BAB LEMBAH DI TENGAH GURUN
Meskipun badai sakit hati melanda, tapi hidup tetep harus berjalan. Agaknya seperti itu perubahan yang harus dihadapi Rani. Dia mulai menyibukkan dirinya dengan banyak hal, membeli beberapa benih tanaman kesukaannya dan mulai membuat tanaman hidroponik di belakang rumahnya yang minimalis. Memberikan durasi lebih lama untuk berolah raga, sampai menawarkan bantuan di IGD pada beberapa waktu senggangnya. Gianna tentu saja membantu dengan senang hati. Memberikan daftar bisnis atau jualan yang bisa dimulai dari rumah, dari mulai berjualan beberapa barang dengan sosial media ataupun marketplace. Menulis blog tentang kesehatan mental atau bisa tentang apapun yang disukai Rani. Sejujurnya saran dari Gie sangat membantu dan Rani memilih untuk menjadi penulis blog.
Boleh dibilang dia tidak cukup bernyali untuk memulai jualan seperti Gianna. Mencoba jadi reseller tidak terlalu menggiurkan, kalau bikin produk sendiri, Rani masih enggan menyisahkan banyak waktu dan tenaganya setelah pulang dari Rumah sakit. Apalagi jika harus mencoba bisnis makanan. Kemampuan memasak Rani terbilang standar, bisa bikin nasi goreng aja dia udah bangga. Pernah suatu hari bikin cake dan hasilnya bantat, pernah nyoba bikin frozen food, sebenarnya jadi, tapi karena bahan yang dia gunakan terlalau premium, Rani jadi tidak tega membandrol dengan harga yang mahal. Itu juga termasuk kelemahannya.
Malam hari yang terasa sangat sunyi dimana Rani kesusahan untuk tidur mulai bisa dia kondisikan dengan menulis blog. Rani memulai dengan membagikan review film-film kesukaannya, dia juga membuat beberapa daftar genre film yang akan direviewnya, mulai dari genre western, romantic comedi, thriller dan action yang pernah dia lihat. Beberapa film yang sudah agak lama rilis, dan beberapa film yang baru saja rillis. Aktivitas barunya sangat membantu mengalihkan perhatiannya meskipun jam tidurnya masih berkurang tapi tidak terlalu menjadi masalah melihat produktifitasnya yang juga semakin bertambah.
Rani hanya berhasil tidur tiga jam hari ini. semalam dia menyelesaikan satu Review filmnya dan sudah berhasil dipost. Kepalanya terasa sedikit pening di pagi hari, tapi dia mengabaikannya, begitu mendapat pesan dari kepala security di rumah sakit kalo salah satu pasiennya ada yang menghilang. Setelah dia membaca pesan tersebut Rani segera turun dari tempat tidurnya, dia mempersiapkan diri berangkat kerja lebih pagi dari pada biasanya. Bahkan tanpa sarapan, menyisir rambutnyapun di dalam mobil, dia melajukan mobil lebih cepat agar bisa segera sampai di rumah sakit. Kalo sampai berita ini menyebar ke atasannya atau bahkan sampai ke media bisa tambah kacau hidupnya.
Sesampainya di Rumah sakit Rani segera bertemu dengan pihak security. Mereka sudah menunjukkan hasil CCTV di bagian luar gedung, bahwa Pasien yang bersangkutan kemungkinan masih berada di dalam gedung karena tidak ada jejak yang terekan dalam kamera bahwa pasien keluar gedung. Namun sayangnya tidak semua sudut di Rumah sakit yang diawasi dengan CCTV. Rani menghela nafas, sedikit lega. Paling tidak sekala pencariannya hanya di dalam gedung. Beberapa orang sudah mulai berpencar mencari tanpa harus mengganggu kenyamanan pasien yang lain. Rani menyempatkan diri meneguk susu coklat hangat sebelum membantu mencari, dia mengambil nafas beberapa kali menenangkan pikirannya sendiri, memijit sedikit pelipis kepalanya. Betul-betul sebuah kejutan dipagi hari yang ampuh bikin senam jantung.
“Seorang pasien dengan trauma berat pasca melahirkan dengan diagnosa bipolar disorder.” Ucap seorang kepala perawat yang ikut mencari, memastikan pada Rani tentang status pasien yang mendadak menghilang dari kamarnya. Rani menganggu singkat. “Persalinannya gagal dan bayinya meninggal pada saat itu juga. Ibu itu masih dalam kondisi trauma dan depresi yang sangat berat, kemaren bahkan dia seharian cuma nangis aja, dua hari sebelumnya bahkan mencoba bunuh diri. Bisa tolong cari di ruang anak tapi tanpa mengganggu pasien-pasien disana ya. Aku mau ke atap gedung dulu sapa tau dia di sana.” Rani kembali menjelaskan kepada salah seorang kepala perawat yang membantunya. Dia sendiri bergegas menuju rooftop Rumah sakit.
