BAB SAYAP API
Selepas Ates kembali ke luar negeri, suasana rumah memang terasa sangat sepi. Helena dan Candra kembali sarapan hanya berdua saja. Tanpa Ates pun mereka sering sarapan hanya berdua saja, namun saat ini lebih terasa sepi. Biasanya Ates hanya pulang satu minggu namun kali ini dia berda di sini sampai satu bulan. Apalagi Ates sempat berencana untuk bekerja di Indonesia yang berarti berencana untuk kembali tinggal di sini, sayangnya rencana itu masih terasa samar, apalagi melihat raut wajah Ates terakhir kali kemarin.
Candar menceritakan pada Helena obrolannya terakhir kali dengan Ates. Helena terdiam cukup lama, dia bahkan tidak melanjutkan sarapannya, seolah telah kehilangan selera. “Jangan marah-marah pada Rachel, Ates tidak akan suka kalo tau.“ Ujar candra saat selesai bercerita.
“Siapa juga yang akan marah padanya.” Helena menjawab datardengan mata menerawang, tangannya terlipat di atas meja makan. Pikiran kembali mengingat masa lalu, saat dia mengenal mutia, ibu dari Rachel.
Candra menghabiskan sisa sarapannya, “Bagaimana dengan ide menempatkan Rachel di kantor cabang luar kota.”
Helena tampak tenang. “Apa menurutmu dia cukup kompeten? Lebih baik tempatkan dia di sini, dimulai sebagai staff admin juga tidak buruk, coba bicara padanya.” Pikiran Helena hampir sama dengan pikiran awal Candra. Bukannya Helena anti dengan Rachel, namun perlu diketahui juga kemampuannya, apalagi tidak banyak orang yang tahu Rachel. Candra mengecup kening Helena sebelum beranjak pergi.
Helena masih terdiam di meja makan. Tidak henti memikirkan Ates, pasti putranya sedang patah hati saat ini. Teringat sikap hangat Ates, bercermin melihat pantulan dirinya yang sudah tampan, mendadak jadi koki, sampai sudah berencana untuk kembali ke sini. Helena merasa tidak bisa hanya diam saja, sebagai ibu dia merasa harus turut ikut campur. Bagaimana pun juga kebahagiaan, kesuksesan seorang anak tidak akan luput dari peran serta orang tua, terutama ibu. pikirannya melayang pada satu nama yang harus segera dia hubungi, Nana. Helena harus mulai mencari tahu sendiri seperti apa Rani dari teman sekantornya.
҉
Rani membuka kotak persegi empat ukuran sepuluh senti meter berwarna hitam pemberian dari Ates. Sebuah kalung cantik dengan bandul berbentuk kupu-kupu dan sepucuk surat dengan tulisan tangan Ates yang khas.
‘Terima kasih sudah mengisi hari-hariku di sini. Enam bulan lagi aku kembali. Nanti ketika aku kembali kamu bisa memakainya kalau kamu juga punya perasaan yang sama. kalaupun enggak, itu tetap buat kamu. Semoga tidak menjadi beban.’
Rani kembali memasukkan kalung itu dalam tempatnya, bagaimana tidak menjadi beban dia harus menerima benda indah seperti ini, batin Rani. Kehadiran Ates yang begitu tiba-tiba dalam hidupnya tepat saat dia patah hati, sikapnya, perhatiannya, segala yang diberikan Ates padanya bahkan mampu mengalihkan semua kekecewaannya. Bagaimana mungkin tidak menjadi beban saat pria yang mencuri perhatiannya adalah Kakak dari orang yang saat ini paling ingin dia hindari. Seorang yang sekaligus juga telah mencuri sesuatu darinya bahkan tanpa rasa bersalah.
Usai senam pagi bersama beberapa karyawan dan dokter di rumah sakit. Rani mengamati pasien satu persatu, kali ini dia memandang mereka lebih lama, seolah mencari sesuatu, Rani memang sering melakukannya. Dia sering mendapatkan banyak pelajaran saat melihat orang-orang ini. Tentang rasa sakit, sebuah penyesalan, bagaimana cara membela diri. pelajaran untuk tetap bersyukur, pelajaran untuk dapat menerima dan terus memperbaiki hidup ini dan kali ini adalah pelajaran tentang cinta. Memandang mata mereka lebih dalam Rani perlahan memahami sesuatu. Cinta seharusnya memang tidak menyakitkan, tidak pula menjadi beban, bukan untuk menjadi belenggu. Dia memahami kenapa kemudian diakhir suratnya, Ates menuliskan kalimat semoga tidak menjadi beban. Rani memahami bagaimana Ates dapat mencintainya dengan sangat tepat, indah, dan sesuai porsinya.
