Karena argumen apa pun gagal memengaruhi suasana hati Sir Richard yang mendadak sembrono, Miss Creed urung membujuk pria itu agar tidak menemaninya dalam perjalanan dan mengakui perlindungan dari Sir Richard justru patut diterima. “Bukan berarti saya takut pergi sendirian,” dia menjelaskan, “tapi sejujurnya, saya tidak terbiasa beraktivitas seorang diri.”
“Aku harap,” kata Sir Richard, “kau juga tidak terbiasa bepergian naik kendaraan umum.”
“Tentu saja tidak. Ini akan jadi petualangan baru bagi saya! Pernahkah Anda menumpang kereta ekonomi?”
“Tidak pernah. Kita akan naik kereta sewaan.”
“Kereta sewaan? Anda pasti gila!” pekik Miss Creed. “Saya tebak Anda dikenal di tiap penginapan di jalan Bath. Kita pasti ketahuan dalam sekejap. Asal Anda tahu, saya sudah memikirkan semuanya bahkan sebelum Anda memutuskan ikut dengan saya! Sepupu saya Frederick terlampau bodoh sehingga takkan bisa memikirkan apa-apa, tapi Bibi Almeria tidak. Tak diragukan lagi, Bibi bisa menebak saya kabur ke rumah saya sendiri dan kemudian, beliau akan mengikuti saya. Itulah salah satu alasan saya sehingga memutuskan naik kereta ekonomi. Bibi akan menanyakan saya di tiap pos di penginapan-penginapan sepanjang jalan, tapi takkan ada yang bisa memberi beliau kabar tentang saya, sebab kereta ekonomi tidak singgah di pos-pos tersebut. Lagi pula, bayangkan kericuhan yang akan terjadi andaikan kita ketahuan melintasi negeri bersama-sama naik kereta sewaan!”
“Dari segi norma kepatutan, apakah menurutmu pantas kita bepergian naik kereta ekonomi?” tanya Sir Richard.
“Ya, lebih pantas begitu. Malahan, saya tidak paham tak patutnya di sebelah mana, sebab mana mungkin saya mencegah Anda memesan tempat duduk di kendaraan umum, jika Anda menginginkan? Lagi pula, saya tidak punya uang mencukupi untuk menyewa kereta.”
“Kukira katamu kau dikutuk dengan harta berlimpah?”
“Ya, tapi mereka tidak mau memberi saya apa-apa selain sedikit uang saku sampai saya cukup umur, sedangkan saya sudah menghabiskan sebagian besar uang jatah bulan ini.”
“Aku akan menjadi kreditormu,” kata Sir Richard.
Miss Creed menggeleng kuat-kuat. “Jangan, tidak boleh! Kita tidak boleh berutang uang kepada orang asing. Saya akan membayar segalanya sendiri. Tentu saja, jika Anda bersikeras pantang naik kereta ekonomi, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Kecuali—” Dia terdiam tiba-tiba seakan sebuah ide baru saja terbetik di benaknya, lalu berkata dengan mata berbinar-binar, “Saya punya gagasan gemilang! Anda dikenal mahir mengendalikan kuda, bukan?”
“Sepengetahuanku aku memang dianggap mahir,” timpal Sir Richard.
“Nah, bagaimana jika Anda sendiri yang menjadi sais? Kemudian, saya bisa menumpang di belakang dan berpura-pura menjadi anak buah Anda sambil membawa-bawa kaleng dan berlagak sebagai kondektur—”
“Tidak!” kata Sir Richard.
Miss Creed kelihatan kecewa. “Sepertinya asyik jika bisa begitu. Tapi, Anda barangkali benar.”
“Aku memang benar,” kata Sir Richard. “Semakin kupikir, semakin aku setuju mending naik kereta ekonomi. Pukul berapa kereta itu meninggalkan kota katamu tadi?”
“Pukul sembilan, dari White Horse Inn, di Fetter Lane. Hanya saja, kita harus sudah di sana jauh sebelum itu, supaya tidak tepergok oleh pelayan-pelayan Anda. Sekarang jam berapa?”
Sir Richard mengecek jam sakunya. “Hampir jam lima,” dia menjawab.
“Kalau begitu, kita tidak boleh membuang-buang waktu,” kata Miss Creed. “Sejam lagi para pelayan Anda niscaya sudah terbangun. Tapi, Anda sebaiknya tidak bepergian dengan pakaian itu, bukan?”
“Betul,” kata Sir Richard, “dan aku juga tidak sudi bepergian dengan dasimu atau buntalan butut itu. Nah, sekarang setelah aku melihatmu lebih saksama, aku tersadar tidak pernah melihat potongan rambut sejelek itu.”
“Maksud Anda yang belakang, saya duga,” kata Miss Creed, tidak berang akan vonis barusan. “Untung rambut saya yang depan sudah pendek sejak dulu. Saya harus memotong yang sebelah belakang sendiri, padahal tidak kelihatan.”
“Tunggu di sini!” Sir Richard memerintahkan dan lantas meninggalkan ruangan.
