Anjas berdiri di depan meja kasir, ia memilih makanan untuk dibawa pulang. Raut wajahnya nampak bingung memilih yang mana, hingga menunjuk sebuah paket nasi kotak yang gambarnya terpampang di atas showcase kaca besar.
"Aku tahu, kamu bakal membeli makanan untuk Anis," ujar Ismed, berdiri di samping Anjas, tersenyum pada pelayan. "Kopi hitam, di bawa pulang, ya."
Tanpa menoleh, Anjas menanggapi ucapan Ismed dengan nada dingin. "Kenapa kau biarkan gadis itu sendiri, tanpa sarapan dan makan siang? Harusnya kau menjaganya, kan?"
"Aku sudah berusaha, tapi dia menolak. Katanya, dia baru mau makan jika bertemu denganmu. Kemarin aku harus merayunya dulu, baru ia mau makan."
"Supir yang baik. Kau lebih loyal dari anjing peliharaan." Ejekan Anjas berbuah seringai sinis dari Ismed.
Pemuda dalam balut jas hitam itu menerima kopinya terlebih dahulu, ia tak beranjak menanti Anjas. "Anjing peliharaan, hmm? Setidaknya sebagai asisten pribadi aku peduli pada gadis malang itu. Tugasku menjaga, menemani, dan harusnya mematahkan tulang orang yang membuatnya susah, seperti dirimu."
Anjas tersedak, menoleh, tersenyum mengejek. "Kenapa tidak kau lakukan sekarang?"
"Jika aku melakukannya, Anis bakal sedih. Hal terburuk adalah melihat air matanya mengalir." Ismed menggeleng kecil. "Bukan sekarang waktu yang tepat untuk menghajarmu, Bro."
"Kapan? Bisa beri kepastian?"
"Secepatnya. Aku heran, pria lemah, sok keren, sok cool, sepertimu, kenapa bisa membuat Anis bersedih. Ibarat sampah, manusia sepertimu banyak berceceran di tempat pembuangan akhir. Apa spesialnya dirimu?"
"Kau mau tahu?"
Anjas berbalik badan, membuat Ismed melakukn hal yang sama. Keduanya bertukar senyum kecil saling memandang seperti dua singa berebut wilayah. Jari-jari Anjas bergerak-gerak seperti geliat ular, mengepal sesaat lalu lepas lagi.
"Permisi, Kak. Ini bentonya. Semua tujuh puluh lima ribu," ujar Pelayan, menaruh kantong plastik ke atas bako datar plastik.
Anjas berbalik meladeni gadis pelayan, menaruh uang di atas baki lalu mengambil kantong. Tanpa menoleh ke samping ia bergegas pergi dari sana. Ismed mengikuti dari belakang, menyeimbangi langkah menjaga jarak.
Sebelum pintu lift tertutup, Anjas melihat Ismed bersandar dinding, melipat kedua tangan di depan dada sambil memegang gelas plastik berisi kopi, memberi pandang tanpa kedip juga senyum yang membuatnya ingin meninju sesuatu.
Entah ada hubungan spesial apa antara Ismed dan Anis, akan tetapi mengetahui bagaimana pria itu memperlakukan dirinya, Anjas merasa menemukan rival. Entah kenapa ia menganggap demikian. Yang dirinya tau, Anis bukan siapa-siapa baginya.
Kantong plastik hitam di tangan kanan menemaninya dalam lift sepi. Bento daging ayam presto dengan bumbu asam manis adalah makanan kesukaan Anis. Mengingat dulu ia sempat marah ketika gadis itu terlalu banyak makan bento membuatnya tersenyum, kenangan nan indah yang harusnya terpendam dalam dalam lubuk hati, sekarang menyeruak seperti semburan lumpur lapindo. Dahulu rasa khawatir membuat semua itu terjadi, sekarang semua hanya angin malam yang dingin. Dia sendiri tak tau apa alasan membeli makan untuk gadis yang tanpa perasaan membuat hancur hidup juga karirnya.
Andai bisa melepas hati, ingin dia mencuci sampai bersih, hingga semua kenangan terbilas. Andai otak bisa diganti, ia ingin mengganti dengan yang baru, memulai dari awal kehidupan tanpa rasa simpang siur yang Anis ciptakan.
Semua pertanyaan dalam jiwa sirna oleh suara dentingan yang lembut. Pintu lift terbuka. Dinding pualam putih di lorong bercahaya kuning keemasan remang menyambut. Ia melangkah keluar, menoleh ke kanan, mendapati seorang gadis duduk berselonjor di karpet bersandar tembok tepat di seberang pintu kamar.