BAB MAHKOTA BUNGA
Selesai menghadiri acara akad nikah. Candra tidak bertahan lama di gedung itu, hanya setangah jam selesai upacara akad nikah candra pamit pada Ates dan Rachel yang saat itu masih di Make up. Ates sempat berbincang sebentar dengan Papinya saat menunggu Rachel mempersiapkan riasannya untuk resepsi.
“Kenapa Papi nggak mencoba menerima Rachel di rumah kita, dia kan udah nggak punya ibu juga?” Tanya Ates pelan-pelan. Ini adalah kali pertama Ates menanyakan langsung prihal masa lalu Papinya.
Candra tersenyum samar, dia paham. Pertanyaan seperti ini suatu saat akan sampai padanya melalui anaknya sendiri. “Bukan Papi yang nggak mau, tapi Mamimu__kalo kamu tau, setiap kali Rachel datang ke rumah kita, Papi nggak pernah mengusirnya.” Candra mencoba menjelaskan, kalimatnya terdengar sabar.
“Siapa aja yang tau tentang Rachel Pii.” Lanjut Ates, belum puas dengan jawaban Papinya.
“Sedikit sebenarnya, mereka adalah kerabat dan orang-orang kepercayaan keluarga kita juga.”
“Sakit hati Mami pasti belum sembuh.” Ates mencoba menebak perasaan yang ditanggung Maminya, kalimat itu juga seolah memberi jawaban bagi Ates sendiri.
“Kompleks Ates. Mamimu, Viola dan Rachel… bertahun-tahun, sudah seperti perang dingin. Entah apa yang bisa mencairkan mereka. Tapi bagaimanpun juga terima kasih sudah hadir hari ini.” Kembali, Candra mencoba menjelaskan keadaannya pada Ates.
Ates mengedarkan pandangannya. “Nggak masalah.” Ates menjawab santai, tapi dia merasa jawaban dari Papinya masih kurang tepat. Dia juga sadar diri, dulu dia tidak pernah mau peduli akan hal ini, dulu dia juga sakit hati. Tapi kalo boleh jujur, Ates juga tidak tahu bagaimana versi lengkap kisah masa lalu itu, yang ia tahu semua memiliki luka.
“Terima kasih atas segala pengertiannya Ates, kamu tumbuh sekaligus sembuh dengan sangat baik di luar sana, melewati segala ekspektasi Papi. Papi nggak akan menuntut kamu melanjutkan segala persoalan bisnis Papi disini. Asal kamu bahagia Ates, Papi ikut bahagia.”
Ates hanya diam. Tidak menjawab kalimat-kalimat Papi, bukan proses yang mudah sebenarnya. Bahkan hingga saat ini pun dia tidak pernah menceritakan tentang Rachel pada siapapun, pada teman-temannya di luar negeripun, tidak pernah dia mengungkit nama itu. Dalam hati Ates masih belum yakin, betulkah dia sudah benar-benar berdamai dengan kesalahan-kesalahan keluarganya.
Ates membiarkan Papinya pergi lebih dulu dengan dalih ada rapat dengan kolega. Dia membiarkannya pergi begitu saja, sedikit pun Ates juga tidak menahannya. Ates sendiri tidak berniat berlama-lama. Namun tadi Rachel sempat menyapanya dan ingin mengatakan sesuatu terlebih dahulu, jadi Ates menunggu Rachel mempersiapkan riasannya dulu untuk saling bicara. Bisa dibilang ini adalah pertemuan pertamanya dengan Rachel. Ates tidak ingin terlalu berekspektasi, menerka-nerka, buru-buru menilai Rachel seperti apa, menurutnya hal seperti itu hanya akan memperburuk suasana. Jangan buang-buang energi untuk menjudge orang yang belum betul-betul kamu kenal, jika nanti salah menilai, maka kamu akan butuh lebih banyak energi untuk pembenaran.
"Terima kasih udah mau datang.” Ucap Rachel yang sudah berganti pakaian dan Riasan. Menurut Ates dia terlihat anggun. Mereka ngobrol di samping ruang ganti yang sudah disediakan WO.
“Iya, semoga langgeng ya.” Ates menjawab sambil mengembangkan senyumnya.
“Aku boleh panggil kamu apa?”
Ates sadar, mereka berdua memang belum pernah bertegur sapa, sampai bingung harus memanggil seperti apa. “Ates aja cukup.”
“Ini pertama kalinya aku ketemu sama kamu, selama ini cuma denger namanya aja… Ayah benar kamu memang terlihat berbeda.” Ujar Rachel.
Ates Hanya melempar senyum pada Rachel, entah apa yang diceritakan Papinya pada Rachel, tapi sepertinya bukan hal yang buruk.
“Masih lama tinggal disini?” Tanya Rachel yang melihat Ates hanya diam saja.
“Nunggu sampai acara Mami sekalian__mungkin minggu depan.”
