Gonggongan guguk di kejauhan menemaninya berdiri di koridor. Angin sepoi hangat membuat rok pakaian babydoll yang Vivi kenakan bergerak-gerak pelan, begitu juga dengan rambutnya yang terkulai. TErdapat satu bintang terang berwarna biru yang menemani bulan di angkasa merah kelam.
Hubungan dengan Anjas semakin dekat dan novel pun nyaris selesai, hanya tinggal dipoles. Mereka mulai sering berbalas pesan seperti sepasang kekasih. Hanya saja, ada yang mengganjal. Vivi sadar jika mereka bukan pacar asli. Dia masih ingat jika tujuan Anjas hanya membantu supaya dia bisa merasakan bagaimana rasanya cinta. Ada rasa takut jika semua ini bakal berakhir setelah novelnya selesai. Dia tak ingin itu terjadi. Apa salah jika menginginkan cinta dari orang yang disuka? Memikirkan hal itu membuatnya bersangga dagu ke atas tembok pagar pengaman koridor.
"Kenapa murung?" tanya Anjas halusinasi, berdiri di sebelahnya, memandang langit.
"Kak, Kakak suka enggak sama Vivi?"
"Suka banget." Ia menoleh, memberi senyum sambil mengacak-acak rambut gadis itu. "Entah kalau Anjas yang asli. Coba cari tahu, apa dia menyukaimu atau tidak."
Vivi menggeleng. "Nanti kalau dia pergi bagaimana? Aku merasa cuma sebagai pelarian semata."
"Kamu pernah dengar kisah cinta ... pangeran kerajaan Baek Jae di Korea? Dia menikahi seorang gadis dari kerajaan China, demi politik. Tiada cinta pada awalnya, akan tetapi cinta tumbuh setelah mereka bersama. Nah, kamu juga jangan menyerah. Jika memang suka, buat dia menyukaimu. Tumbuhkan rasa cinta di benaknya."
"Bagaimana caranya?"
Pundak Anjas naik turun. "Mending tidur, sudah malam."
Vivi menghela napas, kembali menikmati pemandangan di langit. Dia menyesal meminta tolong diperkenalkan dengan cinta. Dia memang suka Anjas, akan tetapi bagaimana jika dia malah menyukai Anis? Vivi sadar jika mereka bukan pacar asli. Dia masih ingat jika tujuan Anjas hanya membantu supaya dia bisa merasakan bagaimana rasanya cinta. Ada rasa takut jika semua ini bakal berakhir setelah novelnya selesai. Dia tak ingin itu terjadi. Apa salah jika menginginkan cinta dari orang yang disuka?
Hari silih berganti. Hubungannya dengan Anjas semakin dekat dan novel pun nyaris selesai, hanya tinggal dipoles. Setelah tempat pertemuan mereka diketahui Anis, keduanya memilih tempat pertemuan baru. Kebun Bibit menjadi pilihan mereka, dan hari ini Sasa dan Mimi ikut hadir karena ingin melihat perkembangan novel sahabat mereka.
"Hai guys. Sekarang aku berada di kebun bibit Surabaya." Mimi melambai ke kamera yang dia pegang, berdiri membelakangi danau buatan berwarna hijau lumut yang indah. Di sekitar danau ditumbuhi banyak pohon rimbun, juga warna-warni berbagai macam bunga. Banyak pengunjung duduk-duduk atau berjalan santai menikmati keindahan di sana.
"Oh, jadi ini tujuannya maksa ikut, demi konten instastory?" keluh Sasa.
Keduanya asik berdebat, membiarkan Vivi dan Anjas duduk di gazebo, berdiskusi masalah novel.
"Novelmu udah bagus nih, tinggal dirapikan lalu siap dikirim ke penerbit. Bagaimana, kamu siap menjadi penulis di penerbit mayor?" Anjas mendapati gadis itu melamun, tanpa berkedip memandang lurus ke danau. "Vi, halo? Ada apa kok malah bengong?"
GErakan tangan Anajs di depan wajah, membuatnya sadar. "Ahm, enggak apa-apa, Kak. Uhm ... Kak, setelah novel ini selesai, bagaimana?"
"Ya diterbitkan, lah."
Vivi lemas, menghela napas tanpa gairah hidup.
"Kenapa?" tanya Anjas.
"Kalau begitu setelah novel ini terbit, terus kita enggak bisa bertemu lagi?"
"Bisa lah." Anjas tertawa ringan. "Jadi, kamu bengong seperti kodok menanti hujan, karena hal itu?" Jari telunjuk dan jempol membentuk huruf V menempel di bawah dagu, alisnya naik turun. "Takut enggak bisa bertemu dengan cowok tampan?"
"Ih, apaan sih, nyebelin." Vivi melempar cuilan tahu goreng ke badan Anjas. Walau tebakan itu benar, tetap saja membuatnya gusar. Ia tak ingin ada pemuda yang bisa membaca isi hatinya secara tepat.
"Selama kamu terus menulis, aku mau kok, jadi editormu."
"Yey." Senyumnya Vivi berangsur padam lagi.
"Nah, apa lagi nih?"