Sekembalinya ke sana lebih dari setengah jam kemudian, pria itu telah menanggalkan busana malam dan menggantinya dengan celana kulit selutut, sepatu bot tinggi, dan jas biru dari wol Superfine. Miss Creed menyapanya dengan lega. “Saya mulai takut kalau-kalau Anda melupakan saya atau jatuh tertidur!” dia memberi tahu Sir Richard.
“Tentu tidak!” kata Sir Richard sambil meletakkan tas kecil dan koper besar di lantai. “Mabuk ataupun sadar, aku tidak pernah melupakan kewajibanku. Berdirilah; mari kita lihat apa yang dapat kuperbuat untuk menjadikan penampilanmu lebih layak.”
Dia menyampirkan dasi seputih salju di satu lengan dan memegang gunting di tangan. Sedikit permak nan jitu ternyata ampuh memperbaiki tampilan kepala Miss Creed dan, pada saat rambutnya telah disisir tanpa ampun untuk memaksa—alih-alih merombak—ikal-ikalnya agar membentuk gaya yang lebih maskulin, gadis itu mulai tampak lumayan rapi, sekalipun matanya berkaca-kaca. Dasinya yang kusut telah dikesampingkan dan di lehernya kini terpasang dasi milik Sir Richard. Saking penasarannya ingin melihat pria itu menyimpulkan dasi, Miss Creed berjinjit untuk melihat dirinya di cermin yang digantung di atas rak perapian dan alhasil, mendapat hadiah berupa jeweran di kuping.
“Bisa diam, tidak?” kata Sir Richard.
Miss Creed bereaksi dengan mendengus dan menggerutu.
Namun demikian, ketika Sir Richard melepaskannya dan Miss Creed bisa melihat sendiri buah karya pria itu, dia senang sekali sampai-sampai melupakan cederanya dan sontak berseru, “Oh, alangkah bagusnya penampilan saya! Apakah ini Waterfall Wyndham?”
“Jelas bukan!” jawab Sir Richard. “Waterfall Wyndham tidak cocok untuk bocah sekolahan kerdil, biar kuberi tahu kau.”
“Saya bukan bocah sekolahan kerdil!”
“Kau mirip seperti itu. Sekarang, pindahkan barang-barangmu dari buntalan ke tas itu dan kemudian kita akan berangkat.”
“Anda pikir saya mau ikut dengan Anda?” tanya Miss Creed sambil melotot.
“Sudah pasti. Kau adik sepupuku, sedangkan tujuan hidup kita adalah mencari petualangan. Tadi katamu siapa namamu?”
“Penelope Creed. Sebagian besar orang memanggil saya Pen, tapi saya sekarang harus menggunakan nama laki-laki.” “Pen saja sudah pas sekali. Jika situasi mengharuskan, kau boleh mengatakan namamu dieja dengan dua N. Kau dinamai dari si lelaki Quaker3 itu.”
“Oh, ide yang sangat bagus! Saya harus memanggil Anda dengan nama apa?”
“Richard.”
“Richard siapa?’
“Smith. Jones. Brown.”
Sang gadis belia sedang sibuk memindahkan barang-barangnya dari hamparan selendang bermotif amuba ke dalam tas. “Nama-nama itu tidak cocok untuk Anda. Harus saya apakan selendang ini?”
“Tinggalkan saja,” timpal Sir Richard seraya memungut beberapa helai rambut keemasan dari karpet, kemudian membuangnya ke belakang perapian. “Tahukah kau, Pen Creed, aku menganggap kemunculanmu dalam hidupku sebagai karunia Tuhan?”
Miss Creed mendongak penuh tanya. “Masa?” katanya ragu.
“Jika bukan itu, berarti musibah,” kata Sir Richard. “Aku akan tahu mana yang benar sewaktu aku sadar nanti. Tapi, sejujurnya aku tidak peduli barang sedikit pun! En avant, mon cousin!”
Sudah lewat tengah hari ketika Lady Trevor, didampingi oleh sang suami yang enggan, bertandang ke rumah adiknya di St. James’s Square. Wanita itu dipersilakan masuk oleh porter, yang kentara sekali baru mendengar berita besar, dikabarkan kepadanya oleh sang kepala pelayan. “Beri tahu Sir Richard aku di sini,” Lady Trevor memerintahkan sembari melangkah memasuki ruang tamu kuning..
“Sir Richard tidak ada di rumah, Nyonya,” kata sang kepala pelayan dengan nada misterius.
Louisa, yang telah memerah informasi teperinci tentang kegiatan Sir Richard semalam di Almack’s dari suaminya, justru mendengus. “Sampaikan kepada dia kakaknya ingin bertemu,” kata wanita itu.
“Sir Richard tidak berada di dalam bangunan ini, Nyonya,” kata sang kepala pelayan, bersiap-siap untuk menyambut titik klimaks.
“Sir Richard telah melatihmu dengan baik,” kata Louisa kecut. “Tapi, aku tidak bisa ditampik dengan cara seperti ini! Sana, beri tahu dia aku ingin menemuinya!”
“Sir Richard tidak tidur di ranjangnya semalam, Nyonya!” sang kepala pelayan mengumumkan.