Rombongan tamu yang terdiri dari seorang pria nan enggan dan dua orang wanita dipersilakan masuk oleh kepala pelayan, yang diam-diam mencela, ke ruang tamu kuning di rumah Sir Richard Wyndham di St. James’s Square. Tamu pria, yang baru berusia tiga puluhan lebih sedikit tetapi sayangnya sudah cenderung gemuk, tampaknya merasakan ketidaksukaan kepala pelayan karena, begitu individu terhormat itu memberitahukan kepada wanita yang lebih tua bahwa Sir Richard sedang tidak di rumah, dia melemparkan lirikan protes, sekalipun bukan selayaknya seorang bangsawan yang melirik bawahan, melainkan seperti seseorang tak berdaya yang meminta pengertian dari sesama laki-laki. Dengan nada memohon, dia berkata, “Nah, Lady Wyndham, jika benar begitu, tidakkah menurut Anda—? Louisa, bukankah sebaiknya kita—? Maksudku, tidak ada perlunya kita masuk, benar demikian, Kasihku?”
Istri dan ibu mertuanya sama-sama tidak menghiraukan pidato setengah hati tersebut. “Kalaupun adikku sedang keluar, kita tunggu saja kepulangannya,” tukas Louisa lugas.
“Ayahmu yang malang selalu keluar ketika kita ingin bertemu dengannya,” Lady Wyndham mengeluh. “Hatiku serasa disayat-sayat, melihat Richard kian hari kian mirip dengannya.”
Nada bicaranya yang lirih menyiratkan duka teramat sangat sehingga seolah-olah tangisnya bisa saja pecah tepat di sana, di undakan depan rumah putranya. George, Lord Trevor, sadar sekali akan keberadaan saputangan yang digenggam oleh tangan kurus yang bersarung dan alhasil tidak lagi menyampaikan keberatannya untuk memasuki rumah di belakang kedua perempuan.
Menampik tawaran makanan kecil ataupun minuman, Lady Trevor lantas mendampingi Lady Windham ke ruang tamu kuning, mendudukkan sang ibu ke sofa satin, dan mengumumkan niatnya untuk bertahan di St. James’s Square seharian jika perlu. George, yang bersimpati kepada sang adik ipar dan alhasil bisa membayangkan akan seperti apa perasaan pria itu apabila menjumpai kontingen keluarga sepulangnya dia ke rumah, berkata dengan murung, “Kau tahu, menurutku sebaiknya kita tidak berbuat begini, sungguh! Aku tidak suka ini. Kuharap kau mengurungkan niat saja.”
Istrinya, yang sedang sibuk melucuti sarung tangan kulit halus berwarna lavendel, melemparkan ekspresi muak bercampur maklum. “George Sayang, kalaupun kau takut pada Richard, biar kuyakinkan kau aku tidak takut.”
“Takut kepadanya?! Tentu saja tidak! Tapi, kuharap kau mau mempertimbangkan bahwa pria 29 tahun takkan senang diatur-atur. Lagi pula, dia sangat mungkin akan bertanya-tanya apa pula urusanku, sedangkan aku sendiri tahu aku tidak berhak ikut campur. Kuharap aku tidak ikut ke sini.”
Louisa mengabaikan komentar ini, yang menurutnya tidak pantas ditanggapi, sebab dia adalah istri bertangan besi yang praktis merajai suaminya. Lady Trevor adalah wanita rupawan berwajah tegas dan diam-diam berselera humor. Dalam berbusana, dia senantiasa sangat anggun dan menjaga norma kepatutan, meski barangkali tidak modis-modis amat, sebab mode terkini untuk musim panas mengharuskan bahan tipis yang mengumbar keindahan tubuh perempuan. Karena dia berperawakan sangat bagus, tren baju berdada rendah, berpinggang tinggi, dan berlengan kecil menggembung sejatinya cocok sekali untuk Louisa; lain dengan tren celana panjang ketat dan jas berekor panjang untuk suaminya.
Malahan, tren tidaklah ramah terhadap George. Dia paling pas mengenakan celana selutut dan sepatu bot tinggi, tetapi sayangnya dia kecanduan menjadi pesolek dan memedihkan hati teman-teman beserta kerabat karena sok-sok berdandan flamboyan, bahkan menghabiskan banyak waktu sekadar untuk menata simpul dasi seperti Mr. Brummell, sang panutan mode dan menjejalkan perut gendutnya ke dalam korset kencang supaya muat dalam celana, alhasil menghasilkan bunyi berderit tiap kali dia tak awas bergerak.
