BAB KUNCUP
Senin pagi di tengah kota Jakarta, udara masih dingin dan sejuk. Meski begitu keringat sudah mulai muncul di bagian tubuhnya yang mungil, jam tangan yang menempel manis dipergelangan tangan Rani menunjukkan pukul lima lebih lima belas menit. Rani yang baru selesai lari pagi tidak langsung masuk dalam rumah, Rani menyalakan air di halaman rumahnya dan menyempatkan diri menyiram tanamannya. Barisan bunga matahari dan bunga lavender berjajar bagai pagar tanaman, tinggi bunga matahari hampir sama dengan pagar besi Rumah Rani yang memang didesain tidak terlalu tinggi, sedangkan dibagian bawah, semburat ungu dari Lavender terlihat cantik. Kombinasi warna kuning dan ungu ini secara tidak langsung bisa menjadi penanda rumah Rani di kompleks perumahan yang ia tinggali.
Begitu masuk kedalam rumah, Rani sudah melihat Ibunya sibuk didapur. Karena Rani lebih suka membantu membersihkan rumah dan lebih membiarkan area dapur tetap menjadi territorial Ibuny. Rani memilih mengambil sapu dan mulai membersihkan rumah. Selesai mengerjakan bagiannya, dia menuju dapur untuk membuat susu coklat kesukaannya dan bergegas mandi. Terdengar suara ayahnya yang sudah berada di meja makan sedang mengobrol dengan Ibunya, Rani bisa mendengar Ayahnya berencana berangkat agak pagi untuk menemani cucu-cucunya dan menutup tokonya untuk hari ini, terdengar juga suara Ibunya yang menyetujui saran dari suaminya. Rani mempercepat mandinya, dia sendiri juga harus berangkat lebih pagi hari ini.
Rani menyisir rambutnya lebih cepat, mengikatnya model ekor kuda, merapikan riasannya dan memastikan keperluannya tidak ada yang tertinggal hari ini, setelah itu barulah Rani sarapan. Masih ada Ayah disana sedangkan Ibu sepertinya sedang mandi. “Ran, semalem Kakakmu telfon, katanya istrinya sakit. Jadi pagi ini Ayah sama Ibu mau langsung kesana, biar nanti ada yang jemput Eka sama Dwi dari sekolah. ”Ucap Ayahnya sambil menyeduh kopi panasnya.
“Sakit apa? Udah ke dokter?” Rani balik bertanya santai sambil menyeruput tehnya, dia mengambil sedikir nasi untuk sarapannya pagi ini, dia tidak terbiasa terlalu kenyang di pagi hari.
“Belum periksa, katanya kakakmu nggak enak badan gitu aja. Jadi nanti bisa bantu nganter ke dokter juga. Sekalian nunggu keponakanmu pulang sekolah,” Jawab ayahnya sambil memulai sarapannya. “Mungkin Ayah sama ibu juga nginep disana.” Ayahnya menambahkan, Rani mengangguk paham dan melanjutkan sarapannya.
“Nanti kabarin ya, hasil dari pemeriksaan dokter gimana? Kalo ada yang bisa aku bantu ya bilang aja… seandainya si kembar harus tidur sini dulu juga nggak papa.” Ujar Rani begitu menyelesaikan sarapannya. Dia bergegas mencuci piring dan mengambil tasnya dikamar.
Rani bersyukur masih memiliki kedua orang tua yang masih lengkap. Kedua orang tuanya adalah pensiunan PNS yang menghabiskan masa tuanya dengan berjualan bahan makanan pokok disebuah Ruko, meskipun sudah lanjut usia keduanya masih sehat dan mereka berdua bahagia. Itu merupakan harta tak ternilai baginya, sekalipun dia harus mengakui tidak ada yang sempurna di dunia ini, setiap kehidupan pasti mengandung ujian atau cobaan, seperti yang dialami dalam rumah tangga kakaknya yang mengalami perceraian. Masalah yang terjadi pada saat itu istri dari Kakaknya lebih mementingkan karir dan kenaikan jabatannya dari pada mengurus kedua anaknnya. Kakaknya yang bernama Taro sudah menawarkan jasa pengasuh anak namun istrinya berkeras untuk cerai, sepertinya memang terjadi banyak perbedaan pendapat yang tidak diketahui oleh banyak pihak, hingga tidak bisa menemukan titik temu. Meski akhirnya harus bercerai keduanya sepakat untuk mengasuh anak bersama. Mereka sepakat bahwa bertumbuhan dan perkembangan anak adalah prioritas. Dua tahun setelah mereka bercerai Taro menikah lagi dengan teman sekolah SMA nya dulu. Sejak Taro menikah lagi , si kembar jadi lebih sering bersama dengan Ayahnya. Beruntunganya, Nissa istri kedua Kakaknya bersedia turut merawat, mendidik dan sangat menyayangi mereka. Begitupun Eka dan Dwi bisa sangat mudah menerima kehadiran Nissa.
