It's a damn cold night
Try to figure out this life
08.00 AM
"Zanendra! Kau yakin ingin mengikuti acara persidangan ini? Saya rasa, kau tidak perlu mengikutinya. Kau pasti memiliki tugas mengawal Raja Lucas VIII yang datang dari Indianapolis siang nanti, kan? Lagipula, ini hanya pembunuhan berantai kok, bukan peristiwa kebakaran."
Pemuda berusia 24 tahun yang dipanggil Zanendra itu menghentikan langkah lebarnya di koridor istana. Dengan cepat, ia menoleh ke sampingnya dan mendapati seorang pemuda lain sebayanya yang baru saja mengejar ketertinggalannya, kini tengah menunduk sambil mengatur napas. Keringat membanjiri kulitnya dan baju zirah yang terbuat dari besi itu, tetapi itu bukan alasannya untuk berhenti mengejar Zanendra hingga sejauh ini.
"Iqlima," panggil Zanendra. Pemuda itu mengangkat kepalanya dan mengusir peluh menggunakan punggung tangannya. Senyumnya merekah saat pemuda di hadapannya memanggil namanya.
"Ya, Zanendra. Sudah tiga puluh menit aku mengejarmu dari ruang bawah tanah yang berisikan para tahanan hingga ke sini. Akhirnya Tuhan mengabulkan doaku," sahutnya setengah girang.
"Kau mengejarku dari ruang bawah tanah?" tanya Zanendra bingung. "Kau ini kurang kerjaan sekali. Memangnya ada apa?"
Iqlima berkacak pinggang. Pemuda itu menatap Zanendra dengan tatapan tidak percaya, seolah-olah pengejaran yang baru saja ia lakukan selama tiga puluh menit itu tidak berarti apa-apa bagi sang pengawal Nona Annisa.
"Kau .... Kau tidak mendengarkan apa yang kukatakan sepanjang perjalanan ya?" tanya Iqlima. Zanendra menggeleng pelan, membuat secuil rasa sakit hati di hati Iqlima karena tidak dianggap.
"Aku terlalu sibuk memikirkan sebuah persidangan. Aku harus menyaksikannya sendiri, Iqlima, dan kau tahu itu semua, kan?" ujar sang pengawal.
Iqlima menggeleng tegas. Dia menjulurkan tangannya ke depan dan berkacak pinggang. Dengan gaya sok memerintah, pemuda itu berkata, "Dengan ini, aku melarang kau 'tuk mengikuti jalannya persidangan, Zanendra. Kau harus melaksanakan tugas kerajaanmu!"
Zanendra menaikkan sebelah alis matanya, merasa bingung dengan tingkah laku pemuda di hadapannya ini. "Kau, memerintahku? Memangnya kau siapa, Iqlima? Bahkan panglima tertinggi kerajaan—Pak Yusof—tidak pernah melarangku ikut serta dalam pengadilan," kata Zanendra.
"Tentu saja aku harus melarangmu, Kawan. Aku ini sedang melaksanakan tugasku, yaitu mengembalikan pengawal dari jalan menyimpangnya. Aku ini penasihat pengawal kerajaan!" kata Iqlima dengan nada congkak.
Zanendra mendecih tidak terima. Entah apa yang merasuki Raja Solomon X saat mengangkat Iqlima menjadi seorang penasihat kerajaan, Zanendra sendiri tidak tahu. Yang pasti, keputusan Raja Solomon X sangat tidak disetujui olehnya—dan beberapa pengawal senior lainnya, tentu saja.
"Dengar, Iqlima. Aku tahu kau sedang melaksanakan tugas konyolmu itu—demikian juga aku. Namun aku rasa aku harus menghadiri persidangan kali ini. Aku harus, dan benar-benar harus. Tidak boleh tidak, karena ini juga menyangkut reputasiku dalam melindungi anggota kerajaan!" ujar Zanendra dengan nada tegas. Awalnya pemuda itu mengira kalau Iqlima akan luluh dan membiarkannya ikut persidangan. Namun kenyataannya tak sesuai espektasi, dan Zanendra harus menelan bulat-bulat harapan tersebut ketika melihat gelengan kepala Iqlima.
"Tidak! Itu hanya persidangan, Zanendra. Tidak ada hubungannya dengan kau. Sekali lagi aku tegaskan, tidak ada hubungannya dengan kau!" ujar Iqlima ikut tegas.
Zanendra terdiam bingung. Dia sudah kehabisan cara untuk membujuk pemuda naif di depannya. Kalau permohonannya tak bisa dikabulkan oleh Iqlima, maka dengan terpaksa .... Ya, Zanendra tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya!