Lord Saar tinggal di Brook Street beserta istri dan keluarganya yang terdiri dari dua anak laki-laki dan empat anak perempuan. Sir Richard Wyndham, yang berkendara ke rumah calon ayah mertuanya 24 jam selepas berdialog dengan orangtuanya sendiri, beruntung karena mendapati Saar sedang tidak di rumah, sedangkan Lady Saar, sang kepala pelayan memberitahunya, sedang ke Bath bersama Sophia. Alhasil, jatuhlah dia ke pelukan Cedric Brandon, seorang pemuda badung berkebiasaan memprihatinkan dan bertabiat tak tahu malu.
“Ricky, temanku satu-satunya!” seru Cedric sambil menyeret Sir Richard ke dalam ruang tamu kecil di bagian belakang rumah. “Jangan katakan kau ke sini untuk meminang Melissa! Konon katanya, kabar baik takkan menewaskan orang, tapi aku tidak pernah mendengarkan gosip! Kata ayahku, kami sudah terancam bangkrut. Pinjami aku uang, Kawan, supaya aku bisa membeli penempatan militer dan kabur ke Semenanjung Iberia sekalian, peduli setan dengan semuanya! Tapi, dengarkan aku, Ricky! Apakah kau mendengarkan?” Pemuda itu memandang Sir Richard dengan was-was, kelihatan puas, dan berkata sambil menggoyang-goyangkan jari dengan khidmat, “Jangan lakukan! Harta sebesar apa pun takkan cukup untuk membereskan masalah kecil kami, percayalah kepadaku! Jangan mau berurusan dengan Beverley! Konon katanya, Fox menghabiskan warisannya di meja judi sebelum menginjak usia 21 tahun, tapi aku bersumpah dia tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Bev, sama sekali tidak ada apa-apanya. Antara kita berdua saja, Ricky, Ayah sudah kecanduan brendi. Ssst! Jangan beri tahu siapa-siapa! Tidak boleh bercerita macam-macam tentang ayahku! Tapi, lari sana, Ricky! Itu saranku untukmu: larilah!”
“Akankah kau masuk ke ketentaraan, jika aku memberimu uang untuk membeli penempatan?” tanya Sir Richard.
“Jika sedang sadar, ya; jika sedang mabuk, tidak!” jawab Cedric sambil mengumbar senyum nan memesona. “Aku sekarang sadar sekali, tapi takkan lama lagi. Jangan beri aku uang sepeser pun, Kawan! Jangan beri Bev uang sepeser pun! Dia orang jahat. Nah, sewaktu sadar aku ini pria baik—tapi biar kuperingatkan kau aku hanya sadar maksimal enam jam dalam kurun 24 jam! Aku pamit dulu sekarang. Aku memperingatkanmu karena aku suka padamu, Ricky, tapi jika kau ingin mencelakakan diri sendiri sekalipun sudah kuwanti-wanti, aku akan cuci tangan. Salah, bukan itu—aku akan memorotimu sampai akhir hayatku! Pikirkan baik-baik, Kawan, pikir! Bev dan hambamu yang patuh ini niscaya bertamu ke rumahmu enam hari dalam sepekan! Bayangkan: tukang tagih utang, banjir ancaman, saudara-saudara istrimu dipenjara, mesti menggadaikan barang-barang, tangis istri berderai-derai—tidak bisa berbuat apa-apa selain membayar! Jangan lakukan! Faktanya, kami tidak layak dirangkul!”
“Tunggu!” kata Sir Richard sambil mengadang Cedric. “Jika aku melunasi utang-utangmu, akankah kau pergi ke Semenanjung?”
“Ricky, ternyata kau yang sedang mabuk. Pulang sana!”
“Bayangkan betapa memukau penampilanmu dalam balutan seragam Hussar, Cedric!”
Senyum jail menari-nari di mata Cedric. “Tentu saja! Tapi pada saat ini, aku akan tampak lebih memukau di Hyde Park. Minggir, Kawan! Aku punya janji sangat penting. Aku bertaruh untuk kemenangan seekor angsa betina dalam balapan seratus yard melawan kalkun betina. Tidak mungkin kalah! Ajang olahraga terhebat musim ini!”
Pergilah dia sambil menyampaikan kata-kata itu, meninggalkan Sir Richard yang, alih-alih kabur sebagaimana yang disarankan, justru menantikan kesempatan emas untuk berjumpa Melissa Brandon.