Anggota ketiga rombongan tersebut, yang tidur-tiduran loyo di sofa satin, adalah wanita yang bertekad sekuat putrinya, tapi menerapkan pendekatan lebih tidak kentara untuk memperoleh keinginannya. Lady Wyndham, yang sudah sepuluh tahun menjanda, memiliki kondisi kesehatan yang sangat rapuh. Tentangan sekecil apa pun terlalu berat untuk ditanggung oleh sarafnya yang tegang; siapa saja, bilamana melihat saputangan dan vial ornamental berisi amonia yang dia bawa-bawa, tentu bodoh jika tidak dapat menangkap pesan tersirat nan mencekam di balik benda-benda tersebut. Sekalipun ayu semasa muda, di usianya yang paruh baya, segala aspek penampilannya seakan telah memudar: rambut, pipi, mata, dan bahkan suaranya, yang bernada memelas, teramat pelan sehingga ajaib masih ada yang bisa mendengarnya. Sama seperti putrinya, Lady Wyndham memiliki selera berbusana nan jempolan dan, karena wanita mujur ini mempunyai uang saku melimpah, dia bebas memenuhi hasratnya akan tetek bengek trendi yang paling mahal tanpa mengirit-irit pengeluarannya yang lain. Walau begitu, Lady Wyndham tetap saja menganggap dirinya berkantong kempis dan kerap mengeluhkan kondisi finansialnya yang serba terbatas sekalipun tidak pernah merasakan impitan kemiskinan sungguhan. Karena Lady Wyndham gemar menyesalkan ketidakadilan sang almarhum suami yang mewariskan seluruh hartanya yang luar biasa banyak kepada anak lelaki mereka satu-satunya demi memenangi simpati para kenalan, teman-temannya lantas menyimpulkan bahwa wanita itu hanya diwarisi uang saku secuil.
Lady Wyndham, yang menghuni sebuah rumah permai di Clarges Street, tak pernah memasuki griya di St. James’s Square tanpa merasa berpedih hati. Namun, jangan salah kira—tatapan perih yang selalu dia lemparkan ke sana bukan menandakan bahwa rumah itu adalah domisili keluarga, sebab sang putra baru membelinya beberapa tahun lalu. Semasa Sir Edward masih hidup, keluarga mereka tinggal di rumah yang jauh lebih besar dan sangat tidak nyaman di Grosvenor Square. Selepas Sir Richard mengumumkan hendak mencari tempat tinggal sendiri, rumah di Grosvenor Square dijual sehingga Lady Wyndham kemudian bisa meratapi lepasnya rumah tersebut dari kepemilikan mereka, tetapi tidak perlu lagi menghadapi ketidaknyamanannya. Betul bahwa wanita itu menyukai rumahnya sendiri di Clarges Street, tetapi bukan berarti dia mampu berlapang dada perihal rumah putranya yang jauh lebih besar di St. James’s Square; apalagi perkara tempat tinggal selalu bisa diandalkan, bahkan sewaktu sumber keluh kesah lain menjadi menjemukan atau gagal merebut simpati pendengar. Saat ini saja, misalkan, Lady Wyndham berujar dengan sendu, “Aku tidak paham, bisa-bisanya Richard menginginkan rumah seperti ini!”
Louisa, yang memiliki rumah pribadi teramat bagus, juga properti di Berkshire, sama sekali tidak iri akan griya adik laki-lakinya. Dia menimpali, “Memang janggal, Mama. Dia pasti membeli rumah ini demi persiapan pernikahan kelak—tidak ada penjelasan lain. Tidakkah menurutmu demikian, George?”
George merasa tersanjung karena pendapatnya diminta, tetapi sebagai orang yang jujur dan hati-hati, dia tidak sanggup berdusta. Oleh sebab itu, dia menyampaikan bahwa menurutnya Richard tidak pernah mempertimbangkan untuk menikah, baik ketika membeli rumah ini ataupun pada saat-saat lain.
Louisa tidak senang. “Wah!” katanya dengan mimik gigih. “Pokoknya, dia harus diyakinkan supaya mau mempertimbangkan pernikahan!”
