Lady Bug

AdityoWahyu
Chapter #10

10. Alasan Menulis

April terpaksa merayu Rafa untuk membuat janji baru dengan Anjas. Syukurlah, semua bisa berjalan dengan baik. Karena kesibukan Anjas, pertemuan dijadwal ulang, tepatnya beberapa hari kedepan.

April menyampaikan berita ini ketika Vivi baru pulang dari kampus, ia mencegat adiknya di muka anak tangga paling bawah, menggenggam kedua pundak gadis itu.

"Ingat, kamu harus bertemu dengannya, enggak peduli dia siapa, mengerti?" Pesan April, mewanti-wanti adiknya.

"Siap, Kak." Vivi sampai memberi hormat pada gadis di hadapannya.

Setelah kejadian tempo hari, dia memang bersemangat untuk bertemu Anjas karena pemuda itu benar-benar punya niat baik untuk membantunya. Anggapan itu karena draft dalam stopmap Vivi benar-benar dikoreksi olehnya.

Hari demi hari berlalu. Keanehan demi keanehan terjadi pada diri Vivi. Dia yang terkenal hiperaktif sekarang seperti kambing hendak disembelih buat kurban, tapi kalau kambing mungkin diamnya sedih, tak ada nafsu hidup, kalau dia malah tersenyum-senyum tanpa henti.

Sasa sampai sebel sengaja pura-pura tak sengaja menimpuk kepala Vivi dari samping. "Aduh, sorry, bukuku lepas kendali." Ia siap menerima semprotan kemaran dari gadis itu, memejam sambil membuat tameng dari kedua tangan, tapi Vivi tetap senyum-senyum seperti kodok kesiram hujan.

"Vi, kenapa? Kambuh? Obatmu habis?" Celetukan Mimi dari bangku belakang, membuat yang ditegur menoleh sebentar, lalu balik lagi fokus ke depan. "Akhir-akhir ini kamu aneh banget deh. Gimana kabar novelmu?"

"Iya nih, sudah enggak update lagi," bisik Sasa. "Sudah nyerah menulis novel online? Sudah kuduga, bertahan berapa lama, Mi?"

"Enggak ada satu tahun."

Vivi menggeleng. "Kalian enggak tahu apa yang besok akan terjadi. Jadi, diam aja ya, nikmati hidup kalian, selagi masih bisa menikmati."

"Kenapa? 2012 sudah lewat, Vi, enggak jadi kiamat." Candaan Mimi memancing tawa dari Sasa juga beberapa Mahasiswa di sekitar mereka.

"Atau jangan-jangan ... besok kamu mau periksa ke rumah sakit jiwa?" sahut Sasa, tak mampu merubah senyum Vivi. 

Namun, di balik tampang cerah itu, dada Vivi berdebar tak terkontrol. Bagaimana ketika bertemu Anjas secara langsung? Apa yang harus dia lakukan? 

Ketika malam tiba pun, dia gagal memejamkan mata, terlentang di atas kasur, berbalik badan ke kiri, ke kanan, sampai sprei berantakan total. Dia memandang langit dari jendela. Di sana terdapat satu bintang kecil terang warna biru yang membuatnya tersenyum kecil. Ia mengambil mawar merah di atas buffet kecil di sebelah kasur, bunga pemberian Anjas masih terawat, karena tangkainya dia taruh dalam gelas berisi air.

"Kamu suka mawar merah, ya?" Tiba-tiba sosok Anjas yang bercahaya muncul, duduk di tepi kasur, membuat Vivi bangkit duduk. "Kamu menyesal tidak bertemu denganku kala itu?"

Vivi mengangguk kecil. Andai kala itu ia berani bertemu, mungkin keadaannya akan berbeda. "Kak, Kakak orangnya bagaimana? Kakak suka apa? Kakak benci apa? Beri tahu dong, supaya besok kalau bertemu, kita bisa langsung dekat seperti ini."

Pundak Anjas naik turun. Wajah polosnya menggeleng. "Entah, coba besok kamu langsung tanya ke orangnya. Tapi yakinlah, jika kelak bertemu, kamu harus jujur kepadanya tentang segala hal. Termasuk tentang ... plagiat novel."

Tepukan cukup keras mendarat ke paha Anjas. "Tapi Kak, aku takut. Bagaimana jika dia marah? Lalu bagaimana kalau dia menilaiku sebagai gadis jahat? Lagi pula, tanpa draft penuh, apa yang harus aku bawa untuk menghadapnya?"

"Bawa badan, bawa kemauan, bawa ide. Itu yang penulis wajib bawa ketika bertemu editor. Lagipula dia sudah membaca draft awal yang kamu bawa, kan?"

Vivi mengangguk. Ia terlalu khawatir untuk menghadapi hari esok, akan tetapi dengan adanya Anjas halusinasi, setidaknya malam ini ia bisa sedikit merasa tenang. "Kak, boleh peluk aku?"

Anjas menggeleng,merapikan rambut Vivi. "Apa yang kamu rasa jika kupeluk? Dingin, pasti. Minta Anjas asli untuk memelukmu kelak, supaya kamu bisa tau bagaimana rasanya dipeluk oleh cowok."

"Jangan bercanda Kak, mana berani aku minta begitu."

"Harus berani, karena Kakak tau, kamu menyukainya, kan? Apa ya namanya. Oh iya, cinta pada pandangan pertama." 

Ucapan itu membuat wajah Vivi memerah semerah buah persik baru matang. Dengan perhatian yang lembut Anjas menidurkan Vivi, menyelimutinya dengan selimut, lalu memberi hadiah berupa kecupan lembut di kening, memancing senyum tulus gadis itu muncul. 

"Kakak jangan pergi, ya."

"Maksudmu?"

"Kakak harus selamanya menemaniku."

Anjas mengangguk.

Lihat selengkapnya