Senyum jahat muncul di bibir. Ia tertawa seperti professor jahat berhasil membuat senjata pemusnah dan siap menterror kota.
Vivi menemukan cara super hebat untuk membuat novel yang ia tulis mendapat banyak vote, juga kehujanan komentar positif, sekaligus menambah banyak follower. Sebenarnya ini cara yang ... yang penting berhasil.
Dimulai dari membuat ratusan akun kloningan. Semua itu bukan hanya untuk promo, tetapi memberi vote palsu, komentar palsu, juga follower palsu. Dalam waktu singkat novel abal-abal yang dia tulis masuk peringkat sepuluh besar dalam aplikasi tulis menulis online.
Di kampus, ketika waktu pergantian mata kuliah, Vivi gaduh sendiri di depan kelas yang nyaris kosong ditinggal penghuni ke kantin. Dia berdiri seperti artis, tapi hanya beberapa orang yang peduli.
Sambil memamerkan layar hp, dia berkata, “Hai, guys and girls, lihat nih, followerku sudah banyak banget. Terus yang vote juga ratusan. Mereka semua suka sama karyaku!”
Suara cempreng Vivi membuat beberapa murid di luar kelas menoleh ke arahnya, berbisik-bisik lalu terbahak sambil bergeleng pergi. Tetap saja dia bersikap masa bodoh, ketebalan mukanya melampaui tebal dinding tembok Berlin.
“Hoaks.” Komentar seorang pemuda yang duduk di kursi baris ke dua sambil makan siomai bungkusan. Beberapa teman lain ikut berucap hoaks hoaks, menghina Vivi tentunya.
“Ih, enggak hoaks kok, kalau enggak percaya coba kalian baca novelku. Ceritanya tentang cewek berumur 30 tahun, yang enggak laku bertemu dengan—“
“Vi, Vivi.” Sasa menghela napas panjang, membuat Vivi tersedak. Gadis itu hendak berucap sesuatu, tapi urung, entah apa alasannya tak jadi berucap.
Vivi yang mendapati hal ini jadi penasaran. Ia mendekati Sasa. “Apaan? Hmm, speak girl.” Gayanya bicara sengak banget, apalagi ditambah pakai melipat tangan di depan dada segala, merasa jadi orang penting.
“Aku tau rahasiamu, jadi enggak usah banyak gaya.” Sasa bicara tanpa memandang balik, malah menulis sesuatu di buku.
Dengan panik Vivi membungkam mulut Sasa. “Apaan sih, ribut deh, hahaha. Rahasianya Cuma tulisanku tuh bagus banget, jadi banyak yang baca dan vote. Gitu kan, Mi?”
Mimi yang sembari tadi tak peduli dengan Sasa atau Vivi menoleh sebentar, lalu fokus lagi pada layar hp yang dia pegang.
"Mi, ditanya tuh, jawab," celetuk Vivi.
Mimi menjawab, “Iyain biar cepat selesai.”
Sebenarnya beberapa murid lain juga tak terlalu peduli pada apa yang Vivi gembar-gemborkan. Mereka hanya gabut kurang kerjaan, jadi tadi menghina Vivi. Mereka membaca pelajaran saja malas apalagi mengurusi novel. Sayang sekali Vivi gagal melihat ini. Dia menilai jika seluruh dunia sedang melihatnya, ada yang kagum, iri, bahkan banyak yang dengki.
Jam perkuliahan telah usai. Vivi cabut dari sana. Ketika sampai rumah, dia tak henti bersiul. Cara jalannya seperti kancil kepanasan, melompat-lompat kecil sempat jatuh sekali di depan muka tangga, tapi tak ada cidera, dia bangkit lagi.
Ulahnya sangat mengganggu April yang sedang santai nonton TV di ruang tengah. Tanpa tudung aling aling Vivi meloncat dari belakang sofa, duduk di sebelah April yang kaget setengah hidup.
"Vivi, polahmu loh, petakilan banget. Minta dirukiah apa gimana?" gerutu April, matanya tetap fokus pada wajah ganteng Wang Yi Bo di TV, aktor kungfu drama idolanya yang sekarang sedang bermain film Romance.
Vivi malah bersenandung dengan keras sambil bermain hp, membuka menu, back, menu, back. Semua dia lakukan demi mendapat perhatian April, tapi gagal. Kakaknya terhipnotis oleh aktor ganteng.
Vivi mulai berulah. “Kak, Kakak.”
“Hmm.”
“Lihat nih, banyak yang vote. Banyak follower. Banyak komentar positif, Kak. Kata Kakak jelek, ternyata enggak, malah ada yang bilang bagus banget. Nih, kalau enggak percaya lihat deh komentar untuk novelku. Kata orang novelku sekelas sama novel best seller. Kak! Ih, noleh kek.”
Supaya tak terus-terusan diganggu setan di sebelahnya, April menoleh sebentar memandang muka Vivi yang bermandi senyum, lalu kembali lagi ke layar TV.
Vivi kesal, menepuk paha April. “Ih, Kak. Lihat dong, ini adikmu mau pamer, kok dicuekin. Harusnya Kakak sirik.”
Dari pada Vivi mengganggu ketenteraman, April mengalah. Dengan ogah-ogahan dia mencoba membaca novel karangan Vivi. “Enggak ada perubahan, tetap jelek, tulisanmu ancur. Ini kamu mau cerita apa? Dialog enggak dikasih tanda petik, narasi amburadul, bahasa Jawa keluar semua. Dah lah, pusing Kakak bacanya.” Kasar April melempar hp Vivi ke sofa.