Mempelai pria yang baru saja selasai berganti baju berdiri di samping Rachel, tatapannya tak lepas dari Ates. “Jadi ini saudara tirimu?” Tanya pria itu pada Rachel disampingnya, suaranya terdengar agak parau dan ekspresinya membingungkan bagi Ates. Ates tidak paham dengan ekspresi aneh dari pria itu, namun dia mengulurkan tangannya dengan ramah. “Hai, aku Ates. Selamat ya.” Uluran tangannya dibalas dengan cepat. Rachel tersenyum melihat melihat pria di sampingnya. “Iya, dia saudaraku juga.”
“Ates, kalo nggak keberatan, cobalah beberapa menu sebelum pulang. Jangan jadi kelaparan dan beban karena menghadiri acara pernikahanku.” Ucap Rachel yang kemudian menunjukkan bahwa dia harus segera beranjak, tamu-tamu pasti sudah menunggunya.
“Ok.” Jawab Ates singkat sambil melihat kedua mempelai pergi.
Menghadiri resepsi pernikahan Rachel, sebetulnya tidak terlalu menjadi beban untuk Ates. Terlepas seperti apa status Rachel di mata keluarga mereka. Bahkan sekalipun tidak ada satu orang yang dia kenal di sini, tidak ada satupun yang dapat dia ajak bicara di tempat ini. Ates sudah terbiasa membangun hidupnya sendiri dalam keramaian yang asing. Sebebenarnya dari tadi fokusnya sedikit teralihkan melihat dekorasi pernikahan Rachel, dominan dengan warna bunga putih namun di bagian depan terlihat barisan bunga ungu, lavender. Mengingatkannya pada halaman depan rumah Rani. bisa dibilang lavender itulah yang menjadi penyelematnya di sini. Rela berlama-lama di sini hanya dengan memandangi lavender yang mengingatkannya pada sesosok gadis dengan mata bulat yang indah, imajinasinya berkelana lebih jauh tanpa disadari orang-orang disekitarnya.
Selama perjalanan pulang, Ates sempat berfikir. Haruskah dia melabuhkan hatinya dan mengakhiri hidup berkelana, sudah siapkah dia menghadapi segala problematika keluarga. Ates paham tidak ada yang akan baik-baik saja dalam hidup ini, masalah demi masalah akan bergantian hadir. Sejauh ini, untuk dirinya sendiri, Ates yakin sudah mampu mengatasi masalahnya sendiri. Tapi entah nanti saat dia harus berbagi kehidupan dengan orang yang dicintainya. Sedangkan bayangan tentang gadis itu terasa semakin kuat dipikirannya.
Ates melihat Maminya yang duduk santai di tepi kolam, Ates menghampiri dan duduk di sampingnya. “Udah Makan Ates?” Tanya Maminya lembut.
“Udah Mii.” Ates menjawab singkat.
“Mami tadi bikin Gyoza, bikin sendiri lho…”
Mengingat bahwa di rumahnya ada sendiri yang biasa mengurus prihal masak-masakan, Ates merasa sedikit sangsi dengan pengakuan Maminya.“Beneran bikin sendiri? bentar lagi aku coba nih.”
Helena tidak terima diragukan oleh anaknya sendiri. “Emang harus kamu coba.” Helena menjawab mantap sambil memandang tajam ke arah Ates.
“Mami.”
“Apa?”
Ates Ragu untuk mulai bertanya. banyak sekali yang ingin dia tanyakan dan terlalu lama tertahan. Apa Mami masih mencintai Papi, sekalipun Mami tau Papi pernah melukai Mami?’, ‘Kalo Mami bisa menerima kesalahan Papi dan bisa memaafkannya, kenapa nggak bisa menerima hasil dari kesalahannya? Sebegitu bencinya Mami sama Rachel?’, hingga pertanyaan klise semacam, ‘Apa pernikahan akan selalu begitu rumit?’. Antara terlambat tapi juga konyol untuk ditanyakan saat ini. Terutama pertanyaan terakhir, Mami pasti akan menertawakannya menanyakan hal yang harusnya Ates pasti bisa menjawabnya sendiri.
“Kok malah ngelamun? Jadi ada yang diomongin nggak.” Mami membuyarkan lamunan Ates.
“Tadi papi bilang nggak akan maksa aku buat nerusin kerjaan Papi di sini, pada hal aku sempet mikir babarapa hari lalu. Gimana ya kalo aku nikah dapat cewek di sini dan mulai kerja di negeri sendiri.” Sungguh, dalam hati Ates bangga pada diri sendiri. Semudah ini merubah mood Maminya. bisa dibayangkan betapa bercahayanya wajah Helena saat itu, senyum mengembang lebar, mata berbinar terang.
“Jawab jujur Ates… siapa gadis yang kamu cintai itu, beritahu Mami?” dengan sangat bersemangat.
“Lah, kan aku tadi bilang__Gimana ya. Ya, itu cuma khayalanku aja sih Mii. Kalau, jika. Sama aja kayak gitu.” Ucap Ates enteng. “Cuma bayangin aja. coba aja bayangin dulu.”
“Ates ini nggak lucu ya.” Sergah Maminya mulai gusar, Ates seolah sedang mempermainkan Maminya. Helena mengerti, beberapa hari ini Ates memang agak aneh. Sebenernya dia tidak akan heran, jika Ates memang menemukan gadis yang dicintainya. Tapi tidak kemudian dijadikan lelucon.