Agatha keluar dari kelas dengan tergesa-gesa, sehingga dia lupa telah meninggalkan Oca di belakang. Kaki jenjang itu terus melangkah menuju kelas yang terletak paling pojok di lantai dua. Setelah menetralkan napas, matanya menjelajah mencari seseorang yang ingin ditemuinya.
Nasib baik sedang berpihak padanya. Tiga orang laki-laki sedang berjalan berbaris menuju pintu keluar. Itu membuat Agatha lega karena masih bisa menemuinya di sini. Tak lama setelah itu, tiga laki-laki itu sudah dekat dengannya. Maru tiba-tiba meraih dan menenggelamkan jemarinya pada sela jari Agatha.
Itu membuat kedua temannya menatap heran. “Mar, jangan lo modusin anak orang!” teriak Edo.
“Bye! Mau pacaran dulu. Jomblo diem!” Maru berseru kemudian menghilang dan menyisakan rasa penasaran yang kian membesar pada diri Arion.
“Heh! Udah jadian, lo, Bangkek, PJ, dong! Dasar pelit!” umpat Arion dengan wajah kesal.
Teriakan itu memenuhi seluruh koridor, membuat murid yang berlalu lalang di sekitar sana menoleh dengan tatapan tajam, sedangkan Arion dan Edo tak peduli pada kekacauan yang telah mereka perbuat. Seakan tak berdosa, mereka melintas begitu saja.
•••
Maru mengajak Agatha ke samping kelasnya. Tempat pelarian jika dia bosan dengan pelajaran. Kini lelaku itu berada di sana bersama gadisnya. Agatha duduk di sana dan menatap Maru yang masih berdiri di hadapannya.
Gadis itu menarik tangan Maru agar ikut bergabung dengannya. Kursi panjang yang sengaja Maru culik dari gudang sudah berada di sana sejak lama. Kini mereka duduk dan saling menatap.
Tiba-tiba saja Maru mengambil sesuatu dari sakunya. “Ya, lepek.”
Agatha mengernyitkan kening saat melihat setangkai bunga mawar dengan duri yang terlihat tajam. Bunga mawar berwarna merah itu berada di genggaman Maru dengan keadaan yang mengenaskan. Bunga itu sudah kehilangan kesegarannya, pinggiran kelopaknya terlihat sudah menghitam.
Bahkan bunga itu sudah tidak mampu menegakkan diri. Ia tetap tertunduk meski sudah berulang kali Maru mencoba membuat bunga itu tegak, tetapi usaha Maru sama sekali tak membuahkan hasil.
“Lo tau, nggak, Tha? Bunga mawar ini kayak lo,” ungkap Maru dengan mata yang masih menyayangkan layunya sang bunga.
“Maksudnya?” Agatha setengah memiringkan kepala.
“Mawar itu hebat. Ia kuat menampung banyak duri di sekujur tubuhnya. Bahkan, ia tetap tumbuh cantik meski banyak duri tajam mengelilingi,” papar Maru.
Agatha tercenung sebentar. Lalu kemudian dia mencoba menanggapi. “Lo salah! Justru mawar itu jahat. Dengan sombongnya ia mekar dan menawarkan keindahan, tapi ia menyembunyikan duri di balik keindahan itu.”