Di depan gedung pengadilan agama, terparkir sebuah mobil hitam dan beberapa mobil lain. Dari kejauhan, seorang laki-laki terlihat menajamkan mata memerhatikan parkiran itu sejak tadi seraya mengembuskan asap yang dia hirup dari batang rokoknya, tatapannya tak pernah lepas dari gedung yang terletak di seberang jalan.
Tepukan kasar di pundak mengejutkan laki-laki itu. Ternyata itu adalah teman satu kampusnya yang mengajak pulang bersama, tetapi laki-laki bernama Gerald itu menolak. Dia beralasan masih ada kelas satu jam setelah ini. Akhirnya temannya berpamitan, lalu pergi. Gerald masih duduk di sana menunggu seseorang yang sejak tadi ditunggu. Penantiannya terbayar sudah, seorang wanita dengan tas merah yang tergantung di tangan keluar dari gedung itu.
Gerald membuang puntung rokok yang tersisa sedikit itu, lalu dia beranjak meneliti keadaan jalan. Setelah benar-benar aman, dia mempercepat langkahnya menemui wanita itu.
“Hai, Tante,” sapanya sopan.
Wanita yang tadinya berniat memasuki mobil itu mengurungkan niatnya. Dia berbalik badan dan menemui sesosok anak muda berdiri di hadapannya. Tiba-tiba keterkejutannya berganti tanggapan ramah. “Eh, kamu. Siapa namamu, tante lupa.”
“Gerald, Tante,” sahut Gerald mantap.
“Kamu nggak kuliah?” tanya Sinta.
Gerald tersenyum. “Baru selesai, Tan. Ini baru mau balik.”
“Oh, gitu. Pulang bareng tante, yuk! Biar sekalian.” Tawaran Sinta membuat Gerald tercengang. Bukan itu maksud Gerald menemui wanita tersebut.
Gerald dengan cepat menaikkan kedua tangannya dan melambai sebagai tanda penolakan. “Eng–nggak. Nggak usah, Tan. Makasih.”
“Udah gak pa-pa. Yuk!”
“Bawa motor, kok, Tan,” tutur Gerald untuk menghentikan paksaan Sinta. “Oh, iya, Tan. Salam sama Agatha, ya.”
Sebenarnya maksud Gerald menemui Sinta tak lain adalah Agatha. Sungguh gadis itu telah membuatnya penasaran. Mungkin lewat Sinta, dia bisa lebih tahu banyak tentang gadis yang tak mau bicara banyak itu.
“Iya, nanti tante sampaikan.”
Setelah itu, Sinta pergi bersama mobilnya. Sementara Gerald ikut melangkahkan kaki dan kembali menyeberangi jalan untuk mengambil motornya. Ternyata motor yang tadi dia tinggalkan sudah dinaiki oleh seorang gadis berambut pendek yang telah lama menunggunya. Mereka saling menatap, tetapi tak ada percakapan. Sama-sama tak ada yang mau menghentikan tatapan lekat itu.
Gerald mendekat menghampirinya. Gadis itu masih diam di atas motor Gerald. Tatapan pemuda itu sangat sulit diartikan bagi gadis tersebut. Tatapannya nyalang diiringi napas gusar. Tak biasanya Gerald menatapnya demikian. Dia ingin menanyakannya, tetapi kalah oleh rasa takut yang terpendam dalam dirinya. Gadis itu hanya diam, kadang mencoba tersenyum meski terlihat seperti paksaan.