Kejadian di toko buku merupakan awal dari semua awal. Gara-gara pertemuan dengan cowok ganteng, Vivi jadi punya pacar halusinasi. Miris memang, beginilah nasib seorang jomblo yang bersembunyi dalam topeng keceriaan, tapi aslinya menghujat dunia ketika malam Minggu tiba.
Nyaris satu minggu berlalu semenjak kejadian di toko buku. Sekarang Vivi sedang duduk di kursi belajar, berjibaku menulis novel. Entah berapa kali melakukan revisi, saking banyaknya sampai susah dihitung. Novel itu sekarang menginjak part delapan, tapi tak lama, karena dia menghapus banyak part saking kesalnya.
Lampu kamar menyala terang. Mesin laptop mengiringi suara petikan keyboard. Gadis itu menguap lebar, memandang jam di dinding, di mana jarum jam memberi tahu jika sekarang tengah menuju pergantian hari. Vivi selalu melakukan hal yang sama sebelum tidur. Dia menutup rapat pintu kamar, mematikan laptop juga lampu kamar hingga sinar rembulan menjadi petunjuk langkahnya.
Debaran dalam dada mulai tak terkendali, sampai perut pun terasa enteng sekali. Semua itu karena tradisi baru yang terjadi setelah bertemu dengan cowok ganteng di toko buku.
"Semoga kembali terulang." Dia tersenyum manis menyelimuti badan di atas kasur.
Dalam kamar gelap ia terlentang di kasur. Suara jangkrik di halaman samping rumah menjadi lullaby. Udara dingin memaksa Vivi menarik selimut ke atas hingga membalut nyaris semua wajah. Dia memeluk erat boneka kelinci putih besar yang setia menjadi teman.
Sosok misterius yang ditemui kembali terngiang, terutama sikap dingin, suara angkuh, wajah tampan berkaca mata, semua itu memancing senyum Vivi muncul. Ia ingin memeluk erat tubuh jangkung itu, mencari tahu apa ada roti sobek enam atau delapan di bagian perut. Bagaimana dengan dada? Apa mirip dada aktor korea yang selalu dia tonton dalam internet?
Suara langkah kaki pelan semakin mendekat dari arah lorong depan kamar. Suara itu terhenti di depan pintu. Di sela bawah pintu terdapat bayang.
Vivi langsung memutar badan menghadap jendela membelakangi pintu kamar, berharap itu adalah dia. Suara pintu dibuka, cahaya lampu dari arah lorong memasuk kamar, lalu hilang ketika pintu ditutup hingga menimbulkan bunyi menggema dalam ruang. Cahaya Rembulan menyinari bayang itu, sosok jangkung mendekat.
Vivi berbalik badan. Sesuai harapan cowok itu datang. Ia duduk di tepi kasur, memeluk boneka kelinci. "Kakak, akhirnya datang juga. Aku kangen."
Semakin dekat sosok itu, semakin jelas wajah tampan yang menyapa di toko buku. "Aku ke sini mengendus aroma harum dari badanmu." Dia duduk di sebelah Vivi, menarik lembut selimut hingga pyjamas yang Vivi kenakan terlihat jelas.
"Kamu mau apa, Kak? Kok--"
"Mau kamu." Suara bisikan itu begitu nyata. Jari-jari panjang menangkap jari tangan Vivi, sedikit memaksa untuk mengecup punggung jari mungil itu. "Be mine."
"Huh?"
Pemuda itu membimbing dagu runcing Vivi supaya tak banyak bergerak. Bibir tebalnya mendarat pelan ke bibir tipis itu, membuat wajah gadis mendidih. Perlahan pemuda menarik boneka, menjatuhkan ke lantai, membimbing telapak tangan Vivi menyentuh dada bidangnya. "Kamu bisa mendengar detak jantungku?"
Vivi menggeleng. Akal busuknya keluar. "Coba buka pakaianmu, Mas. Mungkin baru bisa terdengar nyaring kalau dibuka."
"Enggak ah, dingin."
"Enggak apa-apa, nanti kita berbagi selimut. Ayo Kak, buka, buka, cepat, aku mau lihat, janji enggak bakal pegang-pegang." Tipikal Vivi. Kasian pemuda itu menjadi pacar halusinasi yang diperbudak.
Pemuda itu membuka kemeja, lalu kaos. Enam roti sobek tertata rapi, menghias lubang pusar sempit memanjang ke atas. Dada bidang membentang indah seperti gunung. Kulit putih kena terpa cahaya bulan bercahaya terang. Semua itu membuat mata Vivi bercahaya gagal berkedip dan dengusnya semakin keras seperti suara napas kuda.
Dada Vivi berdebar. Ketika tangannya dibimbing mendarat ke dada yang sama, tangan itumalah beralih mencengkeram erat pergelangan tangan pemuda. Dia mendorong badan kekar itu sampai terlentang, manja pipinya mendarat ke dada bergerak-gerak di sana.
"Vivi Kenapa seperti ini?"
"Sudah lah Kak, kamu diam saja, biar aku yang gerak, ya!"
"Vivi!" Suara itu berubah menjadi suara gadis melengking yang memekakkan telinga.
"Loh? Suara kakak kok berubah, sih?"