Lady Wyndham menurunkan amonia untuk menukas, “Tuhan tahu aku takkan pernah mendesak-desak putraku untuk bertindak di luar keinginannya, tapi sudah menjadi pengetahuan umum selama bertahun-tahun ini bahwa dia dan Melissa Brandon akan meresmikan persahabatan lama di antara keluarga kita dengan tali perkawinan!”
George menatap sang ibu mertua sambil melongo dan berharap andai saja dia tidak ikut-ikutan ke sini.
“Jika Richard tidak ingin menikahi Melissa, aku tidak akan memaksa-maksanya,” ujar Louisa. “Namun, sudah waktunya dia menikahi seseorang. Andaikan tidak ada perempuan belia yang dia incar sebagai calon, kita mesti mengajukan Melissa.”
“Aku tidak enak hati bertemu Lord Saar,” keluh Lady Wyndham sambil kembali mendekatkan vial ke hidung. “Ataupun Emily Sayang yang Malang. Selain Melissa, masih ada tiga putri lagi yang mesti dia nikahkan, padahal paras mereka semua cuma pas-pasan. Wajah Sophia malah berbintik-bintik.”
“Menurutku Augusta lumayan menjanjikan,” kata Louisa adil. “Amelia juga mungkin mengalami kemajuan.”
“Juling!” kata George.
“Satu matanya cuma agak jereng,” ralat Louisa. “Akan tetapi, bukan itu inti pembicaraan kita. Melissa adalah gadis yang cantik jelita. Itu tak terbantahkan!”
“Belum lagi koneksinya yang gilang-gemilang!” desah Lady Wyndham. “Salah satu keluarga paling terpandang!”
“Konon, sisa usia Saar maksimal hanya lima tahun lagi, berkaca dari gaya hidupnya sekarang,” kata George. “Saar doyan minum-minum seperti sudah tak sabar menjemput maut, sedangkan semua harta bendanya sudah digadaikan. Kabarnya, ayah Saar dulu juga seperti itu.”
Kedua wanita memandangnya dengan ekspresi kecut. “Kuharap kau tidak bermaksud menyiratkan bahwa Melissa mencandu alkohol, George?” kata istri pria tersebut.
“Oh, tidak, bukan! Demi Tuhan, aku tidak pernah berpikir seperti itu! Aku yakin dia wanita muda yang luar biasa. Tapi, jujur aku katakan, Louisa, aku tidak menyalahkan Richard andaikan dia tidak ingin menikahi Melissa!” kata George dengan nekat. “Jika aku menjadi dirinya, mending aku mengawini patung sekalian!”
“Mesti kuakui,” Louisa mengalah, “Melissa barangkali agak dingin. Namun, kita mesti maklum. Biar bagaimanapun, posisi Melissa memang serbasalah. Sejak kami berdua kanak-kanak, perjodohannya dengan Richard sudah menjadi kesepakatan tak tertulis. Melissa sendiri tahu, begitu pula dengan kami. Dasar Richard, malah bertindak keterlaluan seperti sekarang! Aku sudah kehilangan kesabaran terhadapnya!”
George sesungguhnya menyukai sang adik ipar, tetapi dia tahu membela Richard merupakan perbuatan sembrono, maka dia pun bungkam. Sementara itu, Lady Wyndham meneruskan berkeluh kesah. “Tuhan tahu aku takkan pernah memaksa anak lelakiku satu-satunya untuk mengikat tali perkawinan yang tidak disukainya, tapi hari demi hari, jam demi jam, aku ngeri kalau-kalau Richard membawa pulang seseorang berstatus rendahan dan lantas berharap agar aku menerima perempuan itu!”
Citra sang adik ipar kontan terbayang di batin George. Dia berujar dengan sungkan, “Menurut saya, Richard mustahil berbuat begitu, Nyonya!”
“George ada benarnya,” Louisa mengumumkan. “Alangkah lebih baiknya jika demikian. Sungguh mengguncangkan bahwa segala macam jurus feminin luput memikat dirinya! Bohong apabila dia mengatakan tidak suka perempuan, tapi satu hal yang pasti: sekalipun tidak suka perempuan, dia berkewajiban meneruskan nama keluarga dan oleh sebab itu, dia harus menikah! Aku tidak mengharuskannya menikahi Melissa Brandon, jadi aku sengaja bersusah payah memperkenalkannya kepada tiap wanita muda yang layak diperistri di kota ini, tapi melirik mereka dua kali saja dia tidak mau. Ya sudah! Jika dia bersikukuh seperti itu, Melissa sudah cocok untuknya.”