Sir Richard tidak perlu lama menunggu. Seorang pelayan datang untuk memintanya ke lantai atas dan dia pun mengikuti lelaki itu menaiki tangga lebar untuk menuju ruang rekreasi lantai dua.
Melissa Brandon adalah wanita muda rupawan berambut gelap berumur 25 tahun lebih sedikit. Profilnya dianggap tidak bercela, tetapi dilihat dari depan, wajahnya terkesan galak. Pada musim pertamanya di tengah-tengah masyarakat, Melissa sejatinya tak kekurangan penggemar, tetapi di antara pria-pria yang tertarik pada kejelitaannya, tak satu pun—meminjam istilah ala adu ayam kegemaran kakak lelakinya yang tak beradat—memiliki taji. Selagi menundukkan kepala ke atas tangan gadis itu untuk memberi salam, Sir Richard teringat akan perumpamaan gunung es yang dilontarkan George dan serta-merta mengenyahkan simile itu dari benaknya yang patuh.
“Ada apa, Richard?”
Suara Melissa kalem, cenderung lugas, selaras dengan senyumnya yang terkesan basa-basi alih-alih merupakan ungkapan spontan rasa senang.
“Kuharap kau baik-baik saja, Melissa?” kata Sir Richard dengan formal.
“Sehat walafiat, terima kasih. Silakan duduk. Aku duga kau datang kemari untuk membahas perihal pernikahan kita.”
Sir Richard mengamati gadis itu sambil mengangkat alis. “Ya ampun,” katanya tenang. “Rupanya ada yang sedang sibuk.”
Melissa tengah mengerjakan jahitan dan terus saja menggerak-gerakkan jarum dengan mantap. “Tidak usah bertele-tele,” katanya. “Aku sudah terlampau tua untuk malu-malu kucing, sedangkan kau, aku yakin, dapat digolongkan sebagai pria bijak.”
“Pernahkah kau malu-malu kucing?” tanya Sir Richard.
“Seingatku tidak. Aku tak sabar berpura-pura dengan konyol seperti itu. Aku juga tidak romantis. Dalam hal itu, kita layak dianggap serasi.”
“Masa?” kata Sir Richard sambil mengayunkan monokelnya yang bergagang emas bolak-balik.
Melissa kelihatan geli. “Tentu. Pada masa setelat ini, aku yakin kau tidak lantas menjadi sentimental. Alangkah absurdnya jika demikian.”
“Perasaan sentimental,” komentar Sir Richard syahdu, “konon merupakan salah satu gejala pikun. Setidak-tidaknya, demikianlah yang aku dengar.”
“Kita tidak perlu menekuri itu. Aku sangat menyukaimu, Richard, tapi ada yang kurang lurus dalam sifatmu sehingga kau selalu saja mengubah segalanya menjadi kelakar. Aku sendiri bersifat lebih serius.”
“Jika demikian, dalam hal itu kita tidak layak dianggap serasi,” tukas Sir Richard.
“Menurutku rintangan itu tidak mustahil diatasi. Biar bagaimanapun, kehidupan yang kau pilih untuk jalani sampai saat ini tidak kondusif untuk perenungan serius. Namun begitu, aku berani mengatakan kau mungkin akan lebih dapat diandalkan seiring berjalannya waktu, sebab kau tidak bodoh. Tapi, benar tidaknya itu mesti kita lihat nanti pada masa mendatang. Singkat kata, secara realistis menurutku perbedaan sifat kita bukanlah penghalang dalam membina rumah tangga.”
“Melissa,” kata Sir Richard, “bisa tolong jawab pertanyaanku?”
Gadis itu mendongak. “Wah, pertanyaan apa yang kau ingin agar kujawab?”
“Pernahkah kau jatuh cinta?” tanya Sir Richard.
Melissa merona. “Tidak. Berdasarkan pengamatanku, aku justru bersyukur karenanya. Orang-orang yang dilanda emosi menggebu kerap terkesan amat vulgar. Aku tidak mengatakan itu salah, tapi aku yakin diriku lebih berdisiplin daripada kebanyakan orang dan aku beranggapan topik semacam itu sangat tidak mengenakkan.”
