BAB LAHAR DINGIN
Senin pagi yang disambut hujan menjadi awal segala rutinitas dan kesibukan. Rani sudah bersiap berangkat, dia harus berangkat lebih pagi di saat hujan seperti ini. Jalanan akan dua kali lipat lebih macet. Sedangkan si kembar sudah siap berangkat sekolah bersama kedua orang tuanya. Selesai mengantar anaknya sekolah kedua orang tuanya langsung berangkat kerja. Rani mengecup punggung tangan ibunya berpamitan.
Begitu sampai di depan gerbang rumah sakit tempat dia bekerja, Rani berhenti sejenak untuk bicara dengan petugas keamanannya. “Pak kalo missal ada yang nitipin barang, tolong langsung taruh di ruangan saya aja ya, hari ini jadwal saya agak full.” Ucap Rani pada petugas keamanan.
“Siap dokter.”
Hingga jam makan siang, Rani belum melihat tanda-tanda dia mendapat paket kiriman atau apapun yang disebutkan Rafa kemarin. Dia menghempaskan pikiran agar tidak menunggu barang-barang itu. Rani sudah mengambil antrian untuk memesan makan siangnya, begitu selesai dia segera berjalan sambil membawa nampan berisi seporsi makanan, menuju tempat duduk favoritnya, di sebelah jendela.
Belum lama dia duduk, Nana menyapanya dari arah belakang. “Mbak Rani, aku ikut duduk di sini ya?”
Rani menjawab santai, “Boleh.”
“Aku pesen makan dulu ya.”
Nana kembali dengan membawa seporsi soto betawi lengkap dengan es teh manis, dia duduk tepat dihadapan Rani. Melihat Rani melahap nasi goreng dengan semangat, Nana jadi tidak enak mengganggu ritual makan siang seseorang dengan pertanyaan konyol titipan sepupunya. Selain itu, dia juga masih memikirkan kalimat tanya yang pas, tanpa harus menurunkan harga dirinya. Dan juga tanpa harus ketauan kalo dia cuma media atau korban kekepoan sepupunya.
“Tadi pagi nggak sempet sarapan, makanya sekarang jadi laper banget.” Ucap Rani yang menangkap ekspresi Nana.
“Iya aku tadi juga nggak sempet sarapan, ya udah ayo makan dulu aja.”
Rani menangkap dalam kalimat Nana bahwa ada yang ingin dia bicarakan dengannya. “Emang habis makan, mau ngapain?” Menatap lurus Nana dengan mata bulatnya yang jernih.
Nana tentu saja mendadak salah tingkah. “Hehe…” Seperti anak kecil yang ketahuan mencuri permen, dia hanya nyengir menatap Rani. “Makan dulu aja deh, aku juga laper.”
Begitu selesai menghabiskan porsi makan siangnya, Nana melirik sekilas ke arah Rani. “Ehmm…mbak Rani? cowok yang biasanya kesini, nyamperin mbak Rani itu, cowoknya mbak Rani atau saudaranya siih?” Nana membuka obrolan dengan hati-hati.
“kenapa?” Rani bertanya balik dengan cepat, seketika itu membuyarkan pertahanan Nana.
“Penasaran aja? Beberapa perawat ada yang lihat dia kapan hari ke sini, di ruangannya mbak Rani sampai nyari di halaman belakang. Tapi waktu itu… dia nggak kelihatan nyamperin mbak Rani, cuma diem aja gitu ngeliatin mbak Rani, yang waktu lagi ngobrol sama mas Ates itu.”
Rani manggut-manggut paham, mendengar penjelasan dari Nana. Jadi dia benar kesini, hanya saja waktu itu aku tidak menyadarinya. “Apa dia nitipin sesuatu, sama petugas disisni?”
“Kayaknya sih enggak?” Jawab Nana ragu-ragu, “Tapi… beberapa hari sebelumnya, dia kan juga kesini lagi, aku denger dari perawat sama petugas yang jaga di depan. Kalian ngomongnya serius baget.”
Sekali lagi Rani mengangguk paham. Ternyata beberapa hari ini dia sudah manjadi bahan pembicaraan banyak orang. Sepertinya dia memang terlalu fokus membenahi hati dan pikirannya sampai tidak menyadari banyak mata dan telinga yang memperhatikannya. Nana yang duduk di depan Rani mulai beringsut, dia baru saja menyadari kalimat-kalimatnya yang sepertinya dapat memperburuk keadaan.
“Seperti yang kalian lihat, maksudnya seperti yang kamu lihat juga… aku dan cowok itu memang pernah punya hubungan. Kita emang pacaran tapi udah putus kok.” Rani mencoba menjelaskan apa adanya, buat apa pula ditutupi. Sekilas dia juga mengingat kebiasaan-kebiasaan Rafa yang sering mengunjunginya di rumah sakit, tentu saja banyak orang yang memperhatikan, bagaimana mungkin berada di lingkungan kerja yang sama tapi tidak melihatnya.
Diluar dugaan Nana, Rani justru menjawabnya dengan sangat santai. “Oh… jadi udah putus… tapi kenapa lagi dia kesini?”
“kayaknya kepribadiannya emang labil. Kalo liat dia kesini lagi, cuekin aja?” Ujar Rani dengan sedikit tawa yang hambar.