Rani tidak menemukan tanda-tanda ada orang lain dirinya di rooftop. dia menyempatkan berkeliling sebentar di area atap, namun tidak juga menunjukkan ada tanda-tanda ada pasien yang dicari di sekitar sini. Akhirnya dia memutuskan untuk turun, sesampainya di bawah beberapa perawat sudah menunggunya. Mereka memberikan kabar kalo pasien sudah ditemukan, “Dokter Rani, coba cek kedapur. Tadi ada laporan dari petugas di sana, kalo mereka menemukan pasien di sana.” Ujar salah seorang perawat yang menunggunya. “Alhamdulillah, baiklah aku coba kesana, kalian ikut ya.” Rani bergegas kedapur. Nana sudah menunggu disana, dia langsung menjelaskan begitu Rani datang. “Dia mengunci diri di lemari pendingin. Juru masakku yang melihatnya barusan, tapi ngga berani ngajak omong dia, takutnya ngamuk-ngamuk jadi nunggu mbak Rani sama perawat-perawat yang lain dateng.”
“Ok makasih kerjasamanya.“ Rani menyampaikan terima kasihnya pada orang-orang yang sudah membantunya dan bergegas menuju tempat yang dituju. Ditemani dua orang perawat pria dibelakangnya.
Salah seorang perawat membuka pintu lemari pendingin perlahan. Dari dalam terlihat seorang ibu dengan penampilan yang bisa dibilang berantakan, tubuhnya terlihat kurus, tatapannya penuh ketakutan. Dia mendekap bungkusan kantong keresek putih, mendekapnya sangat erat dengan tubuhnya yang begitu menekuk. Rani melihatnya dengan iba, dia memanggil perlahan “Ibu May, Ibu May…” Panggil Rani perlahan, sang Ibu mendongak, matanya terlihat sangat ketakutan, ada kesediahan yang terlihat disana. “Saya mau bersama anak saya saja.” ucapnya bergetar, seolah takut kalo dia akan di pisahkan dengan benda yang digendongnya.
“Oke… Ibu May Boleh bersama dengan anak ibu, tapi bisa tolong keluar… disitukan sempit banget.” Rayu Rani pelan, dia juga mencoba menenangkan. Dalam kondisi seperti ini tidak mungkin juga merebut benda yang sedang dipeluk oleh pasiennya, entah benda apa itu. Rani masih belum tau. “Disitukan sempiiit sekali… Ibu May nanti kesusahan kalo mau mengasuh bayi Ibu.” setelah beberapa kali meyakinkan, akhirnya pasien tersebut bersedia keluar dibantu dengan beberapa perawat yang sudah bersiap. Setelah keluar pasien perlahan beranjak berdiri. Perlahan Rani bisa melihat benda apa yang telah ditemukan pasiennya hingga dia memeluknya erat. Gumpalan daging. Gumpalan-gumpalan daging mentah yang masih belum dipotong, dia pasti melihat gumpalan-gumpalan itu seperti melihat anaknya yang telah meninggal. Rani merasa sangat kasihan dengan Ibu May. Dia tidak mengambil daging itu saat itu juga. Dia hanya berpesan pada petugas di dapur dan perawat yang membawa Ibu may ke kamarnya, jika nanti kondisinya sudah mulai tenang tolong dagingnya dikembalikan kedapur, untuk sementara ini dipinjam dulu.
Rani melirik jam tangannya dan berjalan menuju kantin, dia lapar sekali. Setelah memesan beberapa makanan dia mencari bangku kosong yang nyaman untuk diduduki. Rani duduk tepat disamping jendela, dia memperhatikan makanannya dan mencoba menikmatinya perlahan. Beberapa jam lalu rasanya segala kepedihan dalam diri Rani sedikit menguap, beberapa waktu saat dia harus fokus mencari pasiennya yang menghilang justru membuat dia sejenak melupakan rasa sakit dihatinya, dan saat ini dia mulai merasakannya lagi. Rani berusaha mengabaikan perasaannya, mengabaikan kekecewaannya pada hidup ini. Dia harus banyak-banyak bersyukur dan menerima kenyataan hidup ini. Bersyukurlah kamu dipisahkan dari cowok brengsek seprti dia, bersyukurlah karena kamu tidak perlu melalui hidup rumah tangga bersama seorang pembohong. Kenyataan memang kadang terasa sangat pahit, tapi jika memang itulah bagian yang harus dia terima, maka mau tidak mau kamu harus menelannya.
