Cahaya hangat matahari pagi menyusup melalui sela pintu kaca koridor yang terbuka sedikit menerpa kulit kuning langsat Vivi. Suara senandungnya menggema pelan ketika ia memilih pakaian. Beberapa helai kemeja Kakak terkapar di kasur, beberapa lagi berada di atas meja belajar. Ia sendiri mencoba baju blouse besar lengan panjang sutera berwarna vanila yang membuat penampilan tambah imut di depan kaca. Ini date pertama dengan seorang cowok. Dan cowok itu spesial, seseorang yang dikagumi pada pandangan pertama.
Ia tahu jika mungkin Anjas melakukan hal ini ada maksud lain. Mungkin untuk memanas-manasi Anis. Siapa yang peduli? Bukan salahnya jika kelak pemuda itu takluk akan kemanisannya. Memikirkan hal itu membuat Vivi tersenyum sinis.
"Gayamu Vi, kek tokoh antagonis mau nyiksa protagonis."
"Apaan sih!" keluh Vivi kepada Kakaknya yang bersandar daun pintu kamar.
"Pake tabir surya." Sebotol lotion April lempar ke muka adiknya. "Ntar mau main ke mana aja?"
"Enggak tahu, kan cuma ngikut." Ia mulai memakai lotion tabir ke sekujur tubuh, bahkan ketiak. "Jangan stalker ya."
"Pulangnya jangan kemalaman, ntar ibu cemas. Hati-hati sama cowok, kan kalian baru kenal." April pergi dari sana meninggalkan adiknya beraktifitas seorang diri.
"Siapa juga yang mau sampai tengah malam. Emang Kakak, yang pulang telat mulu kalau date sama Rafa." Ia berlenggak-lenggok mengagumi celana jeans panjang yang mengikuti lekuk kakinya.
Ibu memanggilnya untuk keluar. Ketika sampai di teras, suara obrolan Ibu dengan suara pemuda ramah nan kalem membuat langkah Vivi melambat. Suara aneh, Anjas tak punya suara seperti itu. Ketika mengintip memang benar itu pemuda yang ia nantikan, berpenampilan khas dengan kemeja lengan pendek motif kotak-kotak biru muda tak terkancing, kaos putih dengan celana jeans gelap panjang. Siapa sangka suaranya bisa sangat ramah jika bicara dengan orang tua. Buru-buru dia kembali ke kamar, mengganti baju dengan kemeja kotak-kotak biru muda supaya bisa couple-an. Lalu bergegas menuju ruang tamu. Kembali ia mengendap, mencuri dengar apa obrolan mereka di teras.
"Tante harap kamu jangan bosan mengajari Vivi menulis novel, ya Nak. Walau kadang dia kekanak-kanakan, nyebelin, nyusahin, kuper, tapi dia gadis baik."
"Anak ragil memang kebanyakan begitu, Te."
"Apaan sih, Bu. Kok anak sendiri dijelek-jelekin," keluhnya, berdiri di depan pintu dengan tangan bersembunyi di belakang, tertunduk malu. Sesekali ia mengangkat kepala mengintip sambil tersenyum. Anjas termenung, dan itu membuatnya tambah malu. Andai bukan karena suara deheman Tante, pemuda itu pasti masih larut dalam laut pikiran.
Anjas bangkit dari duduknya, menyalami Tante dengan sopan. "Kalau begitu kami berangkat dulu." Ia menangkap tangan Vivi yang hendak langsung meluncur. "Yang sopan sama orang tua." memaksanya untuk mencium tangan Tante.
Semua itu membuat beliau tertawa kecil melepas kepergian motor sport yang membawa keduanya dari sana. Tanpa keduanya sadari sebuah mobil avanza hitam mengikuti.
Motor bergerak santai di jalan sepi kendaraan. Beberapa orang bersepeda memenuhi pinggir jalan, sisa pen-jogging masih bertebaran di trotoar, ada yang berlari juga duduk santai.
Vivi selalu ingin melakukan adegan seperti di film-film, merentangkan kedua tangan, berdiri kala motor melesat. Pelan-pelan dia mencoba melakukan itu. Kaca helm yang terbuka membuat angin bebas menerpa wajah. Ia memejam, merasa seperti burung yang terbang ke angkasa.
Motor Anjas melambat, berhenti di tepi jalan. Ia membuka kaca helm menoleh ke belakang. "Heh! Apa-apaan sih! Duduk yang benar!"
"Lah? Kok berhenti?" Vivi duduk memasang muka cemberut.
"Ya berhenti lah. Untung tadi aku lihat dari spion, kalau kamu bertingkah seperti tadi. Kan sudah dibilang, nyabuk, atau pegangan di pengaman belakang, malah berdiri ... urakan."
"Ya kan pingin seperti di film-film."
"Ini bukan film! Kalau nanti kamu jatuh bagaimana?"
Vivi tersenyum. Hatinya berbunga-bunga karena perhatian yang Anjas tuangkan kali ini benar-benar besar.
"Tante bisa marah, nama baikku tercemar," lanjut Anjas, bersiap memacu motor. "Pegangan yang kencang!"
Vivi menurut, memeluk erat pinggang pemuda itu, hingga motor kembali melesat. Ada rasa jengkel mendengar ucapan tadi. Sekarang ia bingung, perhatian yang dia terima karena rasa sayang atau rasa takut pada ibunya?
"Kak, mau ke mana?"
"Rahasia."
Motor pergi ke arah kenjeran, parkir di lahan parkir dekat patung Kwan Im. Matahari telah beranjak tinggi. Langit biru tanpa awan. Aroma laut, angin hangat menggebu, suasana pantai hiburan yang menawan. Banyak pengunjung menikmati hari libur mereka di sana.