“Mbak Rani…” Nana berkata hati-hati, “Cowok yang barusan kita omongin, udah nunggu di pintu kantin.”
Rani spontan membalik badannya, melihat kearah yang di tuju Nana dan benar saja Rafa berdiri di ambang pintu sedang memperhatikannya. “Apa dia sudah ada disitu dari tadi?”
“Enggak kok, barusan aja dia dateng.” Jawab Nana cepat.
“Dia sangat menganggu.” Desis Rani. kembali keposisi duduk semula, Rani meneguk habis sisa minumannya.
“Inget ya… kalo ada yang ngomongin ini, bilang ke mereka, kalo aku udah putus sama tuh cowok. Jadi kalo missal ketemu sama dia, nggak usah diramah-ramahin.” Ujar Rani pada Nana yang kemudian berlalu. Nana mengangguk setuju.
Rani berjalan menghampiri Rafa, sampai di depannya Rani hanya melambaikan tangan memberi isyarat agar Rafa mengikutinya.
“Mana barang-barangku?” Tanya Rani begitu melewati Rafa.
“Udah aku titipin satpam.”
Rani berdecak kesal. “Terus kamu ngapain masih disini?”
Rafa tidak bergeming, tidak juga ada jawaban dari mulutnya. Rani melanjutkan jalannya, tak menghiraukan Rafa, Rafa hanya mengikutinya dari belakang. Namun arah jalan Rani tidak menuju keruang kerjanya atau di halaman belakang, tidak juga di halaman depan.
“Aku cuma mau lihat keadaan kamu aja.” Cletuk Rafa dari belakang punggung Rani.
“Udah kamu lihat kan, sekarang kenapa nggak pergi?”
“Sebegitu bencinya kamu sama aku? Sampe ngajak omong aja nggak bisa.”
Rani terus berjalan, di ikuti Rafa yang mencoba mengimbangi langkahnya. “Bukan benci yang membuat aku, menjauh tapi kecewa.”
“Ok, wajar kalo kamu kecawa sama aku…” Rafa menjawab namun langsung di potong oleh Rani. “Aku kecewa, sama diriku sendiri. Kok bisa-bisanya menunggumu begitu lama kemudian disia-siakan begitu saja. Aku bahkan sekarang mangasihani diriku sendiri. Dah diputusin, masih aja mau diajak omong.”
“Bisa nggak kita bicaranya nggak sambil jalan kayak gini. Kamu mau kemana sebenarnya?”
Rani menghentikan langkahnya, menghadap Rafa dan bicara dengan sangat datar. “Apa aku dan kamu itu masih punya alasan untuk saling bicara? Ok. Kalo kamu masih mau bicara, kita ke parkiran belakang aja… enggak enak dilihat banyak orang, nanti dikira kita masih punya hubungan lagi.” Rani melanjutkan langkahnya lebih cepat.
Rani menuju tempat parkir di belakang gedung. Rafa terlihat gugup, melihat Rani berjalan semakin cepat, kenapa juga memilih tempat parkir di belakang untuk bicara. Sebisa mungkin dia mencegah langkah Rani.
“Cowok yang bicara sama kamu, kapan hari di taman belakang itu siapa? Pasien? Keluarga pasien?” Tanya Rafa mencoba menghentikan langkah Rani. Pintu belakang yang mengarah ke tempat parkir hanya tinggal satu meter dari mereka berdiri.
Rani menjawab santai sambil melanjutkan langkahnya pelan-pelan, ada nada cemburu yang ditangkap Rani dari pertanyaan Rafa, “Elu, kenapa mau tau? Kan gue juga bukan sodara elu.” Nada bicara Rani mulai dingin.
“Jawab aja. Aku mau tau aja, apa kamu udah lama punya hubungan sama dia?”
Rani tertawa sumbang. Mereka sudah berada di tempat parkir yang lenggang, tidak terlihat siapapun disini, namun tidak jauh dari tempatnya berdiri ada pos penjaga. Rani hanya berjaga-jaga jika nanti Rafa susah disuruh pergi, dia bisa minta tolong petugas security tanpa harus menimbulkan keributan, itu salah satu tujuannya bicara ditempat ini.
“Gue nggak nyangka elu malah nanya gitu. Sebenarnya siapa yang ninggalin dan siapa yang ditinggalin disini?” Rani mulai emosi menghadapi Rafa.
“Ran… kalo kamu tau hubungan kita, udah nggak mungkin dilanjutin lagi.”
“Nggak mungkin dilanjutin… karena kamu lebih milih cewek lain, karena kamu selingkuh sama cewek lain, gitu.” Tandas Rani. Dia tidak paham lagi dengan pola pikir Rafa, sebenarnya apa tujuannya kemari, jika sudah tau hubungan mereka tidak mungkin dilanjutkan lagi. Hanya sekedar untuk bertanya siapa pria yang berbicara dengan Rani tempo hari, sungguh betapa Rafa mungkin tidak menyadari, bahwa harga dirinya telah jatuh saat ini.
“Dan kamu sendiri gimana? Sama cowok itu… siapa dia? Pasien kamu selama ini nggak pernah ada yang kayak gitu.”