Maru sampai di rumah yang memiliki kolam ikan besar di halamannya itu. Sebenarnya sangat malas bertemu dengan keluarga yang tak pernah menganggapnya ada, tetapi apa boleh buat. Ke mana pun dia pergi, maka pulangnya hanya ke rumah. Masih mengenakan seragam lengkap, pemuda itu memasuki rumah yang selalu sunyi itu. Sedih memang, saat pulang tak ada sambutan hangat dari keluarga.
Maru menuangkan air ke gelas. Menciptakan irama merdu yang berasal dari tuangan itu, dengan sekali teguk, dia menghabiskan air putih dingin itu. Setelah itu dia merebahkan dirinya di sofa empuk yang berada di ruang tamu. Melepas lelah sejenak dengan memejamkan mata. Suara berisik orang yang sedang melakukan percakapan mengganggu tidurnya, dengan rasa kesal tak berujung, pemuda itu mengumpat pelan pada sang pencipta kegaduhan.
“Iya, gue ke sana bentar lagi.”
Suara Gerald yang sedang menelepon menggema ke seluruh sudut ruang, membuat telinga Maru berdengung.
“Berisik!” umpat Maru seraya mengapit dua bantal di sisi telinganya.
Tak lama setelah itu, suara itu hilang. Akhirnya Maru bisa kembali menikmati tidur siangnya yang sempat terganggu, tetapi ketenangan itu harus kembali hilang. Suara langkah kaki cepat terdengar mulai mendekat. Menampakkan seorang laki-laki tinggi yang telah rapi dengan jaket berwarna abu-abu.
“Gue ada urusan,” ungkap Gerald mencoba mengajak bicara Maru.
Maru justru tetap memejamkan matanya tak peduli. Melihat reaksi adiknya yang sama sekali tak menghargai, secepatnya Gerald keluar meninggalkan adiknya. Merasa berhasil membuat Gerald kesal, Maru bangun dari tidurnya dan menatap kepergian sang kakak. Dari jendela, Maru melihat jelas bahwa Gerald sudah benar-benar pergi. Dia kembali melipat tangan di dada dan merapatkan mata.
•••
Setelah keluar dari ruangan pengap yang selalu menghadirkan rasa kantuk, Maru, Arion, dan Edo berjalan menuju tempat agung yang selalu mereka tuju saat jam istirahat tiba. Tiba-tiba saja Maru mematung, membuat dua temannya juga mengikuti. Tak lama setelah itu, Maru kembali melanjutkan langkahnya. Arion dan Edo saling menatap penuh tanya.
Tak menghiraukan itu, akhirnya mereka sampai di meja pojok kantin tempat mereka. Edo mengalah untuk memesan makanan. Arion tampak kebingungan kala melihat Maru yang sejak tadi tak henti menggerakkan kakinya yang membuat meja bergetar.
“Ngape, sih, lo?” tanya Arion.
“Gue nyariin Agatha,” sahut Maru dengan tangan mengusap dagunya.
Arion tersenyum. Dia tahu temannya tengah memiliki rasa pada gadis bernama Agatha itu. Sedetik setelahnya, hanya kesunyian yang berada di tengah-tengah mereka. Edo datang membawa nampan yang tampak kewalahan. Terlihat dari kuah soto yang sudah membanjiri nampan itu.
“Lo berdua kenapa?” Edo bertanya karena melihat Maru dan Arion yang terdiam kaku.