Suara gesekan sendok dan piring terdengar berisik. Di suatu meja makan berdesain kuno, terdapat dua orang yang saling berhadapan tengah sarapan. Mereka berlomba memasukkan suap demi suap nasi goreng yang tersaji di hadapannya. Sesekali salah seorang di antara keduanya berhenti untuk mengurangi rasa pedas yang mulai menguasai di tenggorokan. Dia mendekatkan gelas bening yang berisi air pada bibirnya.
Gadis itu meletakkan gelas bening tersebut dan beralih pada gelas yang berisi cairan putih yang di atasnya terlihat menguap asap semu. Gadis itu dengan pelan meminum sedikit dari susu hangat yang dibuatkan khusus untuknya. Kaki putih itu tak bisa diam, terus bergerak menggesek kaki yang lain. Hingga pergerakan itu menyebabkan kekuatan di tangannya terganggu.
Susu putih itu meninggalkan tempatnya dan beralih membanjiri meja tepat di bawah gadis itu. Beruntung tidak mengenai seragam putih yang dipakainya.
“Agatha hati-hati, dong!” seru Sinta. Dia terlihat panik dan menghampiri Agatha cepat. “Kena seragam kamu? Biar mama panggilin Bi Asih, ya.”
“Ja–jangan, Ma. Orang nggak kena, kok. Ya udah Agatha berangkat,” pamit Agatha setelah tangannya berhasil meraih tas putihnya.
Sinta terkesiap kala Agatha pergi begitu saja. “Tha, nggak mau ganti?”
Agatha sudah tak mendengar teriakan ibunya. Kini dia sudah duduk manis di dalam mobil. Dia menggigit kukunya. Gadis itu sebetulnya sangat risi diperlakukan seperti itu. Dia ingin hidup normal.
Bagi gadis itu tak masalah jika hanya hidup berdua dengan ibunya. Perceraian orang tua biasanya akan sangat mengganggu mental seorang anak. Kehilangan kasih sayang dari seorang ayah, lantas tak membuat Agatha mengutuk sang ibu karena gagal mempertahankan keutuhan rumah tangga.
Agatha memang merasakan rasa kehilangan. bukankah itu yang dirasakan oleh semua anak korban broken home? Agatha sudah terbiasa dengan semua itu, yang Agatha sesali, mengapa Sinta selalu memperlakukannya seperti anak kecil. Padahal umur gadus itu sudah memasuki usia remaja.
Agatha juga butuh waktu untuk sendiri, menyekat segala hal yang selalu ingin tahu tentang dirinya. Dia juga ingin pergi dengan teman seusianya seperti yang dilakukan oleh gadis lain. Namun, Sinta terlalu over protektif padanya. Sinta tak bisa sedetik pun tanpa kabar Agatha, bagi Sinta, Agatha adalah mutiaranya yang harus dia jaga.
Seketika sebuah ide muncul di otak Agatha. “Pak Dodi,” panggil gadis itu pada sopirnya yang sedang fokus mengemudi.
Seorang pria paruh baya yang dipanggil Pak Dodi itu, menaikkan pandangannya pada kaca spion tengah agar bisa menatap Agatha. “Iya, Non?”
“Entar, Pak Dodi nggak usah jemput Agatha, ya. Agatha mau belajar bareng temen,” jelas Agatha.
Sejenak pria itu berpikir, kejadian tahun lalu tak akan pernah bisa dia lupakan. Dodi hampir kehilangan pekerjaannya karena membiarkan Agatha pergi dengan teman-temannya.
Seakan paham apa yang terlintas dalam benak pria itu, Agatha melanjutkan kembali perkataannya. “Pak Dodi nggak usah khawatir. Entar bilang aja Agatha yang maksa.”
“Iya, Non. Tapi–”
“Pak, entar Agatha, deh, yang bilang sama mama.”
“Ba–baik, Non.”
Seperti yang lalu-lalu, Dodi memutuskan untuk mengalah dengan Agatha.
•••
“Ca, entar gue main ke rumah lo, ya,” ucap Agatha saat melintasi koridor menuju kantin.
Oca tercengang. “Hah? Emang lo boleh, Tha?”