Langit menghitam, terlihat bintang bertaburan di atas sana, cahayanya tampak terang di kegelapan. Semuanya akan terpukau melihat pemandangan menakjubkan itu. Kecuali seseorang yang kini sedang fokus menatap jalan. Jalanan sunyi itu kini berubah bising karena kehadirannya. Kuda besi yang ditungganginya melesat kencang, jaket yang dia pakai berkibar tersapu angin malam. Sinar lampu motornya, terlihat berbelok pada sebuah parkiran gedung rumah sakit dan berhenti di sana.
Rambutnya terlihat berantakan setelah dia melepas helm. Laki-laki itu mengembuskan napas pelan sebentar, lalu matanya memicing ke arah seberang. Sepertinya dia melihat sesuatu yang tak biasa.
Dua sosok itu kini saling melempar pandang, mata mereka sempat membelalak hingga lupa berkedip. Tak berselang lama, salah seorang dari mereka mulai memakai helm dan pergi dari sana. Melihat kejadian itu membuat Maru berdecih kasar, kemudian memutuskan untuk tak peduli.
Setelah merasa Gerald sudah menjauh, Maru mulai melangkah pelan. Sebelah tangannya memegang sebuah kantong plastik berisi buah-buahan segar. Lorong rumah sakit sudah sepi di atas jam sembilan malam. Tak terlihat seorang pun yang berkeliaran di sana. Maru menambah kecepatan langkahnya dan segera memasuki ruangan yang menjadi tempat Yana dirawat sejak seminggu yang lalu.
“Ma,” panggilnya pada Yana.
Wanita itu masih menutup mata, tak menjawab panggilan anaknya. Sekilas senyum tipis muncul di bibir Maru, dia memaklumi, mungkin Yana sudah sangat nyenyak menikmati tidurnya. Maru menghempaskan tubuh membuat punggungnya bertabrakan dengan sofa yang tersedia di ruangan tersebut. Kepalanya mendongak menatap langit-langit dan kemudian ikut memejamkan mata.
•••
Dentuman musik terdengar memekakkan telinga, kilat lampu warna-warni menyilaukan mata, semua yang berada di dalam sana tampak lihai menggerakkan tubuh, bahkan tak jarang saling menempel satu sama lain.
Seorang laki-laki bertubuh tinggi berjalan di antara riuh itu. Tangannya masih setia berada di saku jaket yang dia kenakan, tangan-tangan nakal mulai menyentuhnya tanpa permisi. Namun, sentuhan itu tak dia hiraukan. Kakinya terus melangkah menuju sofa merah yang terletak di ruang tengah.
“Hai, Bro,” sapa laki-laki yang sudah menunggu kedatangannya.
Kedua tangan mereka saling terangkat dan melakukan tos ala laki-laki dengan sekali hempas Gerald meletakkan tubuh di sofa. Kaki kirinya terangkat dan diletakkan di atas paha kanannya.
Laki-laki bernama Gara itu memberikan segelas vodka pada Gerald. Gerald yang menerima itu, langsung meneguknya sampai habis tak tersisa. Kini sensasi panas mulai terasa di tenggorokannya.
“Dari mana aja lo?” Gara bertanya penuh penasaran.
Gerald yang mulanya menatap ke depan, kini menoleh ke arah Gara. Dia mengangkat satu alisnya pertanda heran apa maksud pertanyaan temannya itu.