Setelah dua remaja itu berhasil melewati tembok pembatas, barulah mereka beranjak. Tentu saja, ini ajakan dari Maru, Agatha hanya mengikuti ke mana laki-laki itu berjalan. Setelah beberapa langkah, mereka kini berhenti. Sebuah pohon besar dengan tinggi yang menjulang menyambut mereka, daun kering yang berserakan di bawah, dapat dipastikan itu berasal dari pohon tersebut. Agatha mendongak menatap pohon itu, lalu dia memerhatikan sekitar. Itu pertama kalinya dia melihat tempat tersebut.
Beda dengan Maru yang sudah terbiasa. Dia tahu jika Agatha kebingungan dan menuntut jawaban mengapa dia membawanya ke sini. Maru pamit sebentar pada Agatha. “Tunggu bentar, ya.”
Seketika pupil mata Agatha membesar. Setega itu Maru ingin meninggalkannya di tempat yang seperti ini, dengan gelengan kuat, Agatha jelas menolak. Dia tiba-tiba mendekat. “Nggak mau. Gue ikut.”
“Ya udah, ayo!” Maru mengizinkan Agatha ikut dengannya. Padahal dia tak akan lama. Hanya mengambil motornya yang terparkir di samping sekolah.
“Loh, kok, ke sini?” kata Agatha heran.
Maru hanya menanggapinya dengan seulas senyuman. Lalu dia memasang helm di kepala dan menyuruh Agatha untuk naik di belakangnya. “Kosong, nih, Neng. Ikut abang, yuk!”
Gadis itu sedikit tersipu dan menuruti perintah Maru. Dia masih tak tahu ke mana laki-laki itu akan membawanya, tetapi mengapa dia merasa sesenang itu? Begitu pun Maru, laki-laki itu tak henti memamerkan giginya. Dengan perlahan dia menjalankan motor. Biasanya dia akan membolos hanya di samping kelas, tetapi hari ini berbeda dan mungkin lebih istimewa.
Motor yang dinaiki mereka berhenti di sebuah taman kota yang ramai dengan pengunjung. Setelah memarkir motornya, Maru mengajak Agatha untuk duduk di kursi yang tersedia di sana.
“Lo marah, nggak?” tanya Maru tiba-tiba, dia menaikkan dua kakinya ke atas kursi.
“Ya marahlah. Lo bawa gue ke sini tanpa persetujuan gue. Itu sama aja lo nyulik gue,” jelas Agatha menghakimi.
Maru meletakkan dua tangan di bawah dagu seraya menatap gadis di depannya dengan lekat. Kadang dia mengedipkan mata. “Tunggu sebentar!”
Maru melesat cepat, Agatha berteriak memanggilnya kesal. Mengapa laki-laki itu suka sekali menghilang. Kini hanya rasa bosan menemaninya, menoleh kanan-kiri mencari keberadaan Maru, tetapi laki-laki itu tak terlihat di sekitar sana. Beberapa menit setelahnya, Maru datang dengan tangan yang disembunyikan di belakang tubuh. Pemuda itu kembali menduduki kursi tadi. Melihat ekspresi kesal Agatha membuatnya sangat senang.
“Apaan itu?” Agatha mencoba mengintip ke arah tangan Maru yang sengaja disembunyikan.
Maru menahannya agar gadis itu tak lancang melihat sesuatu itu. Namun, Agatha memaksa sehingga Maru mengalah dan memilih menampakkannya secara jelas. Sesuatu berwarna merah muda terpampang nyata, dengan rona bahagia Maru menunjukkan dengan antusias. Berharap Agatha suka pada sesuatu yang dia berikan. Menunggu reaksi Agatha yang tak kunjung dia dapat, akhirnya pemuda itu bertanya, “Lo gak seneng gue beliin ini?”
Tiba-tiba suara tawa kecil terdengar. Gadis itu menutupi mulutnya agar tawanya tak pecah. Sesuatu yang Maru maksud memang bukan sesuatu yang berarti. Namun, tak bisakah gadis itu sedikit menghargai?
Agatha akan menghargai usahanya. Dia mengambil gulali itu dari tangan Maru.
“Sama-sama,” tutur Maru, padahal Agatha tidak mengatakan apa-apa.