Keheningan dalam mobil sesekali pecah oleh dengus nafas kencang Anis.
Apa yang dia lihat sangat menyayat hati. Dari matahari merangkak naik hingga tenggelam, hanya keromantisan menjijikkan. Harusnya dia yang berada di posisi Vivi, karena mereka telah lama saling mengenal. Satu tahun bersama, beratus kenangan indah. Kenapa sekarang harus Vivi?
"Sekarang maumu apa?" tanya Ismed, ketika mobil yang ia kendarai terjebak kemacetan. "Sebenarnya apa yang terjadi sampai dia menghindarimu?"
"Aku juga enggak tahu. Semenjak buku kejora terbit, dia seperti itu." Anis memijat kening, memukul-mukul jendela pintu. "Bahkan ketika menulis Kejora tiga, dia menjauh. Gadis itu harus membayar perbuatannya."
"Vivi enggak tahu apa-apa, loh. Dia hanya--"
"Kau ada di pihak mana?"
"Nis, aku hanya tak ingin kelak kamu menyesali--"
"Aku mendapat info menarik tentang gadis bernama Vivi," ujar Anis. "Gadis itu pernah terlibat kasus plagiat."
"Serius?"
"Yup, novelnya jadi sengketa. Aaa yang bilang dia plagiat, tapi banyak yang bilang novel dia yang diplagiat. Dan lihat saja ... akan aku jegal dia. Ah, tidak. Biar dia terkenal dulu, baru jegal. Supaya jatuhnya lebih mantap."
"Kenapa harus menjegal?" Sesekali Ismed menoleh ke kuris samping. "Apa dengan begitu Anjas bakal kembali kepadamu?"
Itu tak masalah. Baginya Vivi adalah pelakor, dan hanya ada satu tempat bagi wanita seperti Vivi, tong sampah.
Waktu bergerak dengan cepat. Anis tak membuang-buang waktu. Ia memanfaatkan Sasa yang sedang berjibaku untuk menerbitkan buku. Dengan mengaku sebagai orang dari penerbit mayor ABC, dia berhasil memancing gadis berkerudung itu untuk menemuinya di salah satu kafe.
"Aku ikut turun?" tanya Ismed, setelah memarkir mobil di seberang kafe.
"Nggak usah." Anis enggan mengajak Ismed, takut pemuda itu mengacaukan segalanya. "Habis sholat, kamu langsung balik ke mobil aja, jangan ikut datang ke sana, mengerti?"
"Oke. Nanti kalau aku belum kembali, miss-call aja."
Dengan penuh energi, Anis turun dari mobil. Ia menyeberang jalan, masuk ke kafe. Obrolan pengunjung menyambut. Nyaris tiada kursi kosong di sana. Tak perlu waktu lama untuknya mendapati gadis berkerudung berpakaian kaos lengan panjang dan rompi jeans biru duduk seorang diri sedang menyusun kertas. Buru-buru ia menghampirinya.
"Kamu Sasa, kan?"
Sasa terpukau tanpa kedip mendapati penulis papan atas menghampirinya. Jari telunjuk bergetar menunjuk wajah Anis. "K-Kakak--"
Anis menyalami gadis itu sambil duduk di kursi depan. "Kenalkan, namaku Anis, sebenarnya penerbit ABC menolak draft novelmu."
"Yah." Pundak Sasa turun dengan lemas."
"Tapi aku tertarik," ujar Anis. "Novelmu bagus, makannya aku mengundangmu untuk bertemu. Maaf ya, nipu, ngaku dari penerbit ABC."
"Enggak apa-apa, Kak. Serius Kakak suka?"
Anis mengangguk, "Kita makan dulu ya, lapar. Jangan khawatir, aku yang traktir." memanggil pelayan dan memesan makanan.
Tak lama menunggu, pelayan menyajikan dua mangkuk mie ayam bakso istimewa. Aroma segar bakso sapi dan mie membuat mereka lahap makan.
Sambil menyendok bakso, Anis melancarkan taktiknya. "Aku dengan kamu punya teman bernama Vivi, yang penulis naik daun di aplikasi tulis menulis online."
"Iya Kak."
"Wah, hebat ya, punya teman penulis naik daun. Pasti kalian sering menulis bersama?"