“Menurut Richard, mereka semua menginginkannya demi uang,” George memberanikan diri untuk menukas.
“Bisa jadi. Lantas kenapa? Kau tentu tidak bermaksud memberitahuku bahwa Richard berjiwa romantis!”
Benar, George terpaksa mengakui Richard tidak romantis.
“Asal berkesempatan melihat Richard menikah dengan pasangan yang pantas, aku bisa meninggal dengan damai,” kata Lady Wyndham, yang secara pribadi optimis akan hidup sekurang-kurangnya tiga puluh tahun lagi. “Sebagai ibunya, jalan hidup Richard yang sekarang membuatku cemas!”
Rasa setia kawan memaksa George untuk menyerukan, “Tidak usah, Nyonya, sungguh! Demi kehormatan saya, Anda tidak perlu khawatir Richard akan menyimpang. Risiko tersebut praktis nihil!”
“Dia menyebabkanku habis kesabaran!” kata Louisa. “Aku sangat menyayanginya, tapi aku jengkel sepenuh hati kepadanya! Ya, betul, dan aku tidak peduli perkataanku ini didengar oleh siapa! Dia hanya peduli pada tatanan dasinya, kilap sepatunya, dan racikan tembakaunya!”
“Kuda-kudanya!” imbuh George, yang secara pribadi ikut merasa tersinggung gara-gara omelan sang istri barusan.
“Ah, ya, kuda-kudanya! Baiklah! Mari kita akui dia seorang penunggang kuda yang mumpuni! Dia mengalahkan Sir John Lade dalam balapan ke Brighton! Sungguh prestasi yang mengesankan!”
“Piawai bertinju pula!” desah George, berkecil hati namun lapang dada memuji sang adik ipar.
“Kau mungkin mengagumi seorang pria yang gemar berkunjung ke Jackson’s Saloon dan Cribb’s Parlor! Tapi, aku tidak!”
“Benar, Kasihku,” kata George. “Tentu saja tidak.”
“Tidak diragukan lagi bahwa dalam pandanganmu, kegandrungannya berjudi tidak tercela! Padahal, aku mendapat informasi dari narasumber tepercaya dia sempat kalah tiga ribu pound sekali duduk di Almack’s!”
Lady Wyndham mengerang, lalu menotol-notol matanya dengan saputangan. “Oh, jangan berkata begitu!”
“Kalaupun benar demikian, saking kayanya Richard, tidak penting dia kalah ataupun menang,” tukas George.
“Pernikahan,” kata Louisa, “akan menghentikan perbuatan main-main seperti itu.”
Diktum ini serta-merta memunculkan bayangan mengenaskan dalam benak George sampai-sampai dia spontan tutup mulut. Dengan suara suram nan misterius, Lady Wyndham berujar, “Hanya seorang ibu yang dapat memahami keresahanku. Pada usianya yang labil saat ini, dari hari ke hari aku ngeri membayangkan Richard akan berbuat apa!”
George membuka mulut, melihat mimik muka istrinya, kembali tutup mulut, dan kemudian menarik-narik dasinya dengan murung.
Pintu mendadak terbuka; di ambangnya, seorang Corinthian1 berdiri sambil mengamat-amati karib kerabatnya dengan sinis. “Beribu-ribu maaf,” sang Corinthian berkata dengan nada sopan tapi bosan. “Saya siap melayani Anda, Nyonya! Louisa, salam hangat! George Malang, apa kabar? Ah, apakah aku mengundang kalian ke sini?”
“Rupanya tidak!” bentak Louisa geram.
“Tidak. Kami ke sini bukan karena diundang. Lebih tepatnya, mereka berinisiatif untuk ke sini, sedangkan aku tidak bisa menghentikan mereka!” kata George heroik.
“Sudah kukira,” sang Corinthian menutup pintu, lalu melangkah ke dalam ruangan. “Tapi, kau tentu bisa memaklumi ingatanku yang payah.”
George memperhatikan sang adik ipar dengan mata jeli layaknya seseorang yang berpengalaman dan sontak merasakan emosinya tergugah. “Ya ampun, Richard, aku suka sekali! Demi kehormatanku, pas benar potongan jasmu! Siapa yang menjahitnya?”
Sir Richard mengangkat sebelah tangan sambil melirik lengan bajunya. “Weston, George, cuma Weston.”
“George!” kata Louisa dongkol.