tidak menanggapi.

'Kemudian bagaimana jika sebenarnya si buta ketika masih normal pernah membunuh ayah si pengendara kuda, lalu Allah membalas dengan cara-Nya?' tambahnya.

Sekali lagi, aku tidak menjawab. Kubiarkan keheningan ini diisi oleh suara gesekan jarum jam dan suara-suara kasak-kusuk sebagian santri yang masih mengulang-ulang hafalan Nadzam Imrithy di luar. Waktu memang sudah memasuki dini hari. Kebanyakan santri sudah tidur.

'Begitulah yang aku gelisahkan jika hanya mengandalkan pandangan terbatasku tanpa pandangan lain di balik kemungkinan-kemungkinan yang banyak,' Munqidl kemudian mengisi kekosongan omonganku.

Lihat selengkapnya