Hari ini Vivi menemui Anjas seorang diri di restoran tempat biasa mereka berkumpul. Ia duduk di kursi, berayun kaki sambil menonton TV. Suara senandung lembut keluar dari mulutnya, ketika kepala bergerak pelan ke kiri dan kanan.
Band Miracle Never Die sedang tampil di TV. Bukan hanya Vivi,beberapa gadis pengunjung juga gadis pelayan fokus ke layar menikmati penampilan mereka. Tiga anggota band, gitaris, keyboardis, drummer, semua tampan dan keren. Yang menjadi sorotan utama adalah Alvin. Vokalis muda itu memiliki suara merdu. Ia bernyanyi dengan lepas. Selain itu juga penampilannya yang mirip aktor Korea muda membuat pamornya melesat seperti roket menuju bintang di angkasa. Ia juga ditawari main di film layar lebar.
Namun, yang membuat pemuda itu menjadi idola Vivi karena namanya. Alvin Alvaro, sama dengan cowok masa lalu yang menjadi cinta pertamanya. Nama itu pasaran, kan? Lagi pula seingatnya, Alvin dulu kurus dan kulitnya sawo matang, tidak seputih Alvin.
"Kamu suka ya, sama band itu?" tegur Anjas, sambil mengoreksi novel buatan Vivi.
"Banget, Kak. Band itu nomor dua yang paling kusuka."
"Nomor satunya siapa?"
"Band Korea, lah."
Anjas menghela napas panjang. Hari ini Vivi mengumpulkan sepuluh part novel yang ia buat. Itu tandanya setengah jalan lagi novel itu bakal tamat. Akan tetapi ada satu masalah serius dalam novel. Pemuda itu sengaja tak mengusik gadis itu sampai ia selesai menikmati lagu.
"Sudah?"
"Sudah apanya?" tanya Vivi.
"Nyanyinya."
"Oh, sudah." Vivi mesem. "Gimana Kak? Novelku enggak ada kesalahan dalam penulisan, kan? Itu sesuai kerangka plot yang kita bikin dan kalau ada typo, maafkan."
"Kalau masalah typo itu kecil, mudah untuk diganti." Anjas menarik kursinya maju. "Coba kamu dengar. Hitung kalimat berdebar-debar. Ketika ia menggenggam tanganku, dadaku berdebar-debar. Perlakuannya yang seperti ini membuat dadaku berdebar-debar. Setiap kali mata itu memandang, dadaku berdebar-debar. Setiap kali tokoh gadis bertemu tokoh pemuda, yang gadis berdebar-debar. Bisa mati karena jantungan nih gadis, ngerti?"
Bukannya merasa bersalah, Vivi malah cekikikan.
"Kamu kira ini candaan? Ini masalah serius, Vi." Anjas mencoba menjaga suara. Ia tahu hanya akan memperpanjang masalah dengan membentak dan jika berujung pada perdebatan, pasti dia kalah. Dengan diam dia mampu membuatnya jinak. "Coba beri tahu, kenapa selalu berdebar-debar?"
"Yaa uhm, ya karena dulu aku berdebar-debar."
"Kamu sudah membaca banyak novel romance, kan?" Anggukan Vivi membuat Anjas lanjut bicara. "Kalau begitu harusnya tahu, deskripsi yang lain."
"Apa berdebar-debar salah, Kak?"
"Enggak salah, tapi kalau satu buku isinya deskripsi berdebar-debar, selain karaktermu bisa mati jantungan juga pembaca bakal bosan. Coba deskripsikan pakai yang lain."
"Bisa aja sih, copas kalimat yang ada dalam buku lain, tapi kan nanti hasilnya enggak sesuai dengan apa yang aku ingin tulis."
"Emang kamu ingin menulis apa?"
"Aku ingin menunjukkan apa yang aku rasa kala itu, Kak."
"Ya rasa apa?"
"Ya itu tadi, berdebar-debar."
Anjas menepuk kening. "Kamu belum pernah pacaran, ya?"
"Belum. Kenapa? Mau ngejek kalau aku cewek enggak laku? Eh, Kak. Aku enggak pernah pacaran memang karena enggak minat pacaran waktu sekolah--"
"Kan cuma tanya, enggak usah ngegas." Cukup lama Anjas mengamati wajah judes Vivi, hingga ia terkekeh. Ia tak menyangka akan mendengar jawaban seperti tadi.
"Kak, terus terang aku beneran enggak pernah pacaran."
"Terus?"
Vivi tertunduk, malu-malu. "Bisa enggak ... Kakak bantu."