Pagi itu, Agatha berdiri di depan cermin besar yang terdapat di lemari. Di sana dia menatap dirinya sendiri. Kadang berputar untuk melihat tampilannya dari belakang. Setelah mengikat rambutnya, dia berjalan mengambil ransel dan sepatu. Gadis itu duduk di bibir ranjang dan memakai sepatu tersebut.
Setelah meyakini semuanya siap, dia meletakkan tali ransel di pundaknya. Bunyi pintu yang tertutup menandakan bahwa gadis itu sudah keluar dari kamarnya.
Di ruang makan sudah ada Sinta yang menunggu. Wanita itu menyambut Agatha dan mempersilakan gadis itu untuk sarapan, dengan ragu dia mulai mengeluarkan percakapan. “Tha, hari ini Pak Dodi nggak bisa antar kamu, anaknya sakit. Mama juga ada urusan di luar.”
Agatha tidak apa-apa, dia mengerti. Setelah menghabiskan air yang tertuang di gelas, dia berpamitan. Namun, Sinta menghentikannya.
“Kamu nggak pa-pa, 'kan?” tanya Sinta.
Sinta sedikit menggiring Agatha agar melangkahkan kaki. Mereka berdua berjalan pelan, hingga akhirnya keduanya berada di luar.
Seorang laki-laki yang terduduk di atas motor adalah hal pertama yang mereka lihat. Terjadi tanggapan yang berbeda dari keduanya. Agatha dengan senyum sinisnya dan Sinta dengan senyum manisnya.
Laki-laki itu datang mendekat dan menyapa Sinta dengan ramah. Kemudian dia juga menyapa Agatha. Tentu saja Agatha tidak mengindahkan sapaan itu. Sudah dibilang, Agatha tidak menyukai Gerald.
“Tha, hari ini berangkat bareng Gerald, ya.” Sinta bertutur lembut. Seakan menganggap hal itu biasa.
Agatha heran, katanya laki-laki itu semua sama, hanya manis di awal saja. Setidaknya kata-kata itulah yang pernah Agatha dengar dari mulut Sinta, tetapi mengapa sekarang Sinta menyuruhnya berangkat dengan Gerald? Bukankah Gerald juga laki-laki?
Sinta mendesak Agatha dengan bisikan yang tak biasa. Sinta mengaku tak enak pada Gerald karena semalam dia sendiri yang memintanya. Sungguh, Agatha ingin menolak. Namun, gadis itu tiba-tiba lupa bagaimana cara menolak.
Segera dia mengikuti perintah ibunya, dengan perasaan kesal, gadis itu duduk di belakang laki-laki yang tak dikenalinya itu.
“Pegangan! Entar jatoh.” Gerald berkata demikian sebelum benar-benar pergi membawa Agatha.
Sebuah paksaan yang teramat menyakitkan. Gadis itu tak berhenti mendongak ke langit. Meratapi semua nasib buruk yang tak dapat dihindari, tiba-tiba saja langit berubah bergambar. Ada wajah seseorang di sana.
Ternyata benar, hanya sekadar mengingatnya saja, hatinya berdebar. Senyuman itu kembali terbit, dia ingin segera sampai dan menemui orang itu.