Lady Lavender and Lord Fire

Inzati Istaniyah
Chapter #5

Chapter #5 "BUAH BIBIR"

BAB BUAH BIBIR

 

Cahaya dari lampu di bawah kolam renang terlihat remang-remang menyisakan bayang-bayang air yang terpantul hingga balkon kamar Ates di atas. Dari balkon kamar, Ates mengamati langit kelam, tidak ada bintang malam ini. Langit malam Jakarta di bulan oktober tampaknya mulai berselimut mendung. Dia membaca pesan diponselnya, beberapa foto-foto lucu keponakannya dikirimkan Viola dengan pesan, ‘Om Ates hari minggu temenin aku jalan-jalan nya’, lengkap dengan emoticon smile. Ates tertawa sendiri melihatnya, dia memiliki dua ponakan dari Viola, yang pertama bernama Bintang berusia empat tahun dan yang kedua Bulan baru berusia dua tahun. Kakaknya kadang memang lebih mirip Maminya, tau sekali bagaimana cara menyibukkan Ates selagi dia ada dirumah. Ates memakluminya, dia sadar dia memang jarang pulang dan pesan itu langsung dibalasnya. ‘Ok, minggu jalan-jalan ya sama Om Ates’.

Ates menggoyang-goyangkan sedikit cangkir tehnya membiarkan uapnya mulai keluar. Dia mengingat kembali pertemuannya dengan Rani beberapa jam yang lalu. Gadis mungil dengan mata yang bulat dan rambut panjang itu mulai mencuri perhatian Ates. Baru saja dia hendak mengirimkan pesan untuk Rani sekedar berbasa-basi apakah makanan yang dikirimnya sudah sampai, sudah dia makan atau belum. Namun jemari Ates berhenti melihat pesan dari Nana yang turut muncul, Ates seketika mengklik pesan dari Nana. ‘Om Ates tadi aku denger gosip dari temen-temen di rumah sakit, katanya Om Ates lagi deketin dokter cewek di rumah sakitku ya.’ Ates menahan diri untuk tidak tertawa, dia paham sebenarnya apa yang dimaksud Nana. Sepertinya banyak yang memperhatikan pertemuannya dengan Rani saat di taman tadi. Ates memilih tidak membalas pesan dari sepupunya, dia sebenernya tidak merasa terganggu tapi tidak juga dalam tahap harus mengkonfirmasi keadaan yang sebenarnya terjadi pada sepupunya.

Beberap menit kemudian muncul lagi pesan dari Nana yang lebih menarik perhatian Ates, hingga dia yang berniat mengirimkan pesan pada Rani harus mengurungkan niatnya. Pesan itu berisi, ‘Tapi katanya temen-temen, kalo dokter Rani itu udah punya pacar lho.’ Kali ini Ates memilih masuk kemarnya, menaruh tehnya di meja sudut kamarnya dan duduk di sudut tempat tidurnya. Setelah itu dia baru mulai membalas pesan dari Nana, ‘Jangan ngomongin orang kalo lagi kerja, aku matiin ponselku bentar lagi, mau tidur, jadi nggak usah dibales.’ Begitu selesai mengirimpesan pada Nana dia melemparkan ponselnya dikasur, kembali meraih secangkir tehnya dan menyeruptnya perlahan sambil kembali ke balkon kamarnya dan menikmati malam.

 Jadi dia sudah punya pacar, tentu saja dia seharusnya memang sudah punya pacar. Seorang dokter kejiwaan yang ramah, pintar, dia juga tidak jelek. Bagaiman mungkin seorang gadis seperti dia tidak ada yang mencintainya. Memangnya kenapa kalo dia sudah punya pacar, aku kan cuma tanya-tanya tentang pekerjaannya aja. Ates bingung antara sebal dengan dirinya sendiri, pesan-pesan dari sepupunya atau status dari Rani yang baru saja dia ketahui.

