Jangankan Vivi, April saja masih belum tau pasti editor itu gadis atau laki. Walau demikian Vivi tetap bersemangat. Menurutnya, ini adalah jalan untuk menuju kesuksesan. Ia sangat berharap editor itu mampu mengajari tentang dunia literasi.
Karena itu pula dia mengenakan pakaian terbaik milik Kakak, pakaian sopan serba tertutup. Blouse lengan panjang berwarna vanilla dengan bawahan celana jeans dan sepatu ket.
Vivi duduk dekat jendela, menonton banyak pejalan kaki berhilir-mudik di trotoar. Jalan pun padat kendaraan. Aroma pastri menyengat, memberi nuansa nikmat. Obrolan lembut dari pelanggan pun tidak menghalangi suara musik yang menyapa telinganya.
Sesuai janji, sebuah kafe di kawasan Lida wetan menjadi tempat bertemu mereka. Dia sengaja datang lebih awal, supaya tidak membuat Sang editor menunggu. Impresi pertama adalah segalanya. Semoga dengan begini dia bisa menganggap Vivi sebagai gadis yang menghargai waktu, walau nyatanya tidak.
Seorang pelayan berpakaian kemeja dengan rompi sweeter tanpa lengan, mentoel lengan Vivi memakai ujung tumpul pena. "Mau pesan apa, Mbak?" gadis itu tersenyum ramah, menanti balasan pengunjung yang dia ladeni.
"Nanti saja, sedang nunggu orang, Kak," jawab Vivi.
Pelayan itu mengangguk kecil lalu memandang sekitar, betapa padatnya kafe di jam sore, nyaris tiada kursi kosong di sana. Dia sedikit membungkuk untuk berbisik pada gadis itu. "Maaf Mbak, sebenarnya aku ditegur bos. Disuruh bilang ini kepada Mbak, kalau Mbak enggak pesan apa-apa, silakan tunggu di luar, kasihan pelanggan yang ingin masuk malah harus menunggu karena tak ada kursi kosong."
Vivi panik, membaca kertas menu yang sembari tadi menanti di atas meja. "O-oh, begitu ya. K-kalau begitu anu, ini, ahm, aku pesan ... ada milk shake?"
"Ada Mbak, mau dicampur buah--"
"Harganya?"
Gadis pelayan menarik lembut kertas daftar harga di meja, menunjuk beberapa jenis milk shake bervariasi harga. Mulai dari yang paling murah sepuluh ribu rupiah sampai yang paling mahal dua puluh ribu rupiah.
Vivi berucap, "Yang strawberry saja, Kak."
"Baik kalau begitu, makanannya mau pesan apa, Mbak?"
"Aduh, ntar saja ya. Serius aku sedang nunggu orang ini."
"Baiklah kalau begitu, mohon ditunggu ya, Mbak. Pesanan akan segera tiba" Pelayan itu bergegas pergi menuju bagian belakang kafe.
Waktu berjalan lumayan cepat. Sekali lagi Vivi mengamati jam di tangan. Sekarang jarum pendek menunjuk angka empat sementara jarum panjang diangka sepuluh. Sesuai janji, pertemuan akan berlangsung tepat pukul empat sore. Itu tandanya kurang dari setengah jam lagi dia bakal melihat seperti apa editor itu.
Tiba-tiba pelayan tadi muncul lagi, membawa baki stainless berisi gelas panjang besar tunggal pesanan Vivi.
"Ini Mbak, pesanannya." Gadis pelayan menaruh gelas itu ke atas meja plastik berukiran di depan Vivi. Gelas itu berisi susu berwarna pucat dengan bintik-bintik merah muda, tedapat es batu yang tenggelam dan timbul di sana. Pelayan tak langsung pergi, memandang ke arah pintu sambil berbisik pada Vivi. "Cowok itu bukan, yang Mbak tunggu?"
Vivi menoleh ke arah dekat pintu masuk kafe. Sosok familiar berdiri di sana, bersandar tembok sambil memandang layar android yang dia pegang. Pemuda berkaca mata dalam balut jaket jeans biru panjang dan celana jeans panjang. Nampak kaos hitamnya membentuk bidang dada dari kejauhan.
"Mau dipanggilin, Mbak?" goda pelayan. "Kasihan loh, dia nunggu di sana."
"Ehm, enggak usah, bukan kok, bukan dia yang aku tunggu." Walau sebenarnya Vivi ingin ke sana, tapi dia menahan diri karena sekarang sedang menanti orang super penting.
"Ouh." Pelayan itu kecewa. "Kalau begitu permisi Mbak, selamat menikmati."
Dia kembali ke belakang meja bar menghampiri seorang pelayan lain yang sedang mengelap gelas, keduanya berbisik-bisik hingga mengundang seorang bartender ikut nimbrung. Ketiganya mengamati Vivi dan Anjas sambil tertawa kecil sambil. Mungkin mereka berharap jika cowok itu yang dinanti Vivi.