“Kau tidak pernah membayangkan,” kata Sir Richard berpanjang-panjang, “siapa tahu dirimu jatuh cinta suatu hari kelak?”
“Richard yang Budiman! Kepada siapa kiranya?”
“Kepadaku, misalkan saja?”
Melissa tertawa. “Jangan konyol! Jika kau diberi tahu aku perlu didekati dengan rayuan gombal, penasihatmu keliru. Kalaupun kita menikah, motifnya adalah demi keuntungan bersama. Aku tidak bisa membayangkan sebab-sebab lain. Aku sangat menyukaimu, tapi kau sama sekali bukan tipe pria yang mampu menghangatkan hatiku. Akan tetapi, aku berpandangan itu tak semestinya membuat kita khawatir. Jika kau berjiwa romantis, maka lain perkara.”
“Aku takut,” kata Sir Richard, “jangan-jangan aku ini berjiwa sangat romantis.”
“Kutebak kau bercanda lagi,” timpal Melissa acuh tak acuh.
“Sama sekali tidak. Saking romantisnya, aku memimpikan seorang wanita—khayalan, tak diragukan lagi—yang bersedia menikahiku bukan karena aku pria kaya, melainkan karena—aku harus minta maaf atas kevulgaranku—karena dia mencintaiku.”
Melissa tampak agak muak. “Kukira kau sudah bukan anak kemarin sore, Richard. Aku tidak menentang asmara, tapi sejujurnya, menurutku menikah karena cinta tidak selevel dengan kita. Bisa-bisa orang mengatakan kau kelewat sering bergaul dengan kaum borjuis di Islington Spa, atau tempat rendahan sebangsanya. Aku tidak lupa aku adalah seorang Brandon. Barangkali kami ini tinggi hati; malahan, aku harap harga diri kami memang tinggi!”
“Perkara harga diri yang tinggi,” kata Sir Richard masam, “bahkan tidak terpikirkan olehku.”
Melissa tercengang. “Tidak terpikirkan! Kusangka semua orang tahu perasaan kami keluarga Brandon mengenai nama kami, garis keturunan kami, tradisi kami!”
“Aku enggan melukai perasaanmu, Melissa,” kata Sir Richard, “tapi bilamana dunia menyaksikan tontonan seperti yang kulihat, yaitu seorang wanita yang memiliki nama keluarga, garis keturunan, dan tradisi semulia dirimu menjajakan diri dengan dingin kepada penawar tertinggi, orang-orang niscaya berkesimpulan harga dirinya murah.”
“Bahasa rendahan apa pula itu? ‘Tontonan’, ‘menjajakan diri’!” seru Melissa. “Kewajibanku kepada keluarga mengharuskanku untuk menikahi pasangan berpunya, tapi biar kuyakinkan kau, kewajiban itu sekalipun tidak bisa memaksaku untuk merendahkan diri dengan mengawini pria bergaris keturunan inferior.”
“Ah, rupanya itu harga diri tinggi yang kau maksud!” kata Sir Richard sambil tersenyum tipis.
“Aku tidak memahamimu. Kau tentu tahu keterlibatan ayahku dalam …. Singkat kata—”
“Aku maklum,” kata Sir Richard lembut. “Kuperkirakan aku juga memperoleh … ah, hak istimewa untuk membebaskan Lord Saar dari persoalan yang membelit beliau.”
“Tentu saja!” timpal Melissa, sikapnya yang setenang patung terbuyarkan karena terkejut. “Itulah pertimbangan utamaku sehingga bersedia menerima pinanganmu!”
“Harap maklum,” kata Sir Richard sambil memandangi kaki sepatu botnya dengan khidmat, “tapi sepertinya telah terjadi kesalahpahaman. Meneladani kejujuranmu barusan, Melissa yang Budiman, aku mesti menyoroti aku belum … ah, menyampaikan pinangan.”
Melissa tampak tidak terusik oleh teguran ini, tetapi menimpali dengan dingin, “Aku tidak pernah menyangka kau akan lupa diri sampai-sampai mengabaikan posisi kita dan mendekatiku untuk mengajukan pinangan langsung. Itu tidak sesuai dengan tata krama di dunia kita. Tidak diragukan lagi, kau bermaksud meminta restu dari ayahku.”
“Masa?” kata Sir Richard.
