#5
Pak Tua
Aku masih ragu-ragu melihat kenyataan ini. Sebilah keris kecil yang kutaruh dalam tas mungil seperti mendesakkan energi yang tak biasa. Kulihat Munqidl sudah mengenakan cincin bekal dari ibunya. Dingin malam di depan Kafe Mojok makin merasuk ke bagian dalam tulang-belulangku. Aku tidak mengerti apakah memang hawanya yang dingin ataukah perasaanku saja yang belum siap melewati kemungkinan-kemungkinan yang mengerikan dalam perjalanan ini.
Dari latar gelap di arah kanan, mobil Panther Touring biru silver muncul dan mendekat, lalu berhenti tepat di depan kami. Suara klakson melengking satu kali. Memberi isyarat agar kami masuk. Kami naik di bangku belakang sopir. Mobil melaju menerobos gelap menuju ke arah yang ditunjukkan oleh gerak cincin di jari kelingking Munqidl.
"Mia," ujar Munqidl, "apakah kau yakin mengikuti pencarian yang kau ragukan ini?"
"Justru aku yang harus menanyakanmu. Apakah kau yakin akan melanjutkan?"
Lampu mobil dalam keadaan dimatikan. Sehingga percakapan mereka seperti pertarungan suara dalam selubung gelap. Aku melihat ke luar. Menyaksikan lampu-lampu yang sedikit menetralisir kegelapan dalam mobil ini.
"Setiap yang kuputuskan tak akan aku lakukan setengah-setengah. Jika kamu mengikuti hanya setengah-setengah, kenapa tidak kembali saja?" sengit Munqidl. Sepertinya dia mulai kurang sabar mendengarkan ucapan Mia yang selalu meragukan proses perjalanan yang terlanjur dimulai.
"Aku mengikutimu karena tiga hal," sepertinya Mia masih belum kapok mendapat balasan yang sadis dari Munqidl, "pertama, aku ingin memastikan bahwa seorang pendekar Bahtsul Masail tidak tertipu dengan tipuan mistis. Kedua, aku masih ingin membicarakan lebih lanjut tentang keputusanmu dan berharap kau tidak melanjutkan keputusan konyol ini. Ketiga, karena objek yang kautuju adalah hutan yang berbukit-bukit, aku ingin mengenang masa-masa kuliah bersama para pecinta alam."
"Sikapku ini adalah sikap yang bersanad. Sikap warisan dari kakek buyutku."
Aku membuka kaca jendela mobil. Angin bertiup agak kencang dari luar. Menyegarkan mata yang rasanya agak kelelahan. Kemudian mobil berhenti di sebuah perempatan jalan ketika memasuki sebuah perkampungan yang kanan-kirinya dijejeri pohon jati.
"Cincin bergerak ke arah kiri!" ucap Munqidl memberi komando. Mobil berbelok mengikuti komando itu, lalu melaju dengan mantap melalui jalan yang berkelok-kelok. Di jalan ini sudah mulai lengang. Hanya satu dua kendaraan bersalipan mengisi kelengangan. Suara gemuruh mesin dan bunyi angin yang melanda jendela membentuk latar belakang hening antara kami.
"Munqidl, apakah kau yakin bahwa kaca benggala itu benar-benar ada?" Mia bertanya menyela kealpaan kata antara kami, menggugah keraguan yang tersembunyi di dalam hatinya,"apa bukti yang kau miliki selain mimpi ayahmu?"
Dari samping, hentakan napas Munqidl menyapu pahaku. Lalu kudengar tanggapannya, "bukti kuatnya adalah cincin yang kupakai dan keris kecil yang dibekalkan ibu kepada Kang Faishal adalah warisan nenek moyangku. Dua benda pusaka itulah magnet penghubung antara aku dan kaca benggala. Mereka tidak akan menyesatkan kita dalam pencarian ini."
Lalu Munqidl diam, di sela-sela deru mobil yang menggaduhkan malam. Perjalanan sudah memasuki sebuah jalan sepi dan sepertinya nyaman untuk dijadikan sarang para begal. Jarak antar rumah cukup jauh.
"Benda-benda pusaka itu diperoleh melalui laku spiritual yang tidak mudah," lanjut Munqidl, "kata ibu, ayahku membutuhkan perencanaan yang lama dan berkali-kali istikharah untuk menyiapkan perjalanan ini."