Lady Lavender and Lord Fire

Inzati Istaniyah
Chapter #6

Chapter #6 "DURI YANG LEBIH TAJAM DARI PISAU"

BAB DURI YANG LEBIH TAJAM DARI PISAU

 

   Di dalam ruangan VIP sebuah restauran jepang. Seorang pria paruh baya mengambil beberapa menu dengan sumpit dan menaruhnya di piring kecil di depannya, sebelum dia menyupkan potongan daging domba yakiniku dalam mulutnya, pria itu terlihat serius berbicara dengan seorang gadis didepannya.

    “Jadi kapan pernikahanmu?”

    “Tiga minggu lagi, persiapannya hampir selesai.” Jawabnya sambil melahap potongan sushi.

     “Ates masih ada disini? Bisakah dia datang ke acara pernikahanku, Ayah.”

    Pria di hadapan gadis tersebut yang tidak lain adalah Candra ayah kandungnya sendiri, terlihat mengerutkan alisnya, “Apa kau pernah bicara dengan Ates? Menurutmu dia mau?”

    Rachel menjawab dengan santai. “Menurutku dia mau. Aku memang tidak pernah bicara dengannya, tidak pernah bertemu juga. Tapi kan aku juga tidak pernah bertengkar dengannya.”

    Candra mengamati ekspresi santai dari Rachel. “Aku bilang ke Ates dulu. Dia memang berbeda dari Viola dan Maminya, tapi akan ku coba bilang padanya.” Dia harus salut dengan ketenangan itu.

   “Kenapa nggak sekarang aja, keburu dia pesen tiket pesawat ke DC.” Sahut Rachel sambil mengunyah makanannya.

  Candra menarik nafas perlahan, “Rachel…” Ayahnya berkata pelan, berharap putrinya bisa memahami keadaannya. “Aku bahkan jarang berbicara dengan Ates, dia itu berbeda.”

    “Kau sudah menyebutkan kata berbeda dari tadi, kau juga sudah bercerita sebelum-sebelumnya kalo dia itu ‘beda’, tapi justru karena dia berbeda makanya aku yakin dia pasti mau bertemu denganku.” Rachel memahami maksud dari Ayahnya, namun dia tetap percaya pada keyakinannya.

    “Langsung diacara pernikahanmu begitu?” Candra langsung balik bertanya pada Rachel, “untuk orang yang tidak saling kenal, bahkan tidak pernah saling menyapa. Menurutmu dia akan bersedia datang begitu saja?”

     “Okey, dia mungkin tidak mengenalku, tapi dia jelas tau siapa aku. Menurutku itu cukup menjadi alasan, aku yakin dia mau datang.” Rachel menjawab dengan sangat tenang, nadanya terdengar begitu yakin.

     “Aku akan bilang pada nya nanti di rumah, ku pastikan hari ini dia belum membeli tiket penerbangan kemanapun.” Jelas Candra sambil meneguk tehnya. Sebagai seorang Ayah yang tidak terlibat langsung pertumbuhan dan perkembangan Rachel, Candra harus mengakui kepercaya diri Rachel harus diacungi jempol meskipun terkadang dia sangat berbahaya.

     Rachel menyuapkan irisan daging domba ke mulutnya, sambil menikmati hidangan makan siangnya dia kembali berbicara pada Ayahnya. “Ayah harusnya bersyukur aku tidak banyak berulah, kau tau betapa inginnya diriku diakui dunia, bahwa aku adalah anakmu… sudah berapa wartawan yang kuhubungi waktu itu tapi akhirnya aku harus manahan diri untuk tidak bicara dengan siapapun.” Nada bicara Rachel sangat tenang, namun itulah yang mengusik Candra, sangking tenangnya terasa seperti pedang yang menghunus dan sekarang mata pedang itu tepat didepan matanya.