“Aku yakin begitu,” sang wanita menanggapi sambil menggunting benang jahit. “Kita sudah sama-sama mengetahui kondisi satu sama lain. Jika boleh aku terang-terangan, kau beruntung bisa meminang seorang Brandon.”
Sir Richard memandangi Melissa dengan ekspresi serius, tetapi tidak berkomentar apa-apa. Setelah hening sejenak, Melissa melanjutkan, “Mengenai masa depan, aku percaya kita takkan banyak saling menuntut. Kau memiliki kegemaran sendiri, yang tidak tersangkut paut denganku. Sekalipun aku mencela kegandrunganmu bertinju, balap kereta, dan berjudi—”
“Bermain kartu,” potong Sir Richard.
“Baiklah, bermain kartu—semuanya sama saja. Sekalipun aku mencela tindakan-tindakan bodoh macam itu, aku tidak berhasrat menghalang-halangi kesukaanmu.”
“Kau sungguh besar hati,” kata Sir Richard sambil membungkuk. “Jika boleh aku terang-terangan, Melissa, aku bebas berbuat sesukaku asalkan aku menyerahkan dompet kepadamu?”
“Terang-terangan benar perkataanmu,” timpal wanita itu dengan kalem. Melissa melipat jahitan dan mengesampingkannya. “Papa sudah menantikan kedatanganmu. Beliau niscaya menyesalkan kau bertamu selagi beliau tidak di rumah. Beliau pasti sudah kembali ke rumah besok dan kau bisa menjumpainya, jika kau sudi bertandang pada—katakanlah, pukul sebelas?”
Sir Richard bangun. “Terima kasih, Melissa. Aku merasa waktuku tidak tersia-sia, kendati Lord Saar tidak hadir untuk menyambut kedatanganku.”
“Syukurlah bila demikian,” kata Melissa sambil mengulurkan tangan. “Mari! Perbincangan kita barusan aku rasa bermanfaat. Bisa kutebak kau menganggapku tak berperasaan, tapi kau kiranya sudi mengakui aku tidak merendahkan martabatku dengan berpura-pura. Aku enggan memperbincangkan pernikahan secara empat mata denganmu karena sepertinya kurang patut, tapi aku menepiskan keengganan karena, biar bagaimanapun, kita praktis sudah dijodohkan selama lima tahun terakhir ini, atau bahkan lebih.”
Sir Richard menggamit tangan Melissa. “Pernahkah kau menganggap dirimu bertunangan denganku selama lima tahun belakangan ini?”
Untuk kali pertama sepanjang dialog mereka, Melissa urung menatap mata pria tersebut. “Tentu saja pernah,” jawabnya.
“Begitu rupanya,” Sir Richard berkata, kemudian mohon pamit.
Dia sengaja datang terlambat ke Almack’s malam itu. Tak seorang pun, yang mengagumi penampilan Sir Richard nan necis, atau mendengar tutur katanya yang malas, dapat menduga pria itu telah di ambang keputusan paling menentukan seumur hidupnya. Hanya sang paman, yang melenggang masuk ke klub lewat tengah malam, yang menerka bola telah bergulir. Mr. Wyndham lantas memberi tahu George Trevor, yang dia dapati baru saja bangkit dari balik meja kartu, bahwa Ricky sedang terpukul. Pernyataan tersebut meresahkan George, yang sontak berkata, “Aku belum bertukar sapa dengannya. Apa Anda bermaksud memberitahuku dia betul-betul sudah melamar Melissa Brandon?”
“Aku tidak bermaksud memberitahumu apa-apa,” kata Lucius. “Aku hanya mengatakan dia banyak minum dan kalah telak.”
Begitu mendapat kesempatan, George yang telah dilanda kekhawatiran menjadi-jadi langsung menarik perhatian adik iparnya. Kesempatan pertama itu baru datang menjelang pukul tiga pagi, ketika Sir Richard akhirnya bangun dari balik meja kartu dan sedang tidak ingin menjalin perbincangan pribadi. Dia sudah kalah banyak dan minum brendi banyak-banyak, tetapi bukan itu yang menyusahkan hatinya.
“Tidak beruntung, Ricky?” sang paman bertanya kepadanya.
Lirikan yang agak linglung tetapi tajam seakan mengolok-olok Mr. Wyndham. “Bukan dalam permainan kartu, Paman Lucius. Dalam hidup!”