Seperti biasa, saat jam istirahat tiba, kantin akan selalu penuh dengan kerumunan murid Delta. Semua meja terisi dan tak menyisakan celah untuk disinggahi, campuran intonasi suara menggema, bersahut-sahutan dengan suara yang muncul setelahnya. Hanya meja pojok yang belum terisi. Seorang laki-laki berkacamata memegang nampan berisi makanan di tangannya, dengan sekali hempas, dia mendaratkan bokongnya pada kursi berwarna-warni karena banyak dilapisi pilox.
Baru saja dia akan memasukkan suapan pertama, tarikan di kerah belakang seragamnya berhasil menjauhkan dia dari sendok yang dipegang. Lehernya terasa kaku, seketika kekuatannya hilang karena tarikan kencang itu. Siswa itu berdiri karena tarikan itu semakin mencekiknya keras. Setelah terdengar batuk yang berulang-ulang, barulah sang penarik itu melepaskan cengkeraman tersebut, dengan tangan yang mengusap lehernya, laki-laki itu memberanikan diri untuk membalikkan tubuh.
Tiga orang laki-laki sedang menatapnya tajam, menghadirkan rasa grogi yang sebelumnya tak ada. Jantung tenang itu kini tiba-tiba berdegup kencang. “Ma–maaf.”
Ketiga laki-laki yang menatap tingkah dari murid berkacamata itu saling menatap satu sama lain. Memilih membiarkan murid itu pergi dengan keadaan baik-baik saja. Setelah itu, mereka duduk di masing-masing kursi yang memang sudah diklaim menjadi milik mereka.
Mereka adalah Maru, Arion, dan Edo. Biang rusuh yang dimiliki SMA Delta. Maru mengangkat kaki kanan yang terbalut sepatu berwarna putih ke atas paha kirinya. Mata pemuda itu menelusuri setiap sudut kantin. Sialnya yang dia cari tak terlihat, hingga matanya tak sengaja berpapasan dengan dua orang yang sedang melintas di pintu masuk.
“Agatha sama Zaka?” paniknya dalam hati.
Muncul rasa kesal dalam diri Maru. Kedekatan seperti apa yang sedang mereka jalin? Haruskah ke mana-mana selalu berdua seperti itu?
“Woi, Mar!” Suara cempreng di telinga kanannya menarik Maru ke dunia nyata.
“Apa, sih? Sadar diri dong! Suara lo, tuh nggak ada bagus-bagusnya. Nggak usah teriak-teriak deket kuping gue!” seru Maru berapi-api.
Arion terkekeh geli mendapati kedua temannya yang sedang adu mulut ringan tepat di depan matanya.
“Lagian lo bengong, sih, kesambet tau rasa, lo!” ungkap Edo.
Tak memedulikan itu, Maru kembali tak menghiraukan teman-temannya dan menatap Agatha lagi.
“Udah kali, kalo naksir samperin aja. Kalo diliatin terus, sampek onta bertelor juga nggak bakal dapet,” sindir Arion yang sadar bahwa Maru sejak tadi memperhatikan Agatha.
Lagi-lagi Maru tak mengindahkan itu, dia tetap menyalangkan mata pada dua sejoli yang sedang duduk satu meja di tengah kantin.
•••
“Lo besok ada acara nggak?”
Suara yang mengganggu konsentrasi Agatha kembali menyambar. Ah, Agatha sangat tidak menyukai itu. Gadis tersebut hanya menggeleng tanpa berpindah pandang. Dja masih saja lancar menggeser-geser menu di ponselnya. Agatha pikir dengan cara itu Zaka bisa merasa tidak enak dan memutuskan untuk berhenti mengajaknya mengobrol.
“Kalo lo nggak ada acara, boleh dong besok jalan bareng.” Zaka memberikan tawaran yang lebih terdengar paksaan bagi Agatha.
“Aduh, Oca mana, ya? Lama banget ke toiletnya.” Agatha mencoba mengalihkan pembahasan Zaka yang sangat tidak penting baginya.
Melihat itu, Zaka berdiam pasrah. Entah harus dengan cara apa lagi mendekati Agatha. Jika boleh menyombongkan diri, orang seperti Zaka apa kurangnya. Seakan enggan menatap Zaka, Agatha tetap memanjangkan leher ke arah pintu masuk kantin, dia sangat berharap Oca datang secepatnya.