Saat jaraknya dengan gadis itu hanya berkisar dua meter, Gerald membuat suara batuk halus yang dimaksudkan agar gadis itu menyadari kehadirannya. Usahanya berhasil, kini gadis itu menoleh meski dengan raut terkejut.
“Sendirian?” tanyanya memulai percakapan yang dia harap akan panjang. Namun, Gadis itu kembali menunduk.
Gerald mencoba memancing gadis itu lagi. “Nama lo masih Agatha, 'kan? Apa udah ganti?” ujarnya diiringi tawa ringan.
Gerald mengaitkan kursi pada kakinya, ditariknya pelan agar mendekat, lalu dia duduk. Kini matanya dengan jelas menatap wajah menggemaskan Agatha sehingga dia tidak mengingat bagaimana nasib barang-barang yang ditinggalkan. Gerald menggabungkan tangan dan diletakkan di meja. Sedangkan Agatha tak peduli dan memilih melanjutkan kegiatannya men-stalk akun artis di ponselnya.
“Lo masih sekolah atau–”
“Bisa diem gak, sih?”
Gerald tersenyum tipis seraya mengangkat bahunya. “Ok.”
Keduanya masih duduk berhadapan. Bedanya Agatha yang masih sibuk dengan ponselnya, sementara Gerald belum bisa berhenti kagum pada kecantikan yang dimiliki gadis di depannya. Saat Gerald meraba sakunya, dia terkesiap kala tak menemui apa pun di sana. Akhirnya pemuda itu ingat bahwa barang-barangnya masih terlantar di meja pertama tadi. Segera dia menghampiri meja tersebut.
Beruntung barang-barangnya masih lengkap. Laptop, ponsel, kunci motor, dan dompetnya masih berada di tempat semula. Dia mengemasi barang-barangnya. Setelah selesai, kakak Maru itu kembali muncul di hadapan Agatha.
“Sorry, tadi ngambil ini. Ketinggalan,” katanya memberi tahu.
Bukannya menjawab, Agatha justru menatap tak acuh pada laki-laki yang sama sekali tak dia kenali. Sudah lama gadis itu berada di kafe tersebut. Tanda-tanda kedatangan Sinta tak terlihat.