҉

Sampai di rumah, Rani segera menyantap kiriman makanan dari Ates. Sebelumnya di ruang tamu Ayah dan Ibunya bercerita tentang kondisi kehamilan Kakak Iparnya, tentu saja ini menjadi kabar gembira bagi keluarganya. Tempo hari Nisa yang dikabarkan sakit, setelah di bawa kedokter dan periksa, ternyata kondisi kesehatannya memang sedang menurun, tapi bukan karena penyakit tertentu melainkan karena pengaruh kehamilannya yang pertama. Kakak iparnya memang kurang asupan, porsi makannya jadi berkurang karena sering pusing dan mual, sedangkan pekerjaan di rumah menggunung, belum lagi mengurus si kembar. Rani turut bahagia mendengar kabar tersebut dan itu berarti keponakannya akan nambah lagi. Usai menikmati makan malamnya Rani segera melanjutkan mencari reverensi untuk menulis blog selanjutnya. Sesekali dia mulai merangkai kata dan langsung mengetiknya, namun untuk disimpan sementara, sebelum akhirnya memutuskan untuk tidur.

 Minggu pagi dengan suasana gerimis dan dinginnya udara membuat Rani tidak juga beranjak dari tempat tidurnya. Ini betul-betul suasana yang bisa bikin orang tambah ngantuk, pikirnya. Semalam dia bisa tidar dengan nyenyak, bahkan lebih dari lima jam dibandingkan dengan beberapa hari sebelumnya. Rani mencari ponselnya dan melihat jam disana. Jadwal Rani hari ini selain mencuci baju-bajunya dia ada janji keluar dengan Gianna, namun kelihatannya cuaca masih belum mendukung dan dia masih rebahan saja di atas Kasur. Rani meraih kembali ponselnya dan menelfon temannya.

Disebrang sana yang ditelfon Rani bernasib sama, masih rebahan di atas Kasur. Dia mengangkat ponselnya begitu berdering.

“Hai Ran ….” Sapa Gianna masih ngantuk.

“Masih tidur ya lu, jadi nggak hari ini, katanya mau jalan-jalan.”

“Agak siang aja deh, gue juga masih ada pesenan yang harus di buat, mana lagi ujan.“

“Okay.”

“Entar aku telfon kalo udah selesai.”

“Okay.” Rani menutup telfonnya. Jam diponselnya menunjukkan pukul enam lebih tiga puluh menit. Rani mulai beranjak bangun, membereskan kamarnya dan mulai beraktifitas. Dimulai dengan melihat tanamannya, beberapat bibit sayuran yang ia tanam mulai menunjukkan pertumbuhannya, satu daun kecil yang terlihat saja sudah membuat Rani sumringah pagi ini. Selanjutnya Rani tidak lupa menyiram bunga Matahari dan bunga Lavender di depan rumahnya.

Ibunya duduk santai di teras melihat Rani yang menyiram tanaman. “Ran, nanti ponakanmu kesini, katanya mau nginep.” Tutur Ibunya.

“Iya aku udah baca WA nya mas Taro. Ibuk udah sarapan?” Rani balik bertanya melihat Ibunya duduk santai di teras, biasanya sudah menyibukkan diri di dapur.

“Belum, masih nunggu Ayahmu masih lari pagi. Biar sarapan bareng. Udah selesai kok Ibuk masaknya.” Begitu melihat Ayahnya datang dari lari pagi Rani dan Ibunya segera masuk.

 Gianna melihat kembali list pesanan hari ini. Ada beberapa yang sudah ready karena semalam dia sudah mulai mencicil namun beberapa menu memang belum dimasak. Dia menghubung Ucik, satu-satunya patner usaha onlinenya, yang biasa membantunya memasak dan ternyata sebenarnya patner kerjanya sudah berangkat tapi terjebak macet. Dia menghela nafas maklum, jalanan Jakarta tidak lagi hujan aja macet apalagi kalo lagi hujan kayak gini. Sambil menunggu kedatangan Ucik, Gianna mulai membersihkan kontrakannya dan menyiapkan beberpa bahan yang siap diolah.

 Akhirnya, Ucik datang setengah jam lebih lama dari biasanya tapi Giana bersyukur. Estimasinya malah bisa terlambat sampai satu jam kalo cuaca sedang tidak mendukung seperti saat ini. Gianna segera memberikan instruksi pesanannya untuk hari ini, karena ini hari minggu Gianna tidak mengoptimalkan pengolahan di hari libur seperti ini. Hanya memasak untuk pesanan hari ini saja, setelah dikirim Ucik bisa kembali pulang. Lain halnya jika hari kerja, kontrakannya bisa berubah seperti pabrik makanan versi minimalis, itupun jika pesanan sedang banyak-banyaknya.

