Setelah pulang dari mall, Vivi mengunci diri di kamar. Ia duduk di kasur menelungkup kepala ke antara dua kaki yang dilipat. Dadanya berdebar-debar ketika membayangkan kejadian di lahan parkir bawah tanah mall.
Bukan hanya motor punya Anjas, tetapi beberapa motor lain pasti rusak. Dia benar-benar menjadi anak nakal dan bagaimana jika mereka semua menagih uang kompensasi? Vivi hanya mahasiswi yang belum mandiri, masih tergantung orang tua. Apa yang ibu akan katakan ketika mengetahui hal ini?
"Vi? Ada apa, Nak?" Suara Ibu dari luar, mengiringi ketukan lembut di pintu. "Kamu kenapa, kok langsung masuk kamar? Sasa sama Mimi datang tuh. Vi?"
Sayup terdengar suara Mimi. "Sudah tidur mungkin, Tan. Tadi habis main kejar-kejaran soalnya. Kalau begitu kami pamit pulang dulu, permisi."
Keadaan kembali sunyi hingga sayup terdengar suara TV dari luar kamar. Cukup lama Vivi terdiam membayangkan bagaimana keadaan Anjas. Apa dia dihakimi orang banyak? Beberapa kali suara getar android di atas meja belajar menggema dalam kamar, tetap dia tak bersedia mengangkat.
Suara mobil dari arah jalan depan rumah membuat Vivi sadar jika April baru pulang. Benar saja, suara Kakak dan Rafi terdengar mengobrol dengan ibu di luar sana. Lalu mesin kendaraan itu berangsur mengecil, hingga sirna. Tak lama kemudian pintu kamarnya diketuk. Ia berharap pengetuk segera pergi, tapi tidak. April malah masuk ke kamar, menyalakan lampu.
"Vi--ya Tuhan, kamu kenapa?"
April duduk di sebelah adiknya, membimbing Vivi tersayang masuk dalam rangkul serta memberi pundak untuk tempat bersandar.
Hangat perlakuan Kakak membuat Vivi sedikit nyaman, sampai terdengar ucapan yang sedikit menusuk hati.
"Kok jadi begini sih, putus sama cowok--eh, jomblo kok, ya, lupa." April berharap mampu membuat Vivi tertawa atau marah, tapi gagal. Gadis itu malah semakin larut dalam hampa. "Uhm, kenapa Vi? Kenapa jadi seperti ini?"
Pertanyaan itu tak langsung terjawab, karena Vivi malah menangis sesenggukan. Makin lama makin kencang dan peluk pada tubuh April juga semakin erat. "Aku takut banget, Kak. Bagaimana ini?"
"Ini ada apa? Takut kenapa? Kamu hamil?"
"Enggak! Tadi, tadi, tadi--"
Tentunya muncul tanda tanya di benak April. "Tadi tadi apa? Tadi habis ngaca terus sadar kalau kamu enggak cantik-cantik amat? Apa lihat pocong? Di mana? Waduh, bahaya nih, pocongnya tau rumah kita enggak?"
"Bukan!" Akhirnya Vivi ngamuk juga, sampai teriak gede banget, lalu menangis lagi. "Tadi di mall tuh aku buat salah gede banget kak. Gimana ini? Nanti kalau ketahuan rumahku, didatengin, terus disuruh bayar--"
"Astaga, kamu mecahin kaca mall? Udah dibilangin kalau main jangan petakilan!"
"Bukan! Kok tega banget sih, adik sendiri juga dituduh hamil, mecahin kaca, jelek."
"Terus, apa?"
"Tadi kan, ceritanya begini ...." Vivi menceritakan semua kepada April. Mulai dari pertemuan dengan cowok super ganteng, sampai ulahnya di lahan parkir bawah tanah mall. "... nanti kalau mereka datang ke sini, minta ganti rugi, gimana Kak? Minta Kak Rafa buat bayar ya, please."
"Enak aja, pacar orang dijadikan tameng. Makannya cari pacar sendir!" April melirik datar, dari pandangan itu sepertinya perasaannya campur aduk antara kasihan sama marah. "Mereka lihat wajahmu?"
Vivi mencoba mengingat-ingat, lalu menggeleng pelan dengan bibir menjeb-menjeb.
Histeris pula nada bicara April menanggapi adiknya. "Kamu kerekam CCTV, enggak?"
"Sepertinya nggak."
"Ya sudah, santai saja, asal enggak ketahuan, aman."