Anjas berharap Vivi bisa menunjukkan perkembangan yang besar. Ia memperhatikan gadis itu menulis. Senyumnya muncul karena raut wajah serius yang ia lihat. Tiba-tiba bayang masa lalu muncul.
Dulu Anis juga seperti ini, bersemangat dalam menulis. Sontak ia menggeleng pelan, melepas kacamata, mengurut pelan kening.
"Kak," tegur Sasa, mengeluarkan beberapa halaman kertas dari tasnya. "Kalau Kakak ada waktu, bisa baca draft ini."
"Draft? Coba mana." Ia menerima tumpukan kertas milik Sasa, memasang kembali kaca mata. Sambil menunggu Vivi menulis, Anjas membaca isi draft.
Sebuah cerita bergenre romance islamiah buatan Sasa membuatnya tertarik. Cukup unik kisah itu. Pada part satu menceritakan tentang seorang gadis nakal yang dikirim ke asrama Gontor, untuk mendapat pendidikan. Ia mengangguk-angguk membuka halaman selanjutnya.
"Ceritanya bagus."
Raut wajah Sasa sumringah."Bener, Kak? Kakak enggak bohong? M-maksudku, Kakak enggak berusaha menghiburkan belaka, kan?"
Anjas memberi anggukan kecil, juga senyum lembut. "Serius. Hal terpenting dalam novel menurutku adalah bab pertama. Sejauh ini aku merasa enjoy untuk membaca novel buatanmu. Waau konfliknya belum terasa, tapi karakternya sudah dapat,"
"Alhamdulillah." Sasa bertukar pandang dengan Mimi, sebelum kembali fokus pada pemuda di hadapannya. "Itu layak terbit, Kak? Bisa minta tolong menerbitkan gitu--"
Mimi menyikut lengan gadis berkerudung itu. "Kamu ini."
Anjas menghela napas, melepas kembali kaca mata. "Untuk menarik minat pembaca, sepertinya ok. Untuk terbit ... aku enggak bisa menilai mutlak, karena penilaian akhir tergantung pihak publisher yang kamu tuju. Menurutku layak, belum tentu menurut mereka begitu. Sudah dikirim ke mana saja?"
Pipi Sasa memerah, ia tersenyum menggeleng cepat. "Cuma di publish di aplikasi tulis menulis online. Itu pun minim pembaca."
"Kalau di aplikasi baca tulis online, kamu harus rajin promo. Kasarannya, mutiara indah berada dalam kerang. Kalau enggak dibuka kerangnya, mana tahu?"
"Begitu ya, Kak." Semakin centil senyum Sasa, sampai membuat Mimi menarik mundur kepalanya.
"Eh, Sa, kenapa? Kesurupan nih bocah."
Suara deheman Vivi cukup keras hingga membuat mereka sadar jika ada seorang gadis yang sedang menulis, terabaikan. Raut wajah gadis itu murung. Dengan kasar dia menyorong kertas mendekati Anjas. Nada bicaranya pun ketus, "Tuh, udah selesai. Semoga layak untuk di-ba-ca." membuang muka memandang jalan, sambil menyedot minuman.
Anjas terkekeh, bersiap membaca karya Vivi. Sebelum itu ia mendapati Mimi memberi kode dengan gerakan bibir, sebuah ucapan tanpa suara 'dia iri kak'. Anjas mengangguk sebagai jawaban, lalu mulai membaca.
Kali ini ia mengambil pena, sesekali mencoret lalu menulis. Cukup lama ia membaca tulisan Vivi hingga mengangguk kecil. Ia menaruh kertas ke atas meja.
Tangan Sasa, Mimi dan Vivi berebut mengambil kertas, tapi Sasa yang berhasil menarik benda itu. Ketiga gadis membaca bersama tulisan di sana.
"Lihat kan, dengan membaca kamu bisa membuat cerita sesuai aturan pov. Walau masih banyak kesalahan di sana-sini, seperti dialog tag dan sebagainya, tapi ceritamu kali ini lebih bisa dibaca dari kemarin."
Wajah berhias senyum itu tak memandang anjas, malah mengaduk-aduk minuman pakai sedotan."Makasih, Kak."
Mimi menarik-narik lengan pakaian Sasa, berbisik, "Pindah yuk, mumpung ada tempat kosong."
"Lah, kenapa? Mi? Ih, kenapa?" Sasa mengeluh, enggan pergi tapi menurut juga. Ia ditarik menuju bar, lalu duduk di kursi bundar bar bersama Mimi. Keduanya nampak berbisik-bisik tak menghiraukan Vivi atau Anjas.