Debaran itu tak berkurang, rasanya masih sama. Sesaat setelah perginya dua raga itu menjauh meninggalkan sekolah, kini mereka berada di situasi menegangkan. Tak ada percakapan di antara mereka berdua, hanya gerakan kecil yang berasal dari Agatha. Dia tampak bosan karena terjebak di tengah-tengah puluhan pengendara yang harus menghentikan kendaraannya karena macet.
Sekilas Maru menatap ke arah spion. Kini matanya menemukan sebuah pemandangan yang membuat dia senang. Seorang gadis cantik sedang duduk dengan mulut mengerucut di belakangnya.
Sementara dari seberang jalan, sebuah pengemudi mobil berpelat Jakarta tampak risau. Berulang kali dia mendaratkan tangannya pada tombol klakson, membuat pengendara lain terganggu. Wanita itu sangat kesal, sudah hampir satu jam lamanya dia terjebak karena lampu merah yang terus menyala. Karena jengah, dia akhirnya membuka kaca mobilnya.
Manik matanya seketika melebar, dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa yang dia lihat salah. Namun, kenyataan menampar keras dirinya, saat melihat fakta bahwa yang dilihat benar-benar Agatha. Saat mencoba memanggil, motor yang berada di jalur berlawanan dengannya itu berjalan dan menyisakan kekesalan luar biasa dalam hati wanita tersebut.
“Sama siapa dia?” tanyanya bermonolog.
Lampu hijau tiba-tiba muncul setelah lampu kuning menyala, dengan tidak sabar wanita paruh baya itu menginjak gas mobil cepat.
•••
“Makasih, ya, udah mau pulang sama gue!” ujar Maru dengan suara yang sengaja dia keraskan.
Agatha merasa jika Maru sedang menyindirnya. Harusnya dia yang berterima kasih, bukan lelaki itu.
“Mau diem terus?” ucap Maru kembali.
“Iya,” balas Agatha singkat.
Sebenarnya Agatha melakukan itu hanya untuk menghindari Zaka. Pemuda itu memaksanya untuk pulang bersama. Jelas saja dia menolak, tak memiliki jawaban lain, akhirnya pilihan terakhir jatuh pada pulang bersama Maru.
“Rumah lo di mana? Masa iya jalan terus?” tanya Maru yang tampak kebingungan karena Agatha sejak tadi tak menunjukkan arah rumahnya.