Koridor sekolah terlihat sepi, hanya suara derap langkah yang terdengar memecah sunyi. Nyaris tak tampak seorang pun di sana, hanya seorang gadis yang berjalan pelan. Jika saja ini malam, mungkin gadis itu akan berlari terbirit karena ketakutan. Setelah langkahnya mendekat pada sebuah pintu yang masih tertutup, dia memberanikan diri memegang gagang pintu tersebut. Sensasi dingin yang berasal dari gagang pintu itu menjalar ke seluruh sel darah dalam tubuhnya.
Pintu itu berhasil terbuka dengan sekali hentak. Firasatnya benar, dia menjadi murid pertama yang memasuki ruangan bernama kelas itu. Gadis itu berjalan dan langsung menduduki kursinya. Setelah menghela napas, dia meraih ponsel yang diletakkan di dalam tas, mencoba menimalisir keadaan sepi di sekitar. Tak lama kemudian, banyak murid lain yang datang dan bergabung bersamanya.
Senyumannya mulai terbit kala melihat ke arah jendela dan menemui Oca berjalan di sana.
“Ke mana kemarin?” Oca langsung menodong Agatha dengan pertanyaannya.
“Cuma pengen libur, aja,” balas Agatha singkat.
“Eh, kemarin ada yang nyariin, tuh,” tutur Oca.
Mendengar itu, Agatha menurunkan ponsel dan menoleh ke arah Oca. Dia bertanya antusias, siapakah yang mencari keberadaannya kemarin?
“Zaka,” sahut Oca kemudian.
Agatha memilih kembali pada ponselnya, entah mengapa ada sedikit rasa kecewa yang dia rasa. Menangkap raut muka temannya yang berubah, Oca angkat bicara dan menggoda Agatha.
“Kok gitu, sih, mukanya? Emang lo kira siapa?” Oca berucap dengan intonasi mengejek, membuat Agatha mati kutu dan bingung harus memberi jawaban apa.
Akhirnya Agatha memilih menggeleng dan mengatakan jika dia tidak mengharapkan siapa-siapa.
“Ada lagi, tuh yang nyariin. Maru,” bisik Oca pelan nyaris tak terdengar. Namun, Agatha menangkap jelas perkataan itu. Seketika tubuhnya menegang, genggaman pada ponselnya merenggang, dia teringat akan hari lalu.
Saat Oca bersiap melontarkan kata, dia harus dikejutkan dengan kepergian Agatha dari hadapannya. Gadis itu mengerutkan kening pertanda bingung, padahal bel tanda masuk sebentar lagi akan berbunyi, tetapi Agatha malah memilih pergi.
Dengan berbekal rasa tak enak yang mengganggunya setiap saat, Agatha meyakinkan langkahnya menelusuri koridor-koridor kosong itu. Hantaman sepatunya pada lantai menciptakan suara hingar, sehingga banyak murid lain yang melihatnya dari jendela kelas. Setelah sampai di kelas paling pojok yang dia yakini kelas orang yang dicarinya, dari kejauhan gadis itu mencoba berdebat dengan egonya sendiri sebelum memberanikan diri berhadapan dengan laki-laki itu lagi.
Seorang laki-laki yang sedang santai meniup gelembung permen karet dari mulutnya, terlihat menghalangi jalan. Dia menyender di pintu seraya bersenandung kecil. Tampaknya dia tak menyadari kehadiran Agatha di depannya. Begitu sadar, pemuda itu terperanjat kaget dan hampir saja tersedak permen karet yang dikunyah seraya meraba dada. ”Lo Agatha, 'kan?” tudingnya sembari menatap ke dalam kelas.
“Mau ketemu Maru,” ungkap Agatha. Dia tidak ingin berbasa-basi, setelah meminta maaf, gadis itu akan langsung pergi.