Seminggu berlalu setelah kepergian Ates, Tidak bisa dipungkiri, Rani merasa ada sesuatu yang kosong. Dia harus menghabiskan banyak energinya untuk mengerjakan banyak hal agar pikirannya bisa teralihkan. Baru saja dia bisa melupakan Rafa, baru saja Ates terasa sangat nyata keberadaannya. Namun sekarang dia harus berupaya membiasakan diri dengan ketidak hadiran Ates dalam hari-harinya. Sempat Rani mengutuk dirinya sendiri, kenapa melepaskan Ates begitu saja, padahal sekarang terasa berat. Kenapa sulit sekali mengaku cinta, pada hal saat itu dia ada di hadapannya.
Pintu ruangannya diketuk, seorang wanita paruh baya dengan baju mahal membuka ruangan Rani. “dokter Maharani, apa saya menggagu?”
Rani tertegun melihat siapa yang datang, Maminya Ates. “Enggak tante, silahkan.”
Helena melangkah masuk dan duduk di depan Rani, dia segera menyampaikan maksud kedatangannya. Helena hanya ingin mengajak Rani jalan-jalan sebentar sepulang kerja, dan Rani menerima ajakan itu. Sejujurnya kedatangan Mami Ates yang begitu tiba-tiba sungguh sangat membuatnnya canggung. Rani masih ingat betapa mewah dan banyaknya tamu saat pesta ulang tahunnya. Alasan apa kira-kira yang membawa ibu konglomerat ini kemari.
Helena mengajak Rani berjalan di sebuah pusat perbelanjaan. Sampai kemudian memilih berhenti disalah satu tempat makan yang memiliki area rooftop yang cukup bagus. Keduanya sepakat memilih meja di bagian luar itu. Rani memilih smooties coklat dan memang tidak memilih makan. “Aku makannya nanti aja tante, belum laper.” Ujar Rani sambil seraya tersenyum kepada Maminya Ates. Helena mengangguk setuju, dia sendiri sebenarnya tidak lapar dan hanya memilih minuman dan cemilan sebagai teman ngobrol.
Mulai membuka pembicaraan dengan ringan, “Bagaimana pekerjaanmu di rumah sakit? Saya kaget lho ternyata kamu dokter yang ahli dibidang kejiwaan.” Sudah keahliannya memang membuka dialog seperti ini. “Dan ternyata kamu juga satu tempat kerja juga dengan Nana, dia keponakan Tante.”
Dibanding saat berkenalan di pesta Rani merasa lebih nyaman bicara dengan Mami Ates sekarang, intonasinya lebih jelas. Halus tapi tetap terdengar tegas. “Alhamdulillah lancar Tante, saya senang kok dengan pekerjaan saya. Nana juga baik anaknya.”
“Dokter, sebenarnya saya juga penasaran bagaimana kamu sama Ates bisa saling kenal?”
“Panggil aja Rani Tante.” Rani menambahkan.
Helene memperhatikan mata bulat yang terlihat cerdas dan ramah itu, cantik sekali bagi Helena. “Oke, Rani… jadi kamu nggak keberatan kan bercerita. Tante cuma penasaran aja, apakah anak tante, Ates. Mengkonsultasikan sesuatu, seperti masalah kejiwaan, emosionalnya, mentalnya… atau mungkin apakah dia mengalami masalah.” Helena juga penasaran, hal apakah yang membawa putranya bisa berkenalan dengan seorang psikiater. Sejujurnya dia juga sempat khawatir, apakah Ates ada masalah yang tidak diceritakan pada keluarga.
“Oh enggak,” Rani tersenyum mendengar pertanyaan dari wanita di depannya. “Cuma nggak sengaja ketemu waktu dia jenguk temennya dan mengunjungi Nana, terus dia ngajak ngobrol saya karena ada urusan dengan rencana menulisnya, dia cerita kalo mau menulis novel tentang__orang-orang yang mengalami sakit dalam jiwanya.” Rani mulai menceritakan runtutan pertemuannya dengan Ates, semoga tidak dikira Ates sebagai pasiennya.