“Itu, 'kan, cewek ya–” Tangan Maru melayang di udara.
“Kenapa, tuh, anak?” tanya Arion yang heran melihat tingkah Maru.
Krit!
Suara decitan kursi yang berasal dari perpindahan Maru mengejutkan Arion dan Edo. Keduanya semakin heran kala melihat Maru pergi meninggalkan mereka. “Mar, woi, Marimar! Mau ke mana lo?”
Keduanya juga ikut beranjak dan mengejar Maru.
“Lo cewek yang waktu itu nabrak gue, 'kan?” tuding Maru tanpa berbasa-basi.
Gadis di hadapannya terlempar karena mendapat dorongan yang cukup keras dari laki-laki itu. “Aww,” pekik gadis itu seraya memegang bahunya.
“Lo?” heran gadis itu.
“Iya, gue. Kenapa?”
“Lo sekolah di sini juga?”
“Loh, ini ada apa? Kenapa, Tha?” Tiba-tiba gadis bertubuh mungil datang menghampiri mereka.
“Jadi, lo anak kelas satu?” tanya Maru.
Agatha menggabungkan kedua alisnya. “Kalo iya, kenapa?” lanjutnya.
“Yang sopan sama kakak kelas!” tegur Maru.
Seketika keadaan menjadi hening, kelima orang yang berada di sana saling menatap. Tak terkecuali Arion dan Edo, kedua teman Maru itu saling melirik dan menggerakkan bibir tanpa suara.
“Cabut!” ajak Maru. Akhirnya ketiga laki-laki itu pergi meninggalkan Agatha dan Oca.
“Lo nggak pa-pa, 'kan, Tha?” tanya Oca memastikan keadaan Agatha.
Agatha hanya menggeleng lemah. Mencoba mencari tempat duduk yang kosong. Sejenak dia berpikir, mengapa laki-laki yang tempo hari ditabrak mamanya bisa bersekolah di SMA yang sama dengannya.
“Tha, helo!”
Agatha tersadar dari lamunannya. “Hehe, iya kenapa, Ca?”
“Lo mikirin apaan, sih?”
“Eng–enggak, kok,” elak Agatha.
•••