Jam dinding menunjukkan pukul enam lebih tiga puluh menit, Rani harus segera berangkat mengingat padatnya jalanan di jakarta yang nyaris tidak pernah lenggang kecuali pada saat Hari Raya atau cuti bersama. Usai berpamitan dengan kedua orang tuanya Rani bergegas berangkat, melaju mengendarai mobilnya. Melewati komplek perumahannya yang masih sepi. Udara terasa dingin menghempas wajah Rani yang kuning langsat dan hanya dipolesi riasan minimalis, terlihat sedikit pucat dipagi yang dingin ini. Rani sengaja membuka kaca mobil dan tidak menyalakan AC, hingga udara pagi masih bisa dia rasakan masuk dalam mobil.
Rani sampai di rumah sakit lebih awal dari perkiraannya, dia bekerja di sebuah rumah sakit swasta di pinggir kota Jakarta. Rani bergegas masuk ruangannya, melepaskan jaketnnya dan menggantinya dengan jas putih kebanggaannya. Rani mengamati tubunya dicermin sudut ruangan, sambil memperbaiki ikat rambutnya dia tersenyum untuk dirinya sendiri. Sebuah pencapaian yang pantut dia banggakan, tertulis didadanya ‘dr. Maharani Megami, Sp.KJ’. Rani melipat jaketnnya dan memasukkan ke dalam lemari. Ketika dia baru saja duduk di kursinya, tepat setelah itu pintu ruangannya dibuka. Rani menoleh melihat siapa yang datang. “Nana. Ada apa Naa?” Tanya Rani begitu melihat siapa yang masuk. “Mbak Rani udah visit ke pasiennya belum?” Tanya Nana balik, ”Belum Na… ini baru mau jalan.”
“Mbak tolong bicara sama Pak Ilyas ya… pasiennya mbak Rani yang sukanya konser di halaman belakang itu, dia udah dua hari ini nggak mau makan mbak, jangan sampai nanti dia kena Anoreksia juga.” Nana menjelaskan kondisi salah satu pasien Rani, terlihat agak khawatir di wajahnya.
“Ok, aku segera kesana… ini udah jam sarapan kan ya, sini biar aku aja yang bawain sarapannya.” Ujar Rani yang beranjak berdiri, dia keluar ruangan bersama Nana, setelah Nana menitipkan jatah sarapan untuk Pak Ilyas, Rani menemui sendiri pasiennya.
Begitu sampai diruangan yang dituju, perawat ruangan memberi tahu kalo Pak Ilyas sudah menggelar konser di taman belakang. Rani segera kesana dengan beberapa perawat yang lain. Dan jelas saja pak ilyas sudah berdiri dibangku taman sambil memegang buah pisang ditangannya, layaknya memegang mikrofon dan dia bernyanyi sendiri disana. “Pak Ilyas…Pak Ilyas…” panggil Rani setengah berteriak, dia menghampiri pak Ilyas namun tetap dengan menjaga jarak.
“Pak ayo turun dulu pak… ini aku bawa makanan enak, Pak kalo mau menyanyikan butuh banyak energi, kalo nggak makan nanti suaranya jadi kedengeran.” Ucap Rani setengah berteriak, namun dengan intonasi yang pelan-pelan agar tiap kalimatnya terdengar jelas oleh pasiennya.
“Waktunya konser itu nggak boleh makan, nanti saya diteriakin sama penonton.” Jawab Pak Ilyas dengan lebih lantang.
“Konserkan juga ada jam istirahatnya, ayo istirahat dulu,” Bujuk Rani tidak putus asa, dia masih berusaha meyakinkan pasiennya untuk makan, jika pasiennya tidak mendapat asupan makan, efek dari obat yang dikonsumsi juga tidak akan bekerja secara efektif.
“Pak nanti kalo nggak makan, lama-lama suaranya abis lho… terus gimana bisa nyanyi kalo nggak ada suaranya.” Bujuk Rani lagi, kali ini Pak Ilyas terlihat melihat kearah Rani pandangannya sangat tajam. “Jangan bilang suara saya nggak enak ya… suara saya ini suara emas, yang mau dengerin saya ini sampai antri.” Ucap pak ilyas lantang.