 Selesai membantu sebentar. Gianna membersihkan tubuhnya, memberi sedikit riasan di wajahnya dan bersiap keluar. “Aku mau jalan-jalan sama Rani, kamu lanjutin sisanya ya…” ucapnya sambil merapikan rambut. Gianna membawa beberapa pesanan yang sudah selesai dan siap dikirim. Sekalian mengirim beberapa pesanannya dan langsung bertemu di tempat janjian dengan Rani. Gianna meninggalkan Ucik yang masih menyelesaikan pekerjaannya, sudah menjadi biasa bagi keduanya, kontrakan yang sebagian jiwanya sudah seperti rumah produksi ini tidak menyisakan banyak peraturan. Baik Ucik maupun Gianna bisa datang dan pergi begitu urusan mereka selesai, kalo mau bersantai-santaipun tidak masalah.

 Hujan mulai mereda, Perlahan langit terasa terik dan jalanan mulai mengurai. Mengoptimalkan hari liburnya menjadi salah satu prioritas Rani saat ini, sebenarnya dia tidak pernah menjadikan jalan-jalan di mall sebagai rutinitas atau sebuah keharusan. Namun kali ini, tidak ada salahnya sedikit bersenang-senang untuk mengalihkan sebagian berhatian dan menyenangkan hati.

Rani dan Gianna sudah berada di salah satu mall pusat kota. Rani mulai sibuk memilik beberapa baju, Gianna hanya mengikutinya dari belakang, membiarkan temannya memilih sesuka hati dan satu jam berlalu tidak ada satupun yang dipilihnya. Mereka beralih berjalan di tempat kosmetik dan make up, di sini Gianna terlihat lebih tertarik dia mencoba beberapa merek lipstick dengan beberapa warna yang berbeda-beda, sesekali dia menanyakan harga eyeliner dan blush on, mencari make up dengan harga diskon, tapi tidak juga ada yang dipilihnya. Lain lagi dengan Rani yang tanpa sengaja mencoba salah satu lipstick, dia langsung jatuh cinta dengan warnanya dan teksturnya. Gianna menunggu Rani yang masih membayar di kasir, agak nya memang seperti itulah cewek, yang sedang dicari apa yang dibeli bisa lain lagi.

Lapar mata sepertinya masih dilanjut lagi. Keduanya berpindah lokasi dan Gianna memilih melihat-lihat koleksi tas yang bertanda special price. Rani ikut melihat beberapa tapi dia tidak terlalu tertarik. Gianna masih sibuk memilih-milih. Gianna menunjukkan beberapa model pada Rani. “Bagus yang mana, yang item atau yang merah?”

Rani mengamati sekilas. “Yang merah lebih lucu, tapi item bagus juga, netral dia bisa di pake sama baju apa aja.” Rani menjelaskan sambil mengamati pilihan yang ditujukan temannya. Percayalah dimoment seperti itu, sebagian kaum hawa akan butuh waktu lebih lama untuk menentukan mana yang bagus, mana yang lucu, mana yang unik, mana yang cocok dan mana yang akhirnya akan dibeli.

Tiga jam sudah, dan Gianna berhasil menentukan pilihannya pada sling bag mungil berwarna merah maroon. Keduanya kemudian mencari tempat makan. Mereka masuk di salah satu restaurant tapi Gianna menunjukan ketidak nyamanannya dan mencoba memberi tahu Rani.

“Cari tempat lain aja deh mumpung belum duduk, mumpung belum pesen.” Bisik Gianna disebelah Rani. Rani yang sudah tidak sabar karena lapar mengabaikan Gianna dan segera memilih tempat duduk. “kenapa emangnya?” Tanya Rani bingung.

Gianna menunjuk di sudut ruangan berkerumun beberapa ibu-ibu yang sedang asyik dengan obrolan mereka, “kamu nggak ingat mereka siapa?” Gianna balik bertanya pada Rani.

Rani membuka sedikit mulutnya, kaget. Dia paham yang dimaksud Gianna. Ibu-ibu itu adalah teman SD mereka. Yap, betul. Mereka memang sudah ibu-ibu sedangkan Rani dan Gianna masih melajang. Sebenarnya dia dan Gianna tidak keberatan bertemu dengan teman lama, tapi tidak semuanya bisa diajak bicara. Dan perlu diketahui, ada perbedaan yang cukup tinggi yang menyebabkan obrolan mereka tidak pernah nyaman bagi Rani maupun Gianna.

Lihat selengkapnya