    “Rachel.” Ucap Candra perlahan. Sekali lagi dia mengambil nafas perlahan, menahan emosinya agar tidak mnghancurkan dirinya sendiri. “Kalo kamu memang ingin menunjukkannya, tunjukan sekarang juga. Beritahu pada wartawan, beritahu pada tetangga-tetanggamu pada siapapun yang menganggumu, pada siapapun juga yang ada di sisimu beritahu mereka bahwa, dirimu adalah anakku.”

    “Udah nggak asik.” Jawab Rachel datar sambil meneguk tehnya yang mulai dingin.

    Seolah mengelus dada, Candra memang harus bersabar mengahadapi perangai Rachel. kadang dingin, kadang kasar namun seolah masih membutuhkan keberadaannya. Sejujurnya atas kesalahan masa lalu yang telah dia lakukan, ada saat dimana candra sudah bersiap menanggung resiko jika dia harus kehilangan orang-orang yang dicintainya, jika suatu saat dia harus hancur di atas segala hal yang telah dia bangun. Tapi dengan mengikuti permainan Rachel justru harus membuatnya lebih bersabar. Rachel semacam memiliki peluru yang siap dia tembakkan kapan saja, peluru yang cukup mematikan bagi keluarga Candra, namun dia hanya terus memainkannya di depan sasarannya tanpa harus menarik pelatuknya.

҉

  Begitu memasuki halaman rumahnya yang megah, Ates tidak langsung masuk rumah. Diamatinya mobil yang dikendarainya tadi, salah satu mobil disini yang paling sering dipakainya saat pulang kerumah, Mercedez Benz GLC-Class. Dia memang menyukai mobil ini, Ates berfikir untuk mencucinya terlebih dahulu, hitung-hitung untuk membuang kalori, lagi pula dia pengangguran selama di sini.

   Segera dia melepaskan Jacketnya, menyincing celana jinsnya dan mulai menarik slang air untuk memandikan mobil kesayangannya. Selama bertahun-tahun merantau dan menjadi makhluk Nomad, sepertinya baru tahun ini Ates merasa lebih kerasan tinggal dirumahnya. Menikmati setiap pagi dia bangun tidur, mulai banyak berinteraksi dengan penghuni rumah termasuk Papinya, meskipun hanya beberapa patah kata sekedar untuk beramah tamah, tapi sedikit pun dia tidak merasa keberatan.

   Begitu selesai memandikan mobilnya, Ates menyambar Jacketnya dan melihat isi ponselnya, dia tersenyum simpul melihat Rani mulai membalas pesannya. Ates berjalan menuju kamarnya sambil menatap layar ponselnya, jarinya sibuk mengetikkan sesuatu. Maminya yang duduk di ruang keluarga melihat Ates dengan heran. Tidak biasanya anak laki-laki semata wayangnya mengabaikannya.

  “Ates… dari mana?” Tanya Mami begitu melihat kedatangan Ates.

  “Habis nganterin bulan, bintang jalan-jalan, terus nyuci mobil.” Jawab Ates, dan wajahnya masih tidak berpaling dari layar ponselnya, sesekali dia tersenyum dan sibuk mengetikkan sesuatu. Maminya hanya memperhatikan tingkah Ates, dia jadi penasaran dengan siapa anaknya chating sampai seserius itu atau lebih tepatnya sampai seasyik itu.

  Ates membersihkan tubuhnya lebih cepat, rintikan deras air dari shower kamar mandi yang terasa hangat dan begitu menenangkan tak mampu menahannya lebih lama. Dia mandi lebih cepat untuk bisa menemui ponselnya lagi. Masih berbalut handuk yang melingkar di pinggangnya, Ates memeriksa kembali ponselnya, tidak ada balasan Rani dari pesan terakhirnya. Ada kegelisan dalam hatinya yang mengganggu ketika pesan-pesannya tidak segera dibalas. Ates medengus kesal dan meletakkan ponselnya. Dia mulai membuka lemari dan mengambil baju sekenanya untuk dipakai, Ates memang nyaris tidak pernah repot soal pakaian. Dia kembali pada ponselnya tapi masih belum ada balasan dari orang yang ditunggunya.