Tiga hari baru saja berlalu setelah dia mengakhiri hubungannya. Disudut ruang kerja yang tidak terlalu padat penghuninya, Rafa hanya duduk diam didepan layar monitornya. Sejak pagi dia sudah menyelesaikan laporan pajak perusahaannya, sekarang pikirannya disibukkan antara kenangan masa lalu dan keputusan yang baru saja dia ambil. Rafa kembali melihat sebuah kotak, di dalamnya terdapat barang-barang pemberian Rani dari mulai pertama mereka bertemu. Dari mulai CD film-film kesukaan mereka berdua, ada juga beberapa novel, jacket, topi dan beberapa pernak Pernik lainnya. Sebenarnya dia sudah berniat mengembalikan barang-barang tersebut, namun tertinggal dibawah meja kerjanya. Rafa menimbang apakah dia harus mengembalikan semua benda-benda ini, tapi sesungguhnya dia juga belum siap untuk bertemu dengan Rani lagi. Terakhir saat dia memutuskan hubungannya dengan Rani hati Rafa juga hancur, bahkan tidak banyak kalimat yang dapat dia sampaikan di depan orang yang selama delapan tahun selalu mensuportnya. Rafa membenamkan wajahnya, apakah keputusannya pada saat itu salah, namun Rafa tidak menampik bahwa dia telah mengkhianati kepercayaan gadis itu.
Lamunan Rafa berhenti ketika melihat ponselnya bergetar. Dia menutup kembali kotak tersebut dan melirik siapa yang mengirimnya pesan padanya, ibunya. Hanya berisi pesan singkat tapi cukup menganggu. ‘Rafa, ajak Rani makan malam dirumah ya… Mama udah lama nggak ketemu sama dia’. Rafa mengabaikan pesan Ibunya dan tidak membukanya, Rafa mencari kontak personal yang lain di ponselnya dan menuliskan dengan cepat dan singkat. ‘Ran, aku mau ketemu sebentar, aku kesana jam pulang kerja.’ Itu saja pesan Rafa pada Rani. Rafa meletakan kembali ponselnya, dia berencana menemui Rani begitu pekerjaannya selesai, mengembalikan barang-barang pemberian dari mantan kekasihnya. Dan setelah itu Rafa akan menjelaskan kepada kedua orang tuanya tentang Rachel. Apa yang telah dia mulai harus segera dia bereskan dan dia jelaskan.
Seharian Rani tidak memegang ponselnya. Hari ini dia menyibukkan diri di IGD, karena jam pelayannya dan pasiennya yang tidak terlalu banyak, dan sekaligus dalam rangka membunuh sakit hati, Rani mulai menyibukkan dirinya. Begitu waktu menunjukkan jam setengah lima sore, dia segera berganti pakaian dan kembali keruangannya. Rani melihat seorang pria menunggunya di depan ruangannya. Dia merasa pernah bertemu dengan orang itu, Rani segera teringat seorang yang terlihat sangat tampan dan sempurna beberapa waktu lalu, yang sedang berada diruang konsultasi Gizi. Rani menghampiri dan segera menyapanya “Permisi, sedang menunggu saya?” Tanya Rani sopan. Bagaimana pun dia terlihat seorang diri duduk didepan ruangannya. Pria tersebut mendongak dan tersenyum saat melihat Rani, sebuah senyuman yang sanggup menghentikan detik waktu, pada saat itu juga.
Ates mendongak melihat Rani. “Iya.” Jawab Ates seadanya, dia menatap lurus pada Rani yang masih diam ditempat. Dia terus menatapnya sambil melempar senyum berharap Rani ingat pernah bertemu dengannya. “Kamu sibuk nggak? saya pengen ngobrol sebentar.”
Sedangkan yang dilihat juga ikut senyam-senyum sendiri. Rani hanya merasa nyaman dengan senyuman dan paras tampan itu. Tampan memang, namun yang lebih jelas dirasakan adalah sorot matanya yang begitu tenang. “Kamu pasien yang beberapa waktu lalu diruang Gizi itu kan.” Rani sebenarnya ragu menayakan hal ini, karena lelaki di depannya tidak terlihat seperti pasien, “ Ada perlu apa ya, mau konsultasi gitu maksudnya?” Sementara dari tadi dia tidak mendapat panggilan ada pasien yang sedang menunggunya.
Ates terkekeh, tapi dia bersyukur Rani masih mengingatnya. “Aku sebenarnya sepupunya Nana__aku bukan mau konsultasi kesehatan kok.” Ates memberikan kartu nama, dia berusaha menunjukkan kalo dia adalah seorang penulis. “Nama saya Ates.” Dan Ates mulai memperkenalkan diri.