   Ates duduk bersila di atas tempat tidurnya. Satu jam tanpa disadari, dia masih berkutat dengan ponsel di tangannya, bahkan kini Ates sudah mulai mengikuiti media sosial Rani dengan cepat dia mulai menelusuri postingan-postingan Rani. Hasil keingin tahuannya menunjukkan bahwa Rani memang punya pacar atau mungkin pernah punya, entahlah. Di sisi hatinya ada perasaan seperti ditusuk jarum kecil-kecil seketika itu, namun di sisi yang lain seolah masih perlu penjelasan Rani, ada keraguan dalam diri Ates bahwa hubungan itu entah masih ada atau sudah berakhir. Salah satu cara untuk mengetahuinya adalah dengan mengkonfirmasi langsung pada yang bersangkutan.

     Berfikir cukup lama, Ates bingung bagaimana caranya menanyakan hal sesensitif itu. Setelah beberapa saat akhirnya dia tidak menemukan kalimat yang tepat, tapi dia terlanjur penasaran untuk hal ini. Ates menemukan cara untuk bisa menanyakan hal tersebut pada Rani tanpa harus melibatkan eksistensinya. Perlahan dia tersenyum sendiri. Apa gunanya punya sepupu di sana, Nana menjadi nama yang terbesit dalam pikiran Ates, ‘Akhirnya dia benar-benar bisa bermanfaat’.

     Setelah membuat janji bertemu dengan Rani, Ates segera mengakhiri obrolannya. “Sampai ketemu besok ya.” Ketik Ates mulai mengakhiri obrolannya. Tepat seketika itu pintu kamarnya terbuka, sangking kagetnya Ates hampir menjatuhkan ponselnya. Mami sudah berdiri diambang pintu.

      “Hmm… HaPe Teroosss,”

      “Apa sih Mi. Ngagetin Ates, beneran.” Ates memandang gusar kearah pintu, Maminya hanya berkacak pinggang sambil melempar senyum pada Ates.

      “Kamu Chat sama siapa sih, seserius itu?”

      “Urusan kerjaan kok Mii,” Ates tidak langsung menjawab dengan jujur, sebagian dari niat awalnya memang mengandung urusan pekerjaan. Maminya terlihat melengos kesal.

      “Ayo makan, Papi udah nunggu di bawah!” Ucap Mami kemudian, sambil melambaikan tangannya agar Ates segera turun.

      “Masih belum laper lagi, nanti aja aku makan sendiri.”

      “Papi mau bicara sama kamu.” Ucap Mami akhirnya yang seolah tak dapat dibantah, Ates maupun Mami tahu, bahwa Papi dan Ates sangat jarang bicara secara panjang lebar bersama, sudah lama hal itu tidak terjadi.

      Ates menghela, dia meletakkan ponselnya. Entah apa yang akan dibicarakan Papinya, Ates tidak punya sedikitpun bayangan. “Oke, kita makan bareng-bareng.” Jawab Ates sambil beranjak berdiri.

     Di ruang makan sudah terlihat Papinya duduk di sana. Papi yang melihat kehadiran Mami dan Ates megera melambaikan tangan mengajak keduanya duduk bersama. Ates mengamati beberapa menu di meja makan, tidak ada yang betul-betul menarik perhatiannya. Cream soup, kwetiau goreng, beef blackpapper dan salad buah. Ates memutuskan untuk melewatkan Main Course nya, dia hanya akan memilih cream soup dan salad buah.

    Ates menunggu pembicaraan dimulai sambil menyeruput perlahan cream soup nya. Selama beberap menit tidak ada yang mulai berbicara, bahkan Mami terlihat menikmati makannya tanpa menanyakan apapun pada Papi. Apa yang sebenarnya ingin mereka bicarakan, Ates membatin sendiri.

   “Ates, Rachel mengundangmu di acara pernikahannya. Papi sih nggak maksa, tapi kalo kamu memang belum beli tiket balik ke DC, gimana kalo nunggu sampe acaranya Rachel selesai.” Ucap Papi akhirnya di tengah-tengah makan.

Lihat selengkapnya